Latest Post

MENYANTUNI ANAK YATIM ADALAH AKHLAK MULIA


Saudaraku Muslim ! Islam telah mendorong pemeluknya agar memiliki akhlak mulia. Salah satu akhlak mulia itu adalah menyantuni anak yatim.
Sesungguhnya, anak yatim adalah manusia yang paling membutuhkan pertolongan dan kasih sayang. Karena ia adalah anak yang kehilangan ayahnya pada saat ia sangat membutuhkannya. Ia membutuhkan pertolongan dan kasih sayang kita, karena ia tidak mungkin mendapatkan kasih sayang ayahnya yang telah tiada.
Jika anda melihat seseorang yang penyayang kepada anak-anak yatim dan menyantuni mereka, maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang yang berbudi dan berakhlak mulia.

Suatu ketika Saib bin Abdulloh rodhiyallohu ‘anhu datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, maka Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya :

ياَ سَائِبُ انْظُرْ أَخْلاَقَكَ الَّتِيْ كُنْتَ تَصْنَعُهَا فِيْ الجْاَهِلِيَّةِ فَاجْعَلْهَا فِيْ اْلإِسْلاَمِ. أَقْرِ الضَّيْفَ و أَكْرِمِ الْيَتِيْمَ وَ أَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ

“Wahai Saib, perhatikanlah akhlak yang biasa kamu lakukan ketika kamu masih dalam kejahiliyahan, laksanakan pula ia dalam masa keislaman. Jamulah tamu, muliakanlah anak yatim, dan berbuat baiklah kepada tetangga.” [HR.Ahmad dan Abu Dawud, Shohih Abu Dawud, Al-Albani : 4836]

Dalam sebuah atsar disebutkan riwayat dari Daud ‘alaihissalam, yang berkata :
كُنْ لِلْيََتِيْمِ كَاْلأَبِ الرَّحِيْمِ

“Bersikaplah kepada anak yatim, seperti seorang bapak yang penyayang.” [HR. Bukhori]

Saudaraku muslim ! Kasih sayang dan berbuat baik kepada anak yatim, sebagaimana yang telah saya katakan kepada anda, adalah sebagian dari akhlak dan moralitas orang-orang yang mulia. Itu tidak bisa dilakukan kecuali oleh seorang lelaki yang mulia, yang menghimpun banyak budi pekerti mulia, yang mencintai kebajikan.
Abdullah bin Umar rodhiyallohu ‘anhu tidak pernah memakan makanan kecuali dimeja makannya ada seorang anak yatim yang makan bersamanya.
Jadilah orang seperti itu, saudaraku ! Seorang yang penyantun, lemah lembut, dan berupaya berbuat kebaikan kepada anak yatim, mengusap air mata mereka dengan tangan dan harta anda serta memasukkan perasaan gembira ke dalam hati mereka.
Ketahuilah, bahwa jika anda mendapat taufiq untuk melaksanakan itu, maka anda benar-benar manusia yang beruntung. Yang berhak mendapat gelar “Seorang yang Berbudi”.

KEPADA ANDA YANG INGIN MENEMANI NABI DI SURGA

Saudaraku muslim ! Masuk surga adalah kesuksesan paling tinggi yang diraih oleh orang-orang yang beriman. Bagaimana pula dengan menemani Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam didalamnya? Itu adalah derajat yang akan diraih oleh orang-orang yang menyantuni anak yatim.
Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِيْ الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَالْوُسْطَى وَ فَرَجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا


“Aku dan orang-orang yang mengasuh/menyantuni anak yatim di Surga seperti ini”, Kemudian beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah seraya sedikit merenggangkannya. [HR. Bukhori].

Imam Ibnu Bathol rohimahulloh berkata : “Orang yang mendengar hadis ini wajib melaksanakannya, agar ia bisa menjadi sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di surga. Di akhirat, tidak ada kedudukan yang lebih utama dari itu.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rohimahulloh berkata : “Isyarat ini cukup untuk menegaskan kedekatan kedudukan pemberi santunan kepada anak yatim dan kedudukan Nabi, karena tidak ada jari yang memisahkan jari telunjuk dengan jari tengah.”

Saudaraku muslim ! Tahukah anda, apa hasil yang akan diperoleh dengan menyantuni dan mengasihi anak yatim, apa sikap anda, saudaraku, terhadap kebaikan ini ?
Jika anda termasuk orang-orang yang mampu, apakah anda pernah berpikir untuk menyantuni seorang anak yatim, sehingga anda bisa menjadi sahabat nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di surga. Untuk menyantuni anak yatim anda tidak harus memiliki kekayaan yang melimpah. Melainkan, siapa yang memungut seorang anak yatim, memberinya makanan dengan makanan yang sehari-hari yang dimakannya, memberinya minum dengan minuman yang bisa diminumnya, maka ia akan memperoleh kedudukan tersebut.
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

مَنْ ضَمَّ يَتِيْمًا بَيْنَ أَبَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ فِيْ طَعَامِهِ وَ شَرَابِهِ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ عَنْهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ ……

“Barang siapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim diantara dua orang tua yang muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya maka ia pasti masuk surga.” [HR. Abu Ya'la dan Thobroni, Shohih At Targhib, Al-Albaniy : 2543].

Wahai anda yang ingin memperoleh apa yang bermanfaat bagi dirinya, jika anda mendapat kesempatan untuk menyantuni anak yatim, jangan sekali-kali anda sia–siakan. Jika anda tidak menyukai hal itu dan menyia-nyiakannya, maka pikirkanlah pahala bagi orang yang menyantuni anak yatim. Tidakkah anda ingin menjadi sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di sorga ?!.


MULIAKANLAH ANAK YATIM, NISCAYA HATIMU MENJADI LUNAK DAN KEBUTUHANMU TERPENUHI

Saudaraku muslim ! Jika anda mengeluhkan hati anda yang keras, maka menyantuni anak yatim merupakan sarana yang bisa menjadikan hati lunak. Ia adalah obat yang diwasiatkan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam yang telah diutus dengan membawa petunjuk dengan kebenaran Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.
Diriwayatkan oleh Abu Darda’ rodhiyallohu ‘anhu yang berkata :

أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَجُلٌ يَشْكُوْ قَسْوَةَ قَلْبِهِ, قَالَ : أَتُحِبُّ أَنْ يَلِيْنَ قَلْبُكَ, وَ تُدْرَكَ حَاجَتُكَ ؟ اِرْحَمِ الْيَتِيْمَ, وَامْسَحْ
رَأْسَهُ, وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ, يَلِنْ قَلْبُكَ, وَتُدْرَكْ حَاجَتُكَ

“Ada seorang laki-laki yang datang kepada nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengeluhkan kekerasan hatinya. Nabipun bertanya : sukakah kamu, jika hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu terpenuhi ? Kasihilah anak yatim, usaplah mukanya, dan berilah makan dari makananmu, niscaya hatimu menjadi lunak dan kebutuhanmu akan terpenuhi.” [HR Thobroni, Targhib, Al Albaniy : 254]

Saudaraku Muslim ! Sesungguhnya, mengasihi anak yatim merupakan sarana untuk melunakkan hati dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan.
Sebab, orang yang mengasihi anak yatim telah memposisikan diri seperti ayahnya. Seorang ayah, secara naluriyah memiliki karakter sayang dan mengasihi anak-anaknya. Adapun orang yang mengasihi anak yatim memiki satu sifat lain, yaitu mengasihi anak yang bukan anak kandungnya.

Barang siapa keadaannya seperti itu maka dihatinya terhimpun sarana-sarana yang bisa melembutkan hatinya, sekalipun sebelumya merupakan hati yang keras.
Tidak diragukan lagi ini merupakan obat yang mujarab. Anda tidak akan pernah mendapati orang yang menyantuni anak yatim, kecuali pasti memiliki hati yang pengasih.

Kebalikan dari ini, anda tidak akan menjumpai seorangpun yang tidak mengasihi anak yatim, kecuali ia memiliki hati yang keras dan berakhlak buruk.
Manfaat lain dari tindakan mengasihi anak yatim yang telah dikabarkan oleh nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kepada seorang yang bertanya kepada beliau adalah : bahwa meyantuni anak yatim merupakan sarana terpenuhimya kebutuhan dan terwujudnya apa yang dicari.

Sesungguhnya, orang yang berbuat kebaikan kepada anak orang lain adalah orang yang telah memasukkan rasa gembira dihati mereka. Tidak diragukan lagi, Alloh pasti tidak akan menyia-nyiakannya, karena Alloh Ta’ala Maha Pengasih dan Mencintai semua orang yang pengasih.

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ تَبَاركَ وَتَعَالى اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِيْ السَّمَاءِ


“Orang-orang yang pengasih, akan dikasihi oleh Ar Rohman (Yang Maha Pengasih) Tabaaroka wa ta’ala. Kasihilah siapa yang ada dibumi niscaya engkau dikasihi oleh yang di langit.” [HR. Abu dawud, Tirmidzi dan lain-lain. As silsilatu shohihah : 925].

Saudaraku muslim! Kasihilah anak yatim, niscaya Alloh akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratmu.

BAGAIMANA CARA BERBUAT BAIK KEPADA ANAK YATIM

Saudaraku muslim ! Berbuat baik kepada anak yatim, bisa dengan beberapa cara :

1.Memberinya makan dan pakaian, serta menanggung kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Di atas telah disampaikan kepada anda keutamaannya.
2.Mengusap kepalanya serta menunjukkan kasih sayang kepadanya. Tindakan ini akan mempunyai pengaruh besar terhadap kejiwaan anak yatim. Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhu jika melihat anak yatim, beliau mengusap kepalanya dan memberinya sesuatu.
3.Membiayai sekolahnya, sebagaimana seseoang ingin menyekolahkan anaknya.
4.Mendidiknya dengan ikhlas, sebagaimana keikhlasanya dalam mendidik anak kandungnya sendiri.
5.Jika ia melakukan perbuatan yang mengharuskan di beri hukuman maka bersikap lemah-lembut dalam mendidiknya.
6.Bertakwa kepada Alloh dalam mengelola harta anak yatim, jika anak yatim itu mempunyai harta kekayaan. Jangan sampai hartanya di habiskan karena menginginkan agar anak yatim itu kelak tidak meminta hartanya kembali. Sebaliknya, hartanya harus di jaga, sehinga ketika ia telah dewasa, harta tersebut dikembalikan kepadanya.
7.Mengembangkan harta anak yatim dan bersikap ikhlas di dalamnya, sehingga hartanya tidak habis oleh zakat.

Saudaraku Muslim ! Inilah beberapa gambaran tentang cara berbuat baik kepada anak yatim. Berbuat baik kepada anak yatim tidak hanya diperintahkan kepada orang-orang tertentu, akan tetapi setiap muslim diperintahkan untuk itu sebagaimana ia diperintahkan untuk melaksanakan semua amal yang baik dan sholih.
Jika Alloh ta’ala mengetahui ketulusan niat seorang hamba, niscaya Dia akan membantunya dalam melaksanakan perbuatan baik. Maka, hendaklah engkau berkeinginan kuat untuk melasanakan amal-amal shalih, walaupun baru sekedar berniat di hati sampai suatu saat Alloh memberikan kesempatan anda untuk melakukan amal solih.
Sungguh, tidak ada orang yang lebih lemah daripada orag yang tidak mampu menyelinapkan niat di hatinya untuk melasanakan amal-amal sholih.

KEPADA SETIAP MUSLIM

Saudaraku Muslim ! Berbuatlah baik kepada anak yatim, selain merupakan akhlak yang mulia yang diserukan oleh Islam, ia juga hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang berhati penyayang dan berjiwa bersih.
Masyarakat muslim, adalah masyarakat yang diikat oleh ajaran-ajaran mulia yang diserukan oleh Islam.
Ia adalah masyarakat yang telah digambarkan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dalam penggambaran beliau yang indah, ketika beliau bersabda :

تَرَى الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَرَاحُمِهِمْ وَ تَوَادِّهِمْ وَ تَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى


“Engkau melihat orang-orang beriman itu dalam hal kasih sayang dan saling mencintai di antara mereka, adalah seperti satu tubuh, jika ada satu organ yang mengeluh (sakit), maka seluruh tubuh akan merasakan sakit dengan tidak tidur dan panas.” [HR. Bukhori dan Muslim, redaksi ini terdapat dalam riwayat Bukhori.]

Penggambaran ini memberitahukan kepada anda, bagaimana seyogyanya keadaan dalam masyarakat muslim ini.
Anak yatim adalah bagian dari masyarakat muslim itu. Ia berhak terhadap apa yang menjadikan hak anggota masyarakat muslim lainnya, dan berkewajiban sebagaimana kewajiban masyarakat anggota muslim lainnya. Seluruh kaum muslimin wajib berbuat baik kepada anak yatim, menyantuninya, dan menggantikan kasih sayang ayahnya, serta memberikan kepadanya apa yang biasa mereka berikan kepada anak-anak dan istri mereka.

Saudaraku Muslim ! Tidaklah sulit bagi anda untuk memungut seorang anak yatim, memberi makanan seperti yang biasa anda makan sehari-hari, memberi pakaian seperti pakaian yang biasa anda pakai, dan menjadikannya sebagai salah seorang anak anda.
Hendaklah, perbuatan baik anda ini didasarkan niat tulus untuk mencari ridho Alloh Ta’ala. Dengan harapan, anda bisa menjadi salah seorang dari mereka yang digambarkan oleh Alloh Ta’ala dalam firmannya :

“Dan merka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhoan Allah,kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (adzab) Tuhan kami pada suatu hari yang (dihari) orang-orang bermuka masam penuh kesakitan. Maka Alloh memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepda mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutra.” [Al-Insan : 8-12]

Semoga Alloh memberikan taufiq kepadaku, kepada anda, saudaraku muslim, untuk melakukan amal-amal sholih. Semoga Alloh menolongku, juga anda semua untuk tetap melaksanakan amal-amal sholih itu sampai tiba kematian.

Segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’aala Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi kita, Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, juga kepada segenap kerabat dan sahabat serta pengikutnya yang setia hingga hari kiamat.

sumber : www.assunnah.mine.nu
[Dinukil oleh Abu Mitfah Al-Pacitany dari buku Al-Ihsan Ilal Yatiim dengan terjemahan Keutamaan Menyantuni Anak Yatim karya Azhari Ahmad Mahmud]

ZAKAT, INFAQ dan SHADAQAH

ZAKAT, INFAQ dan SHADAQAH

Manusia adalah makhluk soisal, hal ini disadari benar oleh Islam karenanya Islam sanga mencela individualistis dan sebailiknya sangat menekankan pembinaan dan semangat ukhuwah (kolektivisme), bahkan semanat ukuhuwah meruapkansalahsatu risalah islam yan sangat menonjol.

Kita bisa melihat betapa seriusnya Islam memperhatikan masalah pembinaan ukhuwah ini didalam ajarannya, diantaranya adalah zakat, infaq shadaqah.

ZIS mengajarkan kepada kita satu hal yang sangat esensial, yaitu bahwa Islam mengakui hak pribadi setiap anggota masyarakat, tetapi juga menetapkan bahwa didalam kepemilikan pribadi itu terdapat tanggung jawab social atau dalam kata lain bahwa Islam dengan ajarannya sangat menjaga keseimbangannya antara maslahat pribadi dan maslahat social.

PENGERTIAN ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH

Secara bahasa, zakat berarti tumbuh, bersih, berkemabang dan berkah;sedangkan secara syar'I ialah kadar kadar harta tertentu yang wajib dikeluarkan untuk diberikan kepada yang berhak sesuai yang telah ditetapkan oleh syara', dengan demikian zakat hukumnya wajib.

Sedangkan Infaq berasal dari kata anfaqo-yunfiqu , artinya membelanjakan atau membiayai, arti infaq menjadi khusu tatkala dikaitkan dengan upaya realisasi perintah-perintah Allah.

Dan Infaq hanya berkaitan dengaat atau hanya dalam bentuk materi saja, adapun hukumnya ada yangw ajib (termask dalam hal ini zakat, nadzardsb),ada infaq sunnah, mubah bahkan ada yang haram.

Adapaun shodaqoh secara bahasa dari kata shodaqa yang berarti benar. Jadi,shidaqah adalahsebuah tindakan yang bisa menjadi bukti akan kebenaran iaman seseoarang.

Kalau infaq hanya berkaitan dengan materi, maka shadaqah bisa berupa materi, tapi juga bisa berupa sebuah kebaikan yang bukan materi, sebagaimana sabda Rosululah SAW: senyummu dihdapan saudaramu adalah shadaqah

Adapun hukumshadaqah ialah antara wajib dan sunnah, diantara shidaqah wajib adalah zakat.

Manfaat ZIS
• Sarana Pembersih Jiwa
Sebagaimana arti bahsa dari zakat adalah suci, maka seseorang yang berzakat, pada hakekatnyameupakan buktrhadap duninya dari upyanya untuk mensucikan diri;mensucikan diri dari sifat kikir, tamak dan dari kecintaan yang sangat terhadap dunianya, juga mensucikan hartanya dari hak-hak orang lain (QS.:103,70:24-25)

• Realisasi Kepedulian Sosial
Salah satu hal esensial dalam Islam yang ditekankan untuk ditegakkan adalah hidupnya suasana "takaful dan tadhomun " (rasa sepenanggungan) dan hal tersebut akan bisa direalisasian dengan ZIS. Jika sholat berfungsi Pembina ke khusu'an terhadap Allah, maka ZIS berfungsi sebagai Pembina kelembutan hati seseorang terhadap sesame (QS.9:71)

• Sarana Untuk Meraih Pertolongan Sosial

Allah SWT hanya akan memberikan pertolongan kepada hambaNya, manakala hambanya Nya mematuhi ajranNya.Dan diantara ajaran Allah yang harus ditaati adalah menunaikan ZIS (QS.22:39-40)
• Ungkapan Rasa Syukur Kepada Allah


Menunaikan ZIS merupkan ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada kita
• Salah Satu Aksiomatika Dalam Islam

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang diketahui oleh setiap muslim, sebagaimana mereka mengetahui sholat dan rukun-rukun Islam lainnya.
Kami dewan Kesejahreraan Masjid Nurul Asri menerima titipan Zakat, Infaq, dan shodaqoh. Anda bisa menyalurkan melalui rekening Bank BRI Kantor Kas PTDI dengan nomor rekening nomor:1301-01-000096-50-7 A/n Bambang Sumantri Dwi K.

Atau Anda bisa menghubungi pengurus DKM Masjid Nurul Asri dengan alamat :
Sekretariat DKM Masjid Nurul Asri
Jl.Putut Guritno 1 Blok D1-8
Cipageran Asri
Email : dkm_nurulasri@plaza.com

1. Bpk Teddy Kuswardana
2. Bpk Bambang Sumantri
3. Bpk Supriyanto
4. Bpk Arif Wibowo


KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN (Bag 1)


Oleh :Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Judul bahasan ini mendahulukan kata keadilan daripada
kesejahteraan. Memang, terjadi silang pendapat mengenai apa
yang harus didahulukan, apakah kesejahteraan atau keadilan?
Dari sekian ayat ditemukan isyarat perlunya mendahulukan
keadilan. Perhatikan misalnya surat Al-Ma-idah (5): 8,

Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada
takwa.

Lalu hubungkanlah dengan firman-Nya:

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi. (Tetapi) mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya (QS Al-A'raf [7]: 96)

Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, "Mohonlah ampun
kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat
kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh [71]:
10-12).

Dari rangkaian ayat di atas terlihat bahwa keadilan akan
mengantarkan kepada ketakwaan, dan ketakwaan menghasilkan
kesejahteraan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka
pembahasan pertama tulisan ini adalah tentang keadilan.

MAKNA KEADILAN

Keadilan adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil
dari bahasa Arab " 'adl". Kamus-kamus bahasa Arab
menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti "sama".
Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
"adil" diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2)
berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak
sewenang-wenang.

"Persamaan" yang merupakan makna asal kata "adil" itulah yang
menjadikan pelakunya "tidak berpihak", dan pada dasarnya pula
seorang yang adil "berpihak kepada yang benar" karena baik
yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh
haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu "yang patut"
lagi "tidak sewenang-wenang".

Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan
kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan
kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi
antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi kesan
adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak,
tidak akan terjadi "persamaan".

Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini
tidak harus mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian
dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth
lebih umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika
Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap
dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.
Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Nisa' (4): 135,

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri...

Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh
karena itu, mizan, adalah "alat untuk menimbang". Namun dapat
pula berarti "keadilan", karena bahasa seringkali menyebut
"alat" untuk makna "hasil penggunaan alat itu".

KEADILAN DALAM AL-QURAN

Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat
beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap
pihak yang berselisih, melainkan Al-Quran juga menuntut
keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis,
atau bersikap batin.

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil walaupun terhadap kerabat...! (QS Al-An'am [6]:
152).

Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang
menulis dengan adil (QS Al-Baqarah [2]: 282).

Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk
menegakkan sistem kemanusiaan yang adil.

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan
membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]:
25).

Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai "perjanjian Ilahi"
yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan
menegakkan keadilan.

Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
(hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia." Dia
(Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga
keturunan-keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku
ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim"
(QS Al-Baqarah [2]: 124).

Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat di
atas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak
atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk
menegakkan keadilan.

Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas
dasar keadilan:

Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan
(neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman [55]: 7)

Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang
keadilan, dari tauhid sampai keyakinan mengenai hari
kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan
dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi
terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan
masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan
ukhrawi.

RAGAM MAKNA KEADILAN

Ketiga kata -qisth, 'adl, dan mizan- pada berbagai bentuknya
digunakan oleh Al-Quran dalam konteks perintah kepada manusia
untuk berlaku adil.

Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan
al-qisth (keadilan)" (QS Al-A'raf [7]: 29)

Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan
berbuat ihsan (kebajikan) (QS Al-Nahl [16]: 90)

Dan langit ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca
(keadilan) agar kamu tidak melampaui batas tentang
neraca itu (QS Al-Rahman [55]: 7-8).

Ketika Al-Quran menunjuk Zat Allah yang memiliki sifat adil,
kata yang digunakanNya hanya Al-qisth (QS Ali 'Imran [31: 18).

Kata 'adl yang dalam berbagai bentuk terulang dua puluh
delapan kali dalam Al-Quran, tidak satu pun yang dinisbatkan
kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, seperti
dikemukakan di atas, beragam aspek dan objek keadilan telah
dibicarakan oleh Al-Quran; pelakunya pun demikian. Keragaman
tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.

Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh
para pakar agama.

Pertama, adil dalam arti "sama"

Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud
adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan
seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam
surat Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa,

Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia,
maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...

Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan "sama"- hanya
mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses
pengambilan keputusan.

Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak
yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal
tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel
penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan
memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam
proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud
mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari
keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud
nyata kezaliman.

Al-Quran mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada
Nabi Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki
sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang
kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak
mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus.
Nabi Daud tidak memutuskan perkara ini dengan membagi
kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan
menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu
telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (QS Shad [38]:
23).

Kedua, adil dalam arti "seimbang"

Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya
terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu,
selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan
dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya.

Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat
durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan
mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang)
(QS Al-Infithar [82]: 6-7).

Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau
berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti
tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan).

Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama
ekosistemnya. Al-Quran menyatakan bahwa,

(Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha
Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah
berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak
seimbang? (QS Al-Mulk [67]: 3)

Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian
(keproporsionalan), bukan lawan kata "kezaliman". Perlu
dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar
dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja
satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan
besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.

Petunjuk-petunjuk Al-Quran yang membedakan satu dengan yang
lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak
waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang
keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan
persamaan.

Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa
Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan
mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu
tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya
mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi.

Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang
amat teliti (QS Al-Rahman [55]: 5).

Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukurannya (QS Al-Qamar [54]: 49)

Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya"

Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan
sesuatu pada tempatnya" atau "memberi pihak lain haknya
melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman",
dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan
demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri
adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika
menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang
sastrawan yang arif.

Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi

Adil di sini berarti "memelihara kewajaran atas berlanjutnya
eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan
rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu."

Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada
dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. KeadilanNya
mengandung konsekuensi bahwa rahmat A h Swt. tidak tertahan
untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka
pada saat itu juga B mengambil hak dari A. Kaidah ini tidak
berlaku untuk Allah Swt., karena Dia memiliki hak atas semua
yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di
sisi-Nya.

Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya
yang menunjukkan Allah Swt. sebagai qaiman bilqisth (yang
menegakkan keadilan) (QS Ali 'Imram [3]: 18), atau ayat lain
yang mengandung arti keadilan-Nya seperti:

Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambaNya
(QS Fushshilat [41]: 46).

KEADILAN MENCAKUP SEMUA HAL

Seperti dikemukakan di atas, Allah menciptakan dan mengelola
alam raya ini dengan keadilan, dan menuntut agar keadilan
mencakup semua aspek kehidupan. Akidah, syariat atau hukum,
akhlak, bahkan cinta dan benci.

Dan Kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil di antara
wanita-wanita (istri-istrimu dalam hal cinta),
walaupun kamu berusaha keras ingin berbuat demikian.
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), dan membiarkan yang lain
terkatung-katung (QS Al-Nisa' [4]: 129).

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu.
Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau
miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (QS
Al-Nisa' [14]: 135)

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil (QS
Al-Ma-idah [5]: 8)

Kebencian tidak pernah dapat dijadikan alasan untuk
mengorbankan keadilan, walaupun kebencian itu tertuju kepada
kaum non-Muslim, atau didorong oleh upaya memperoleh ridhaNya.
Itu sebabnya Rasul Saw. mewanti-wanti agar,

Berhati-hatilah terhadap doa (orang) yang teraninya,
walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara
doanya dengan Tuhan.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
"tuqsithu" (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir)
yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak
mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain
untuk mengusir kamu... (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).

---------------- (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Mengucapkan Selamat Natal Dianggap Amalan Baik

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Ucapan selamat natal sejak beberapa tahun ini menjadi kontroversi. Sebagian kalangan membolehkan kaum muslimin untuk mengucapkan selamat natal pada nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang digunakan dalam membolehkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al Mumtahanah: 8)


Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal?
Semoga Allah menolong kami untuk menyingkap tabir manakah yang benar dan manakah yang keliru. Hanya Allah yang beri pertolongan.

Sebab Turun Ayat

Untuk siapa sebab diturunkannya ayat di atas? Dalam hal ini ada beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir[1]. Di antara pendapat tersebut adalah yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada Asma’ binti Abi Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, di mana ibundanya –Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik[2] dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. Ini adalah pendapat dari ‘Abdullah bin Az Zubair.[3]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik“.

Kemudian beliau membawakan riwayat berikut, Asma’ mengatakan,
أَتَتْنِى أُمِّى رَاغِبَةً فِى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَسَأَلْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – آصِلُهَا قَالَ « نَعَمْ »

“Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya[4]. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama” (Qs. Al Mumtahanah: 8)”[5]

Makna Ayat

Ibnu Jarir Ath Thobari -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menjalin hubungan dan berbuat adil dengan setiap orang dari agama lain yang tidak memerangi kalian dalam agama. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu“. Setiap orang yang mempunyai sifat dalam ayat ini patut bagi kita berlaku ihsan (baik) padanya. Tidak ada yang dispesialkan dari yang lainnya.”[6]

Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan, “Allah tidak melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak larang untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”[7]

Loyal (Wala’) pada Orang Kafir Itu Terlarang

Wala’ (loyal) tidaklah sama dengan berlaku ihsan (baik). Wala’ secara istilah bermakna menolong, memuliakan dan loyal dengan orang yang dicintai.[8] Sehingga wala’ (loyal) pada orang kafir akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dengan mereka dan agama yang mereka anut. Larangan loyal terhadap orang kafir ini sudah diajarkan oleh kekasih Allah –Nabi Ibrahim ‘alaihis salam- dan kita pun selaku umat Islam diperintahkan untuk mengikuti jalan beliau.

Allah Ta’ala berfirman,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Qs. Al Mumtahanah: 4)

Di samping ini adalah ajaran Nabi Ibrahim, larangan loyal (wala’) pada orang kafir juga termasuk ajaran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Qs. Al Maidah: 51)

Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan.[9]

Perlu Dibedakan antara Ihsan (Berbuat Baik) dan Wala’ (Loyal)

Perlu kiranya dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkan. Ihsan itu diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir. Sedangkan bersikap wala‘ pada orang kafir tidak diperkenankan sama sekali.

Fakhruddin Ar Rozi -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik (birr) kepada mereka (orang kafir). Namun yang Allah larang bagi kalian adalah loyal (wala’) pada mereka. Inilah bentuk rahmat pada mereka, padahal ada permusuhan sengit dengan kaum muslimin. Para pakar tafsir menjelaskan bahwa boleh kaum muslimin berbuat baik (birr) dengan orang musyrik. Namun dalam hal loyal (wala’) pada mereka itu tidak dibolehkan.”[10]

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Berbuat baik, menyambung hubungan kerabat dan berbuat ihsan (terhadap non muslim) tidaklah melazimkan rasa cinta dan rasa sayang (yang terlarang) padanya. Sebagaiman rasa cinta yang terlarang ini disebutkan dalam firman Allah,
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” (Qs. Al Mujadilah: 22). Ayat ini umum berlaku pada orang yang sedang memerangi dan orang yang tidak memerangi kaum muslimin. Wallahu a’lam.”[11]

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Berbuat baik dan berlaku adil tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir. Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik pada orang tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut. “[12]

Contoh Berbuat Ihsan pada Non Muslim

Pertama: Memberi hadiah kepada saudara non muslim agar membuat ia tertarik pada Islam.

Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “‘Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya[13] di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam.[14]

Kedua: Menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua dan kerabat non muslim.

Dari Asma’ binti Abu Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, “Ibuku mendatangiku, padahal ia seorang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku ingin meminta nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku, padahal ia sangat benci Islam. Apakah aku boleh tetap menyambung hubungan kerabat dengan ibuku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya boleh. Silakan engkau tetap menjalin hubungan dengannya.”[15]

Allah melarang memutuskan silaturahmi dengan orang tua atau kerabat yang non muslim dan Allah tetap menuntunkan agar hak mereka sebagai kerabat dipenuhi walaupun mereka kafir. Jadi, kekafiran tidaklah memutuskan hak mereka sebagai kerabat. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Qs. Luqman: 15)
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (Qs. An Nisa: 1)

Jubair bin Muth’im berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi (dengan kerabat).“[16]

Oleh karenanya, silaturahmi dengan kerabat tetaplah wajib, walaupun kerabat tersebut kafir. Jadi, orang yang mempunyai kewajiban memberi nafkah tetap memberi nafkah pada orang yang ditanggung walaupun itu non muslim. Karena memberi nafkah adalah bagian dari bentuk menjalin silaturahmi. Sedangkan dalam masalah waris tidak diperkenankan sama sekali. Karena seorang muslim tidaklah mewariskan hartanya pada orang kafir. Begitu pula sebaliknya. Karena warisan dibangun di atas sikap ingin menolong (nushroh) dan loyal (wala’).[17]

Ketiga: Berbuat baik kepada tetangga walaupun non muslim.

Al Bukhari membawakan sebuah bab dalam Adabul Mufrod dengan “Bab Tetangga Yahudi“dan beliau membawakan riwayat berikut.

Mujahid berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,
ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي

“Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang berkata,
آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!

“(Anda memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisi anda.”

“Abdullah bin ‘Amru lalu berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ

‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.”[18]

Perkara yang Termasuk Loyal pada Orang Kafir dan Dinilai Haram[19]

Pertama: Mencintai orang kafir dan menjadikan mereka teman dekat. Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al Mujadilah: 22). Wajib bagi setiap muslim memiliki rasa benci pada setiap orang kafir dan musyrik karena mereka adalah orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Dikecualikan di sini adalah cinta yang bersifat tabi’at seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya yang musyrik. Cinta seperti ini dibolehkan.

Kedua: Menetap di negeri kafir. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً,إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً,فَأُوْلَـئِكَ عَسَى اللّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللّهُ عَفُوّاً غَفُوراً

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri , (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.” (Qs. An Nisa’: 97-98)

Ada dua rincian yang mesti diperhatikan:

1. Jika orang kafir yang baru masuk Islam, lalu tinggal di negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keislaman (seperti mentauhidkan Allah, melaksanakan shalat, dan berjilbab –bagi wanita-) dan ia mampu berhijrah, maka saat itu ia wajib berhijrah ke negeri kaum muslimin. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan tidak boleh muslim tersebut menetap di negeri kafir kecuali dalam keadaan darurat.
2. Jika muslim yang tinggal di negeri kafir masih mampu menampakkan keislamannya, maka berhijrah ke negeri kaum muslimin pada saat ini menjadi mustahab (dianjurkan). Begitu pula dianjurkan ia menetap di negeri kafir tersebut karena ada maslahat untuk mendakwahi orang lain kepada Islam yang benar.

Ketiga: Diharamkan bepergian ke negeri kafir tanpa ada hajat. Namun jika ada maslahat (seperti untuk berobat, berdakwah, dan berdagang), maka ini dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat berikut:

1. Memiliki bekal ilmu agama yang kuat sehingga dapat menjaga dirinya.
2. Merasa dirinya aman dari hal-hal yang dapat merusak agama dan akhlaqnya.
3. Mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam pada dirinya.

Keempat: Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[20] Di antara dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[21]
Oleh karena itu, perilaku tasyabuh (menyerupai orang kafir) dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka adalah diharamkan. Contohnya adalah mencukur jenggot dan mengikuti model pakaian yang menjadi ciri khas mereka.

Kelima: Bekerjasama atau membantu merayakan perayaan orang kafir, seperti membantu dalam acara natal. Hal ini diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan Allah Ta’ala pun berfirman,
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)

Begitu pula diharamkan menghadiri perayaan agama mereka. Allah Ta’ala menceritakan mengenai sifat orang beriman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

“Dan orang-orang yang beriman adalah yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Qs. Al Furqon: 72). Di antara makna “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.[22] Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib[23].
Begitu pula diharamkan mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir. Bahkan diharamkannya hal ini berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para ulama.

Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal

Perkataan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahlu Dzimmah:
“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[24]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”[25]
Herannya ulama-ulama kontemporer saat ini[26] malah membolehkan mengucapkan selamat Natal. Alasan mereka berdasar pada surat Al Mumtahanah ayat 8. Sungguh, pendapat ini adalah pendapat yang ‘nyleneh’ dan telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Pendapat ini muncul karena tidak bisa membedakan antara berbuat ihsan (berlaku baik) dan wala’ (loyal). Padahal para ulama katakan bahwa kedua hal tersebut adalah berbeda sebagaimana telah kami utarakan sebelumnya.

Pendapat ini juga sungguh aneh karena telah menyelisihi kesepakatan para ulama (ijma’). Sungguh celaka jika kesepakatan para ulama itu diselisihi. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.“(Qs. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Dari sini, kami merasa aneh jika dikatakan bahwa mengucapkan selamat natal pada orang nashrani dianggap sebagai masalah khilafiyah (beda pendapat). Padahal sejak masa silam, para ulama telah sepakat (berijma’) tidak dibolehkan mengucapkan selamat pada perayaan non muslim. Baru belakangan ini dimunculkan pendapat yang aneh dari Yusuf Qardhawi, cs. Siapakah ulama salaf yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini? Padahal sudah dinukil ijma’ (kata sepakat) dari para ulama tentang haramnya hal ini.

Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama salaf di masa silam yang menganggap bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk berbuat baik (ihsan) dan dibolehkan, padahal acara-acara semacam natalan dan perayaan non muslim sudah ada sejak masa silam?! Di antara latar belakangnya karena tidak memahami surat Mumtahanah ayat 8 dengan benar. Tidak memahami manakah bentuk ihsan (berbuat baik) dan bentuk wala’ (loyal). Dan sudah kami utarakan bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk wala’ dan diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’). Dan namanya ijma’ tidak pernah lepas dari dari Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana seringkali diutarakan oleh para ulama. Hanya Allah yang memberi taufik.

Bentuk Interaksi yang Dibolehkan dengan Non Muslim[27]

Agar tidak disalahpahami, sekarang kami akan utarakan beberapa hal yang mestinya diketahui bahwa hal-hal ini tidak termasuk loyal (wala’) pada orang kafir. Dalam penjelasan kali ini akan dijelaskan bahwa ada sebagian bentuk muamalah dengan mereka yang hukumnya wajib, ada yang sunnah dan ada yang cuma sekedar dibolehkan.
Namun sebelumnya kita harus mengetahui lebih dulu bahwa orang kafir itu ada empat macam:

1. Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan di antara mereka dan kaum muslimin memiliki perjanjian.
2. Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap mereka.
3. Kafir musta’man yaitu orang kafir masuk ke negeri kaum muslimin dan diberi jaminan keamanan oleh penguasa muslim atau dari salah seorang muslim.
4. Kafir harbi yaitu orang kafir selain tiga jenis di atas. Kaum muslimin disyari’atkan untuk memerangi orang kafir semacam ini sesuai dengan kemampuan mereka.[28]

Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang diwajibkan adalah:

Pertama: Memberikan rasa aman kepada kafir dzimmi dan kafir musta’man selama ia berada di negeri kaum muslimin sampai ia kembali ke negerinya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (Qs. At Taubah: 6)

Kedua: Berlaku adil dalam memutuskan hukum antara orang kafir dan kaum muslimin, jika mereka berada di tengah-tengah penerapan hukum Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Maidah: 8)

Ketiga: Mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam. Ini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya. Karena mendakwahi mereka berarti telah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk mereka ketika sakit, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk anak kecil yang beragama Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia pun masuk Islam.

Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang mengabdi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di sisinya. Lalu ayahnya mengatakan, “Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah) –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Akhirnya anak Yahudi tersebut masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa neraka.“[29]

Keempat: Diharamkan memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk masuk Islam. Karena Allah Ta’ala berfirman,
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Qs. Al Baqarah: 256). Ibnu Katsir mengatakan, “Janganlah memaksa seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang. Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri hidayah untuk menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia berarti telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi, barangsiapa yang masih tetap Allah butakan hati, pendengaran dan penglihatannya, maka tidak perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk Islam.”[30]

Cukup dengan sikap baik (ihsan) yang kita perbuat pada mereka membuat mereka tertarik pada Islam, tanpa harus dipaksa.

Kelima: Dilarang memukul atau membunuh orang kafir (selain kafir harbi). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهِدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir mu’ahid ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.”[31]

Keenam: Tidak boleh bagi seorang muslim pun menipu orang kafir (selain kafir harbi) ketika melakukan transaksi jual beli, mengambil harta mereka tanpa jalan yang benar, dan wajib selalu memegang amanat di hadapan mereka. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Ingatlah! Barangsiapa berlaku zholim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya, membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa keridhoan mereka, maka akulah nantinya yang akan sebagai hujah mematahkan orang semacam itu.”[32]

Ketujuh: Diharamkan seorang muslim menyakiti orang kafir (selain kafir harbi) dengan perkataan dan dilarang berdusta di hadapan mereka. Jadi seorang muslim dituntut untuk bertutur kata dan berakhlaq yang mulia dengan non muslim selama tidak menampakkan rasa cinta pada mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Qs. Al Baqarah: 83). Berkata yang baik di sini umum kepada siapa saja.

Kedelapan: Berbuat baik kepada tetangga yang kafir (selain kafir harbi) dan tidak mengganggu mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا زَالَ يُوصِينِى جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

“Jibril terus menerus memberi wasiat kepadaku mengenai tetangga sampai-sampai aku kira tetangga tersebut akan mendapat warisan.“[33]

Kesembilan: Wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir. Namun balasannya adalah wa ‘alaikum.[34] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

“Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah: Wa ‘alaikum.“[35]
Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَمِ

“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.“[36]

Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang dibolehkan dan dianjurkan adalah:

Pertama: Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dalam pekerjaan atau proyek kaum muslimin selama tidak membahayakan kaum muslimin.

Kedua: Dianjurkan berbuat ihsan (baik) pada orang kafir yang membutuhkan seperti memberi sedekah kepada orang miskin di antara mereka atau menolong orang sakit di antara mereka. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.”[37]

Ketiga: Tetap menjalin hubungan dengan kerabat yang kafir (seperti orang tua dan saudara) dengan memberi hadiah atau menziarahi mereka. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.

Keempat: Dibolehkan memberi hadiah pada orang kafir agar membuat mereka tertarik untuk memeluk Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.

Kelima: Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memuliakan orang kafir ketika mereka bertamu sebagaimana boleh bertamu pada orang kafir dan bukan maksud diundang. Namun jika seorang muslim diundang orang kafir dalam acara mereka, maka undangan tersebut tidak perlu dipenuhi karena ini bisa menimbulkan rasa cinta pada mereka.

Keenam: Boleh bermuamalah dengan orang kafir dalam urusan dunia seperti melakukan transaksi jual beli yang mubah dengan mereka atau mengambil ilmu dunia yang bernilai mubah yang mereka miliki (tanpa harus pergi ke negeri kafir).

Ketujuh: Diperbolehkan seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) haram untuk dinikahi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (Qs. Al Maidah: 5). Ingat, seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab hanyalah dibolehkan dan bukan diwajibkan atau dianjurkan. Dan sebaik-baik wanita yang dinikahi oleh pria muslim tetaplah seorang wanita muslimah.

Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan orang kafir mana pun baik ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) dan selain ahlul kitab karena Allah Ta’ala berfirman,
لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Mereka (wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Qs. Al Mumtahanah: 10)

Kedelapan: Boleh bagi kaum muslimin meminta pertolongan pada orang kafir untuk menghalangi musuh yang akan memerangi kaum muslimin. Namun di sini dilakukan dengan dua syarat:

1. Ini adalah keadaan darurat sehingga terpaksa meminta tolong pada orang kafir.
2. Orang kafir tidak membuat bahaya dan makar pada kaum muslimin yang dibantu.

Kesembilan: Dibolehkan berobat dalam keadaan darurat ke negeri kafir.

Kesepuluh: Dibolehkan menyalurkan zakat kepada orang kafir yang ingin dilembutkan hatinya agar tertarik pada Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, orang-orang yang ingin dibujuk hatinya.” (Qs. At Taubah: 60)

Kesebelas: Dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir selama tidak sampai timbul perendahan diri pada orang kafir atau wala’ (loyal pada mereka). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah dari beberapa orang musyrik. Namun ingat, jika hadiah yang diberikan tersebut berkenaan dengan hari raya orang kafir, maka sudah sepantasnya tidak diterima.

***

Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat baik dengan hal-hal yang dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.

Semoga Allah selalu menunjuki kita pada jalan yang lurus. Hanya Allah yang beri taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Al Faqir Ilallah

Muhammad Abduh Tuasikal
Panggang, Gunung Kidul, 25 Dzulhijah 1430 H
[1] Sebagian ulama pakar tafsir (seperti Qotadah) menyatakan bahwa surat Al Mumtahanah ayat 8 berlaku untuk semua orang kafir. Jadi kita diperintahkan untuk berlaku baik dengan orang kafir. Namun menurut pendapat ini, ayat tersebut telah mansukh (dihapus) dengan surat At Taubah ayat 5 yang memerintahkan untuk memerangi orang kafir (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/19,Mawqi’ Al Islam). Akan tetapi, pakar tafsir lainnya tetap menyatakan bahwa surat Al Mumtahanah ayat 8 adalah ayat yang tidak mansukh dan mereka berdalil dengan kisah Asma’ binti Abu Bakr (Lihat Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 170, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 2003 ).
[2] Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ibu Asma’ mati dalam keadaan musyrik. Sebagian ulama mengatakan bahwa ibunya mati dalam keadaan Islam. Nama ibu Asma’ ada yang menyebut Qoylah dan ada pula yang menyebut Qotilah. (Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 7/89, Dar Ihya’ At Turots Al Arobi, Beirut, cetakan kedua, 1392). Qotilah adalah istri Abu Bakr yang sudah dicerai di masa Jahiliyah. (Lihat ‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari, Badaruddin Al ‘Aini Al Hanafi, 20/169, Asy Syamilah)
[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 8/236-237, Al Maktab Al Islami Beirut, cetakan ketiga, tahun 1404 H.
[4] Makna ini berdasarkan riwayat Abu Daud. Al Qodhi mengatakan bahwa makna lain dari roghibah adalah benci dengan Islam. Jadi, ibunda Asma’ sangat benci dengan Islam, sehingga ia pun bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah masih boleh ia menjalin hubungan dengan ibunya. Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 7/89.
[5] HR. Bukhari no. 5798.
[6] Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, Muhaqqiq: Ahmad Muhammad Syakir, 23/323, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama tahun 1420 H.
[7] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin Muhammad Salamah, 8/90, terbitan Dar At Thoyibah, cetakan kedua, 1420 H.
[8] Lihat Al Wala’ wal Baro’, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani, hal. 307, Asy Syamilah.
[9] Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 11/138, Mawqi’ Ya’sub.
[10] Mafatihul Ghoib, Fakhruddin Ar Rozi, 15/325, Mawqi’ At Tafasir.
[11] Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i, 5/233, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[12] Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 166, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 2003.
[13] Saudara ‘Umar ini bernama ‘Utsman bin Hakim, dia adalah saudara seibu dengan ‘Umar. Ibu ‘Umar bernama Khoitsamah binti Hisyam bin Al Mughiroh. Lihat Fathul Bari, 5/233.
[14] HR. Bukhari no. 2619.
[15] HR. Bukhari no. 2620.
[16] HR. Muslim no. 2556.
[17] Lihat pembahasan Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani dalam Al Wala’ wal Baro’, hal. 303, Asy Syamilah.
[18] Adabul Mufrod no. 95/128. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Al Irwa’ (891): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 123-Fii Haqqil Jiwar. At Tirmidzi: 25-Kitab Al Birr wash Shilah, 28-Bab Maa Jaa-a fii Haqqil Jiwaar]
[19] Kami olah dari Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, Prof. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, hal. 224-229, Maktabah Al Mulk Fahd Al Wathoniyah, cetakan pertama, 1425 H.
[20] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[21] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269
[22] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/484, Mawqi’ Al Islam.
[23] Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/483.
[24] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[25] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/28-29, no. 404, Asy Syamilah.
[26] Semacam Yusuf Qardhawi, begitu pula Lembaga Riset dan Fatwa Eropa. Juga yang melegalkan ucapan selamat natal pada Nashrani adalah Quraish Shihab.
[27] Kami olah dari Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, hal. 232-242.
[28] Lihat Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, hal. 232-234.
[29] HR. Bukhari no. 1356.
[30] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 1/682, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[31] HR. Bukhari no. 3166.
[32] HR. Abu Daud no. 3052. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al Mala ‘Ala Qori, 12/284, Mawqi’ Al Misykah Al Islamiyah.
[33] HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2625, dari ‘Aisyah.
[34] Namun sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ahlul kitab mengucapkan salamnya itu tegas “Assalamu”alaikum“, maka jawabannya adalah tetap semisal dengannya yaitu: “Wa’alaikumus salam.” Alasannya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (Qs. An Nisa’: 86). Sebagaimana hal ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
[35] HR. Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163, dari Anas bin Malik.
[36] HR. Tirmidzi no. 1602 dan Ahmad (2/266). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[37] HR. Bukhari no. 2466 dan Muslim no. 2244.

Amalan Puasa 'Asyura

Alhamdulillah, saat ini kita telah berada di bulan Muharram. Mungkin masih banyak yang belum tahu amalan apa saja yang dianjurkan di bulan ini, terutama mengenai amalan puasa. Insya Allah kita akan membahasnya pada tulisan kali ini. Semoga bermanfaat.

Dianjurkan Banyak Berpuasa di Bulan Muharram

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[1]

An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[2]

Lalu mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui banyak berpuasa di bulan Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh An Nawawi.

Pertama: Mungkin saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaan banyak berpuasa di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.

Kedua: Boleh jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak puasa pada bulan Muharram.[3]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab -pen) adalah puasa di bulan Muharram (syahrullah).”[4]

Sesuai penjelasan Ibnu Rajab, puasa sunnah (tathowwu’) ada dua macam:

1. Puasa sunnah muthlaq. Sebaik-baik puasa sunnah muthlaq adalah puasa di bulan Muharram.
2. Puasa sunnah sebelum dan sesudah yang mengiringi puasa wajib di bulan Ramadhan. Ini bukan dinamakan puasa sunnah muthlaq. Contoh puasa ini adalah puasa enam hari di bulan Syawal.[5]

Di antara sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram.[6] Bulan haram adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram dan Rajab.

Puasa yang Utama di Bulan Muharram adalah Puasa ‘Asyura

Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura’ yaitu pada tanggal 10 Muharram[7]. Berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”[8]

An Nawawi -rahimahullah- mengatakan, “Para ulama sepakat, hukum melaksanakan puasa ‘Asyura untuk saat ini (setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, -pen) adalah sunnah dan bukan wajib.”[9]

Baca selengkapnya di sini:
http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2832-amalan-puasa-asyura.html

Kembali pada Allah Sebab Terlepas dari Musibah

(Perlu diketahui), semua musibah yang terjadi di alam ini, berupa gempa dan musibah lainnya yang menimbulkan bahaya bagi para hamba serta menimbulkan berbagai macam penderitaan, itu semua disebabkan oleh perbuatan syirik dan maksiat yang diperbuat. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuura: 30)

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79)

Allah Ta’ala menceritakan tentang umat-umat terdahulu,

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40)

[Kembali pada Allah Sebab Terlepas dari Musibah]

Oleh karena itu, wajib bagi setiap kaum muslimin yang telah dibebani syari’at dan kaum muslimin lainnya, agar bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, konsisten di atas agama, serta menjauhi larangan Allah yaitu kesyirikan dan maksiat. Sehingga dengan demikian, mereka akan selamat dari seluruh bahaya di dunia maupun di akhirat. Allah pun akan menghindarkan dari mereka berbagai adzab, dan menganugrahkan kepada mereka berbagai kebaikan. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96)

Allah Ta’ala pun mengatakan tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani),

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.” (QS. Al-Maidah: 66)

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ, أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ, أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf : 97-99)

Baca selengkapnya:
http://rumaysho.com/fatwa-ulama/nasehat/2723-nasehat-ulama-di-balik-musibah-gempa-bumi.html

Popular post

 
Support : Jasa Pembuatan Website | Toko Online | Web Bisnis
Copyright © 2011. Nurul Asri - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger