Latest Post

MANUSIA UNGGULAN DALAM PERSPEKTIF TASAWUF


Manusia unggulan dalam perspektif tasawuf, mereka yang selalu melaksanakan dua tugas pokok, yaitu tugas ibadah sebagai bentuk aplikasi pengkhidmatan kepada Allah dan tugas sosial sebagai bentuk pengabdian kepada sesama.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada terputus.” (QS. At-Tin: 4-6).

Di dalam ayat tadi disebutkan manusia adalah makhluk unggulan karena peran gandanya, peran sebagai ‘abid seperti terindikasikan dalam ungkapan âmanû dan peran sebagai khalifah seperti terindikasikan dalam ungkapan wa ‘amilû as-shâlihât. Konsep ‘abid menunjukan hubungan vertikal (hablum minallah), dan itu lebih bersifat personal. Sementara konsep khalifah, terkait dengan tanggung jawab sosial, hubungan horizontal (hablum minannas). Kalau ‘abid itu tanggung jawab personal dengan Tuhan, sedang khalifah itu adalah tanggung jawab sosial dalam hubungannya dengan sesama manusia. Karena Allah selalu menggandengkan dua kalimat itu hampir di semua ayat-ayat-Nya, manusia unggulan akan selalu melakukan kedua peran itu secara bersamaan. Dengan demikian, kualitas manusia menurut perspektif tasawuf dilihat dari peran ganda ini.

Pada suatu hari Umar bin Khattab Ra. pernah ditanya, “kenapa engkau tidak pernah tidur?” Umar menjawab, “kalau saya tidur di malam hari bagaimana saya bisa dekat kepada Allah Swt, karena sepanjang hari waktu habis untuk mengurus umat.” Jadi, waktu dia sepanjang hari habis untuk melayani umat, karena dia seorang khlaifah. Tapi malam hari, ia selalu bangun malam untuk beribadah. Yang demikian itu adalah contoh konkrit amalan tasawuf yang berpijak dari ayat dimaksud.

Masih banyak orang berasumsi bahwa aktifitas tasawuf hanya terbatas pada dzikir-dzikir, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah ritual lainnya (hablu minallah), sementara sisi ibadah sosial (hablu minannas) diabaikan. Asumsi seperti itu tentu saja tidak benar, karena ibadah sosial juga tidak kalah pentingnya dibandingkan ibadah ritual. Bahkan, tidak jarang karena mengabaikan ibadah sosial, ibadah ritual bisa menjadi tidak berarti. Itu merupakan inti dari tujuan tasawuf, seperti disinyalir dalam surah al-Ma’un;

“Apakaha anda tahu orang yang mendustakan agama itu? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka celakalah bagi orang yang shalat.” (QS. Al-Ma’un: 1- 4).

Ayat “maka celakalah bagi orang yang shalat” disebutkan setelah dua ayat yang berkaitan dengan masalah sosial, yaitu menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Itu adalah suatu gambaran bahwa pelaku shalat yang tidak peduli terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan, lemah, tidak mampu, dan tidak memberikan dampak sosial yang baik yang direalisasikan melalui interaksi mereka dengan sesamannya, justru shalatnya itu akan mencelakakannya.

Lebih jelas lagi diceritakan dalam sebuah hadis, ada seorang wanita yang rajin shalat di malam hari dan rajin puasa di siang hari, tetapi Rasul mengatakan dia itu masuk neraka, tentu saja para sahabat menunjukan keheranannya dan bertanya alasannya kepada Rasulullah Saw, beliau menjawab, “ia masuk neraka karena ia selalu menyakiti hati tetangganya dengan lidah”. (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari Abu Hurairah). Berdasarkan hadis tersebut, seakan-akan shalat dan puasa yang dilakukan wanita tadi tidak berarti sama sekali, lantaran ia tidak mau berkomunikasi secara baik dengan tetangga atau sesamanya.

Di dalam Islam, tugas-tugas kemasyarakatan ini mempunyai kedudukan penting, sehingga dihargai lebih tinggi dari pada ibadah-ibadah ritual.

Mantan syekh Al-Azhar, Abdul Halim Mahmud, memberikan bukti-bukti bahwa beberapa orang sufi adalah pedagang-pedagang yang aktif dan cukup sukses.

Gerakan Sanusiah di Afrika Utara adalah gerakan pembaharu sosial yang sangat sufistik, begitu juga Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir. Sartono, ahli sejarah Indonesia, mencatat bahwa gerakan-gerakan protes di pedesaan di Jawa diwarnai oleh sufisme.

Pada suatu ketika, ada seorang sahabat Rasulullah Saw. melewati sebuah lembah yang cukup indah dan memesona. Lembah itu mempunyai mata air yang jernih dan segar, sehingga sahabat itu berfikir untuk menghabiskan sisa hidupnya di lembah yang jauh dari keramaian masyarakat itu, dan ia ingin mengisinya dengan shalat, puasa, dzikir, berdo’a kepada Allah Swt. Kemudian maksud itu diberitahukan kepada Rasulullah Saw, dan beliau berkata:

“Jangan lakukan itu, kedudukanmu di jalan Allah lebih utama daripada shalat yang engkau lakukan di rumahmu selama tujuh puluh tahun. Tidakkah anda ingin agar Allah mengampuni dosamu dan memasukkanmu ke surga? Berjuanglah di jalan Allah”. (HR. Tirmidzi).

Dalam hadis lain disebutkan juga:

“Dari Abu Umamah, dia bercerita: “Kami keluar bersama Rasulullah Saw. dalam salah satu ekspedisi beliau, kemudian seseorang melewati sebuah gua yang di situ ada air. Orang itu berkata kepada dirinya sendiri untuk tinggal dalam gua itu dengan jaminan hidup dari air yang ada dan memakan tetumbuhan di sekitarnya kemudian melepaskan diri dari dunia. Lalu orang itu berkata, “Kalau nanti aku bertemu Nabi Allah Saw. aku akan ceritakan perkara itu kepada beliau. Kalau beliau izinkan, aku akan lakukan, kalau tidak, tidak”. Maka, datanglah ia menemui beliau (Nabi), lalu berkata, “Wahai Nabi Allah, aku melewati sebuah gua yang di situ ada air dan tetumbuhan yang menjamin hidupku. Maka, aku pun berkata kepada diriku sendiri untuk tinggal di gua itu dan melepaskan diri dari dunia.” Orang itu menuturkan bahwa Nabi saw. menjawab, “Aku tidak diutus dengan keyahudian, juga tidak dengan kekeristenan. Aku diutus dengan kehanifan yang lapang (al-hanafiyatu al-samha’). Demi Dia yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, pergi-pagi dan pulang–petang di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Pastilah berdiri tegaknya seseorang di antara kamu (dalam barisan perjuangan) adalah lebih baik daripada sembahyangnya selama enam puluh tahun.” (H.R. Ahmad).

Berjuang atau pergi di jalan Allah Swt. adalah hidup di tengah-tengah masyarakat dan ikut berperan serta dalam membangun, memberikan yang terbaik bagi sesama, menyebarkan rasa cinta dan kasih sayang, menyerukan perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan mungkar, dan peran-peran kemanusiaan lainnya, karena kehadiran seorang muslim sebagai anggota masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk suatu perubahan masyarakat.

Ada beberapa hadis menjelaskan tentang manusia terbaik, dan semua itu bermuara pada sikap perbuatan yang dilakukan antar sesama, di antara hadis- hadis itu adalah:

“Manusia yang paling baik ialah yang paling baik akhlaknya. Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya kepada sesama. Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling baik dalam membayar hutangnya. Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik kepada isteri dan anak-anaknya. Yang paling baik di antara kamu adalah engkau masukan rasa bahagia kepada hati saudaramu yang mukmin.”

Sekali lagi, kebanyakan ayat al-Qur’an ketika menyebut kata âmanû (ibadah ritual) selalu digandengkan dengan kata wa ‘amilû as-shâlihât (ibadah soaial), karena memang keduanya tak bisa terpisah. Sesudah shalat pada waktunya dan membasahi lidah dengan dzikir kepada Allah, manusia paling baik akan berjuang di tengah-tengah manusia. Ia akan berusaha memasukan rasa bahagia kepada orang lain, ia akan memperlakukan isteri dan anak-anaknya dengan baik, ia memperbaiki masyarakat dengan melakukan kontrol sosial yang penuh tanggung jawab dan lain-lain, karena memang kecintaan kepada Allah Swt. melalui kecintaan kepada sesama, dan kedekatan manusia kepada Allah Swt. dengan melakukan sopan santun kepada sesamanya. Inilah salah satu yang terkandung dalam pengertian tasawuf, seperti dikatakan seorang sufi besar Junaid Al-Baghdadi, “bertasawuf adalah engkau merasa bersama Allah Swt. dan Allah Swt. bersama engkau, dan kedekatan itu bisa dilakukan dengan menyantuni sesama, seperti menyantuni orang-orang yang hancur hatinya.”

Ketika Nabi Musa bertanya kepada Allah Swt, “Tuhanku, di mana aku harus mencari-Mu, Allah Swt. menjawab, “Carilah aku di tengah-tengah mereka yang hancur hatinya”.

Tetapi, ketika tugas ganda ini terlepas dari manusia, Allah akan menempatkan manusia ke tempat yang sangat hina (neraka), mereka menjadi manusia yang tak berarti, manusia yang lebih sesat, lebih keji, dan lebih kejam daripada binatang, dan ketika itu tidak akan ada yang namanya kebaikan, kesejahteraan, dan kedamaian, baik buat dirinya maupun buat masyarakatnya. Allah Swt. berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al-A’raf: 179).

Dengan begitu, manusia unggulan dalam perspektif tasawuf yaitu mereka yang selalu melaksanakan dua tugas pokok ini, tugas ibadah sebagai bentuk aplikasi pengkhidmatan kepada Allah dan tugas sosial sebagai bentuk pengabdian kepada sesama. Wa Allâhu a’lam bi ash-shawwâb.

Sumber :
Ditulis oleh Abdul Rouf, Lc, MA, peserta Pendidikan Kader Mufasir (PKM) PSQ dan dosen Uin Syahid Jakarta.

SAYYIDINA UMAR IBN AL-KHATHTHAB MENJELANG GUGURNYA

SAYYIDINA UMAR IBN AL-KHATHTHAB MENJELANG GUGURNYA

Umar Bin Al Khaththab
Sayyidina Umar Ibn al-Khaththâb ra. yang sukses memimpin umat dan membebaskan sekian wilayah di luar Jazirah Arabia, tentu saja sangat dibenci oleh para mantan penguasa yang ditaklukkannya. Mereka menyewa seseorang untuk membunuh beliau, suatu tugas yang tidak terlalu sulit, karena Umar ra. adalah seorang yang enggan dikawal oleh pasukan.

Pada suatu pagi, beliau keluar rumah berkeliling membangunkan kaum muslimin untuk shalat subuh. Beliau sendiri yang mengimami jamaah, mengharapkan mereka meluruskan shaf sebelum menghadap Allah. Di pagi itu, baru saja beliau mengucapkan Takbiratul Ihrâm, tiba-tiba seorang pembunuh yang menaruh dendam atas Umar menikamnya dengan dua kali tikaman. Pertama mengenai bahu beliau dan yang kedua menusuk pinggangnya. Riwayat lain menyatakan tiga tikaman, dan yang ketiga ini di bawah pusar beliau. Tikaman-tikaman itu, tidak melengahkan beliau dari tugas memimpin shalat, bahkan beliau enggan menunda shalat – yang waktunya masih cukup untuk ditangguhkan beberapa saat sebelum terbitnya matahari. Ketika itu juga beliau mencari Abdurrahman bin ‘Auf, agar sahabat Nabi ini mengimami shalat.

Beberapa saat setelah beliau di tikam, silih berganti kesadaran dan ketidaksadaran mengunjunginya. Orang-orang di sekeliling beliau berkata: “Tidak ada yang dapat menyadarkannya seperti shalat – kalau memang dia masih hidup.” Lalu hadirin berucap: “Shalat wahai Amir al-Mu’minin. Shalat telah hampir dilaksanakan.” Beliau sadar dan berkata: “Shalat? Kalau demikian di sanalah Allah. Tiada keberuntungan dalam ajaran Islam, bagi yang meninggalkan shalat.” Maka beliau melaksanakan shalat dengan darah bercucuran.

Dalam keadaan sadar, beliau berpesan kepada Ibnu ‘Abbâs: “Cari tahulah siapa yang membunuhku.” Maka beberapa saat kemudian Ibnu ‘Abbâs datang menyampaikan bahwa: “Ia adalah si Fairûz, Abu Lu’luah. salah seorang bekas tawanan dari Persia. Umar ra. bertanya: “Si Tukang itu?” Ibnu ‘Abbâs mengiyakan. Maka Umar berkata: “Tuhan mengutuknya. Aku telah memerintahkan berbuat baik kepadanya. Alhamdulillah yang menjadikan kematianku bukan di tangan seorang yang mengaku muslim.” Ketika itu masuk seorang pemuda yang pakaiannya menyentuh tanah – mengesankan kebanggaan. Dalam keadaan berlumuran darah, beliau masih sempat memberi nasihat: “Anak saudaraku! Angkatlah pakaianmu sehingga tidak menyentuh tanah, karena itu menjadikannya lebih bersih dan mengantarmu lebih bertakwa.”

“Dokter” segera didatangkan untuk mengobati luka yang masih bercucuran darah. Beliau disuguhi perahan kurma yang berwarna merah. Tetapi mengalir dari perut beliau dan keluar warna merah, tidak diketahui apakah itu darah atau perahan kurma itu. Lalu beliau disuguhi susu, kali ini keluar berwarna putih kemerah-merahan. Rupanya usus beliau bocor. Sang dokter berbisik kepada beliau: “Sampaikanlah pesanmu – yakni engkau sedang menghadapi maut – seandainya aku menyampaikan selain itu, pastilah aku berbohong.” Beliau pun memutuskan untuk membentuk panitia syura guna menetapkan siapa khalifah sesudah beliau.

Setelah urusan umat selesai, beliau mengarah kepada urusan dirinya. Yang pertama adalah hutang beliau. Beliau ingin menyelesaikannya, atau paling tidak mendapat jaminan tentang pembayaran hutangnya sebelum meninggalkan dunia ini. Beliau berpesan agar mengumpulkan peninggalannya guna membayar hutang beliau, kalau belum cukup, beliau meminta kerelaan keluarga kecil hingga keluarga besarnya. Abdullah – anak beliau – kemudian menjamin untuk membayar semua hutang ayahnya, padahal beliau adalah seorang penguasa penakluk Empire Persia dan Romawi.

Setelah urusan hutang selesai, Umar ra. memerintahkan putranya Abdullah bahwa: “Pergilah menemui Ummu al-Mu’minîn Aisyah dan katakan kepadanya: ‘Umar menyampaikan salam untukmu’. Jangankan katakan Amir al-Mu’minin – karena hari ini aku bukan lagi Amir al-Mu’minin. Katakan kepadanya: ‘Umar meminta izin kiranya dapat dikuburkan bersama kedua sahabatnya’ (yakni Nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar ra.).1 Abdullah pun pergi dan tak lama kemudian dia datang menyampaikan perkenan Aisyah ra. – walau Aisyah ketika itu berkata: “Aku tadinya mengharap dikuburkan di samping Rasul, tetapi untuk Umar, maka aku dahulukan beliau atas diriku.” Umar ra. memuji Allah sambil berucap: “Tidak ada sesuatu yang lebih penting dariku melebihi itu”, lalu beliau berkata lagi – takut masih ada ketidakrelaan Aisyah: “Kalau nanti aku telah wafat, maka usunglah aku ke sana dan ucapkanlah salam lalu sampaikan (sekali lagi kepada Aisyah ra.) bahwa Umar meminta izin. Jika dia mengizinkan maka kuburkanlah aku di sana, dan jika tidak, maka kuburkan aku dipekuburan kaum muslimin.”

Ibnu ‘Abbâs ra. menyampaikan bahwa ketika Umar ra ditikam, aku berkata: “Berbahagialah dengan surga.” Beliau menjawab: “Demi Allah, seandainya aku memiliki dunia dan segala isinya, niscaya kutebus dengannya marabahaya yang ada di hadapanku – sebelum aku mengetahui apa yang akan terjadi.” Dalam riwayat yang lain Ibnu ‘Abbâs berkata: “Hai Amir al-Mu’min, engkau telah memeluk Islam, ketika orang banyak masih kafir. Engkau berjuang bersama Nabi, saat orang banyak memusuhi beliau. Engkau terbunuh sebagai syahid, dan tidak ada seorang pun yang berselisih tentang dirimu, Rasul pun wafat dalam keadaan ridha terhadapmu.” Umar ra. meminta agar Ibnu ‘Abbâs mengulangi ucapannya. Maka dia mengulanginya. Lalu Umar ra. berkomentar: “Seorang yang tertipu atau lengah adalah siapa yang kalian tipu atau lengahkan dengan kata-kata itu. Demi Allah, seandainya aku memiliki segala apa yang terdapat di bumi ini, niscaya kutebus dengannya marabahaya yang ada di hadapanku.” Ibnu ‘Abbâs berkata: “Wahai Amir al-Mu’min. Demi Allah, sesungguhnya keislamanmu merupakan kemenangan, pemerintahanmu adalah keberhasilan membuka wilayah baru, engkau telah memenuhi bumi dengan keadilan. Tidak dua orang pun mengadu kepadamu, kecuali keduanya menerima putusanmu.” Sayyidina Umar ra. yang ketika itu sedang berbaring, meminta agar didudukkan. Lalu beliau meminta agar Ibnu ‘Abbâs mengulangi ucapannya. Setelah mendengarnya sekali lagi, beliau berkata: “Apakah engaku akan bersaksi untukku seperti ucapanmu ini di hari Kemudian?” Ibnu ‘Abbâs mengiyakan. Umar sungguh bahagia.

Demikian sekelumit dari kisah Sayyidina Umar serta pesan beliau menjelang wafat.
Sumber :
Disunting dari buku "Menjemput Maut" karya M. Quraish Shihab.

Doa agar baik dalam amalan akhir


Do’a sederhana yang sudah sepatutnya kita hafal dan amalkan karena begitu ringkas namun kandungannya amat mendalam.

Do’a tersebut adalah:

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

Allahumma ahsin ‘aqibatanaa fil umuuri kullihaa, wa ajirnaa min khizyid dunyaa wa ‘adzabil akhiroh. (Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat)[1]

Penjelasan:

Maksud do’a “Allahumma ahsin ‘aqibatanaa fil umuuri kullihaa” adalah Ya Allah jadikanlah setiap urusan kami itu baik dan thoyib. Karena setiap amalan tergantung pada akhirnya. Maka jadikanlah setiap amalan kami itu baik, diridhoi oleh-Mu, tetapkanlah kami terus dalam keadaan baik sehingga kami kembali pada-Mu dalam keadaan yang paling baik.

Sedangkan penggalan do’a “ajirnaa min khizyid dunyaa”, selamatkanlah kami dari kebinasaan di dunia yaitu musibah, berbagai tipu daya, kejelekan dan kehinaan di dalamnya.

Penggalan do’a yan terakhir “wa ‘adzabil akhiroh”, selamatkanlah kami dari seluruh siksa di akhirat karena kalimatnya adalah umum (sebab adanya idhofah pada isim jenis), artinya mencakup seluruh siksaan yang ada di akhirat.

Do’a ini mengandung permintaan agar diberi keselamatan, juga rasa aman dari segala sisi. Karena barangsiapa yang terselamatkan dari kehinaan dunia dan siksa di akhirat, maka ia telah mendapatkan kebaikan besar di dunia negeri. Jika terselamatkan, berarti ia selamat dari segala kejelekan. Do’a ini benar-benar adalah do’a yang jawami’ul kalim (ringkas, syarat makna, mencakup berbagai hal).

***

Semoga do’a sederhana ini bisa kita amalkan agar kita memperoleh keselamatan di setiap saat, di setiap tempat di negeri ini dan di akhirat kelak.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



Prepared at night on 7th Muharram 1432 (13/12/2010) in Riyadh, KSA

Muhammad Abduh Tuasikal

KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN (bag 3)

Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Keadilan sosial seperti terlihat di atas, bukan mempersamakan
semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam
kesempatan mengukir prestasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial
didefinisikan sebagai "kerja sama untuk mewujudkan masyarakat
yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota
masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk
tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing."

Nah, jika di antara mereka ada yang tidak dapat meraih
prestasi atau memenuhi kebutuhan pokoknya, masyarakat yang
berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar
mereka pun dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial
semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial.

Bukankah telah dikemukakan pada awal uraian ini bahwa keadilan
akan mengantarkan kita kepada kesejahteraan? Dengan kata lain,
bukti atau anak sah keadilan sosial adalah kesejahteraan
sosial.

KESEJAHTERAAN SOSIAL

"Sejahtera" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "aman,
sentosa dan makmur; selamat (terlepas) dari segala macam
gangguan, kesukaran dan sebagainya." Dengan demikian
kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang
sejahtera.

Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang
didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam
dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan
tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum
Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih
dahulu ditempatkan di surga.

Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa,
sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta
kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang
mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang
berkesejahteraan.

Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan
Allah kepada Adam:

Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu
dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya
engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak
akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan
telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa
dahaga maupun kepanasan (QS Thaha [20]: 117- 119)

Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, den papan yang
diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan
kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya
kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan
sosial.

Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga
hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu
dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada
pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia:

Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga) perkataan
sia-sia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi
ucapan salam dan salam (sikap damai) (QS Al-Waqi'ah
[56]: 25 dan 26).

Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang beriman
(Baca surat Ya Sin [36]: 55-58, dan Al-Thur [52]: 21).

Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewuJudkan
bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan usaha
sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi.

Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai Adam,
setelah engkau berada di dunia, maka ikutilah). Maka
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada
ketakutan menimpa mereka dan tiada pula kesedihan (QS
Al-Baqarah [2]: 38).

Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial
yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai
dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman.

Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang sejahtera
adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan,
kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak
keluarga, bahkan lingkungan. Sayyid Quthb mengatakan bahwa:

Sistem kesejahteraan sosial yang diajarkan Islam bukan sekadar
bantuan keuangan --apa pun bentuknya. Bantuan keuangan hanya
merupakan satu dari sekian bentuk bantuan yang dianjurkan
Islam.1

DARI MANAKAH MEMULAINYA?

Kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan
menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri
pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir
masyarakat seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi
Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat
mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang:
Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra', dan
lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar
Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk
keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya
terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan
kesejahteraan sosialnya.

Kesejahteraan sosial dimulai dengan "Islam", yaitu penyerahan
diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Tidak mungkin jiwa akan
merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split
personality):

Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki
oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam
perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik
penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya?
Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).

Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan
Allah --apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal-- adalah
pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu
Allah memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal
mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran
bahwa:

Tiada satu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak
pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di
dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah
bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari kamu,
dan jangan juga terlalu gembira (melampaui batas)
terhadap hal yang diberikannya kepada kamu... (QS
Al-Hadid [57]: 22-23).

Ini dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi,
keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan
yang serasi di antara semua anggota masyarakat, yang salah
satu cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum
diminta oleh yang membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi
kepentingan orang banyak.

Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka
berikan itu) (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Setiap pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan jiwa dan
hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan perhatian
secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik
dari segi jasmani maupun ruhani. Tentunya, tanggung jawab ini
mengandung konsekuensi keuangan dan pendidikan.

Dari sini Al-Quran memerintahkan penyisihan sebagian hasil
usaha untuk menghadapi masa depan. Salah satu penggalan ayat
yang diulang-ulang Al-Quran sebagai tanda orang bertakwa
adalah,

Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka,
mereka nafkahkan (QS Al-Baqarah [2]: 3)

Sebagian lain (yang tidak mereka nafkahkan itu), mereka
tabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan rasa
aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga.

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejabteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar (QS Al-Nisa' [4]: 9).

Dari keluarga, kewajiban beralih kepada seluruh anggota
masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal balik
antara pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap
pribadi. Kewajiban tersebut --sebagaimana halnya setiap
kewajiban-- melahirkan hak-hak tertentu yang sifatnya adalah
keserasian dan keseimbangan di antara keduanya. Sekali lagi
kewajiban dan hak tersebut tidak terbatas pada bentuk
penerimaan maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup
seluruh aspek kehidupan.

Siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka
hendaklah ia meluruskannya dengan tangan. Bila tak
mampu maka dengan lidah, dan bila (inipun) ia tak
mampu, maka dengan hati dan inilah selemah-lemahnya
iman (Diriwayatkan oleh Muslim).

Demikian sabda Nabi Saw. yang pada akhirnya melahirkan pesan,
bahwa, paling tidak, seorang Muslim harus merasakan manis atau
pahitnya sesuatu yang terjadi di dalam masyarakatnya, bukan
bersikap tak acuh dan tak peduli. Terdapat puluhan ayat dan
ratusan hadis yang menekankan keterikatan iman dengan rasa
senasib dan sepenanggungan, di antaranya:

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Mereka
itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi pangan kepada orang miskin (QS
Al-Ma'un [107]: 1-3)

Redaksi ayat di atas bukanlah "tidak memberi makan", melainkan
"tidak menganjurkan memberi pangan". Ini mencerrninkan
kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan memberi, minimal
harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini pun tidak
dilakukannya, sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang
mendustakan agama dan hari pembalasan.

Setiap orang berkewajiban bekerja. Masyarakat atau mereka yang
berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan pekerjaan
untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah
monopoli dilarang-Nya. Jangankan di dalam bidang ekonomi, pada
tempat duduk pun diperintahkan agar memberi peluang dan
kelapangan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kamu, "Berlapang-lapanglah di dalam majelis!", maka
lapangkanlah. Niscaya Allah memberi kelapangan untuk
kamu (QS Al-Mujadilah [58]: 11).

Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan
kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara
tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau
menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka
buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya.
Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat
menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang
mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan
batin yang didambakan (QS Al-Hujurat [49]: 11-12).

Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang
ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang
datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw.
tidak memberinya uang tetapi kapak agar digunakan untuk
mengambil dan mengumpulkan kayu.

Di sisi lain, perlu diingat bahwa Al-Quran menegaskan
perkataan yang baik pada saat menolak, serta memaafkan tingkah
laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik
daripada memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang
menyakitkan.

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik
daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang
menyakitkan (QS Al-Baqarah [2]: 263).

Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al-Quran melarang
beberapa praktik yang dapat mengganggu keserasian hubungan
antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah
[2]: 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar
kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 29). Di samping itu, ditetapkan
bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang
membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun
sedekah (QS Al-Dzariyat [51]: 19).

***

Demikian sekelumit wawasan Al-Quran tentang keadilan dan
kesejahteraan.

Tidak dipungkiri bahwa uraian ini sangat terbatas dibanding
dengan wawasan Al-Quran tentang topik di atas. Namun,
prinsip-prinsip dasar dari wawasan Al-Quran kiranya --melalui
tulisan singkat ini-- telah dapat tercerminkan. []

Catatan kaki:

1 Sayyid Quthb, Dirasat Islamiyah,
Al-Ma'arif, Kairo, 1967, hlm. 63

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Letak Kebahagiaan adalah di Hati dan Bukan pada Banyaknya Harta


Setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia. Namun banyak orang yang menempuh jalan yang salah dan keliru. Sebagian menyangka bahwa kebahagiaan adalah dengan memiliki mobil mewah, Handphone sekelas Blackberry, memiliki rumah real estate, dapat melakukan tur wisata ke luar negeri, dan lain sebagainya. Mereka menyangka bahwa inilah yang dinamakan hidup bahagia. Namun apakah betul seperti itu? Simak tulisan berikut pada link >>
http://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/2544-letak-kebahagiaan-adalah-di-hati.html

Berikut sedikit cuplikan dalam artikel tersebut.

Inti dari ini semua adalah letak kebahagiaan bukanlah dengan memiliki istana yang megah, mobil yang mewah, harta yang melimpah. Namun letak kebahagiaan adalah di dalam hati.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kita surga dunia yaitu dengan memiliki hati yang selalu bersandar pada-Nya.

Hati yang selalu merasa cukup itulah yang lebih utama dari harta yang begitu melimpah.

Muhammad Abduh Tuasikal

Wahai Pengusaha! Berlakulah JUJUR ...

Dari sahabat 'Abdullah bin Mas'ud, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”5

Terkhusus lagi, beliau memerintahkan kejujuran ini pada pedagang karena memang kebiasaan para pedagang adalah melakukan penipuan dan menempuh segala cara demi melariskan barang dagangan.
Dari Rifa'ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ

“Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.”6
Berlaku jujur juga akan menuai berbagai keberkahan. Yang dimaksud keberkahan adalah tetapnya dan bertambahnya kebaikan. Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا - أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا - فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.”7

Inilah buah yang dipetik dari pedagang yang tidak berlaku jujur. Sedangkan sebaliknya jika pedagang bisa berlaku jujur, maka ia pun akan menuai berbagai kebaikan dan keberkahan.

KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN (Bag 2)

Oleh:Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Ibnu 'Arabi, pakar tafsir dan hukum Islam bermazhab Maliki,
tidak sependapat dengan mereka yang memahami kata taqshithu
pada firman Allah di atas dalam arti berlaku adil. "Berlaku
adil", tulisnya, "adalah wajib terhadap orang-orang kafir
(baik yang memerangi maupun yang tidak)." Kata taqsithu di
sini menurutnya adalah "memberi bagian dari harta guna
menjalin hubungan baik".

Keadilan harus ditegakkan di mana pun, kapan pun, dan terhadap
siapa pun. Bahkan, jika perlu dengan tindakan tegas. Salah
satu ayat Al-Quran menggandengkan "timbangan" (alat ukur yang
adil) dengan "besi" yang antara lain digunakan sebagai
senjata. Ini untuk memberi isyarat bahwa kekerasan adalah
salah satu cara untuk menegakkan keadilan.

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan (neraca
keadilan), dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia (supaya besi itu digunakan). Allah mengetahui
siapa yang menolong (memperguangkan nilai-nilai)
agama-Nya dan membantu rasul-rasul-Nya, walaupun Allah
gaib dari pandangan mata mereka [QS Al-Hadid [57]:
25).

Apabila dua kelompok Mukmin berselisih, lakukanlah
ishlah (perdamaian) di antara keduanya. Bila salah
satu dari kedua kelompok itu membangkang, maka perangi
(ambil tindakan tegas terhadap) yang membangkang,
sehingga ia menerima ketetapan Allah (QS Al-Hujurat
[49]: 9)

Lanjutan ayat ini perlu mendapat perhatian, yakni:

Apabila ia (kelompok yang membangkang itu) telah
kembali (taat) maka lakukanlah perdamaian dengan adil.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil (QS Al-Hujurat [49]: 9)

Sungguh tepat menggandengkan perintah mendamaikan pada
lanjutan ayat ini dengan "keharusan berlaku adil". Karena
walaupun keadilan dituntut dalam setiap sikap sejak awal
proses perdamaian, tetapi sikap itu lebih dibutuhkan untuk
para juru damai setelah mereka terlibat menindak tegas
kelompok pembangkang. Ini karena besar kemungkinan mereka pun
mengalami kerugian, harta, jiwa, atau paling tidak harga diri
akibat ulah para pembangkang. Kerugian tersebut dapat
mendorongnya untuk berlaku tidak adil, karena itu ayat ini
menekankan terhadap mereka kewajiban berlaku adil.

Begitu luas pesan keadilan Al-Quran, sehingga seseorang yang
merasa sempit dari keadilan, pasti akan merasakan bahwa
ketidakadilan jauh lebih sempit.

KEADILAN ILAHI

Pembicaraan tentang keadilan Ilahi bukanlah sesuatu yang baru.
Persoalan ini hadir sejak manusia mengenal baik dan buruk
Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ada kejahatan, ada
penyakit dan kemiskinan, bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan
si A segala kenikmatan, dan menjadikan si B tenggelam ke dalam
bencana? Kesemua pertanyaan itu dapat menjadi wajar.

Tetapi tidak mudah memahami -apalagi menjelaskan- persoalan
ini jika dikaitkan dengan keadilan Ilahi. Ia merupakan salah
satu hal yang amat muskil, khususnya bila ingin memuaskan
semua nalar. Itu sebabnya yang merasakan Kemahabesaran dan
Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata, "Ada hikmah di
balik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai
ketidakadilan (kejahatan) maupun sebaliknya." Jawaban semacam
ini jelas tidak memuaskan nalar.

Pada masyarakat primitif terdapat keyakinan adanya dua Tuhan:
Tuhan Cahaya (Kebaikan) dan Tuhan Kegelapan. Keyakinan seperti
ini -yang sekaligus merupakan jawaban- ditolak oleh penganut
monoteisme. Al-Quran secara tegas menolak dualisme, baik pada
penciptaan, penguasaan, maupun pengaturan alam raya.

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi, dan yang menjadikan kegelapan dan cahaya (QS
Al-An'am [6]: 1)

Sebagian pakar agama termasuk agama Islam menyelesaikan
persoalan ini dengan menyatakan bahwa yang dinamakan kejahatan
atau keburukan sebenarnya tidak ada, atau paling tidak hanya
terdapat pada nalar manusia yang memandang secara parsial.
Bukankah Allah menegaskan dalam Al-Quran bahwa,

Dialah yang membuat segala sesuatu dengan
sebaik-baiknya (QS Al-Ahzab [32]: 7).

Kalau demikian, segala sesuatu diciptakan oleh Allah, dan
segala sesuatu yang bersumber dari Allah pasti baik. Keburukan
adalah akibat dari keterbatasan pandangan. Segala sesuatu
sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya
demikian.

Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik
bagimu, dan bolehjadi engkau menyenangi sesuatu
padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu
tidak mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 216).

Nalar tidak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika
seseorang memandang sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya
buruk dan jahat, tetapi jika dipandang secara makro dan
menyeluruh, justru hal itu merupakan unsur keindahan dan
kebaikan. Bukankah jika pandangan hanya ditujukan kepada tahi
lalat di wajah seorang wanita akan terlihat buruk? Tetapi,
bila wajah dipandang secara menyeluruh, tahi lalat tadi justru
menjadi unsur utama kecantikannya! Bukankah jika Anda hanya
melihat kaki seseorang dipotong, Anda akan menilainya kejam,
tetapi bila Anda mengetahui bahwa sang dokterlah yang
mengamputasi pasiennya, Anda justru akan berterima kasih dan
memujinya? Karena itu, jangan memandang kebijaksanaan Allah
secara mikro. Kalaupun Anda tidak mampu memandangnya secara
makro, yakinilah bahwa ada hikmah di balik semua itu.

Boleh jadi nalar Anda belum puas. Sekali lagi, mengapa ada
kejahatan, ada setan yang diciptakan-Nya untuk menggoda, atau
ada nasib baik dan nasib buruk yang dialami manusia?

Al-Quran menyatakan bahwa jenis manusia adalah satu kesatuan,

"Manusia itu adalah untuk umat yang satu" (QS
Al-Baqarah [2]: 213)

Bahkan seluruh jagat raya merupakan satu kesatuan.

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
melainkan adalah umat (satu kesatuan) seperti kamu
juga. Tidak Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab
(pengetahuan Tuhan). Kemudian kepada Tuhanmulah mereka
dihimpunkan (QS Al-An'am [6]: 38).

Jika demikian, pribadi demi pribadi secara sadar atau tidak,
bekerja sama dan saling menopang demi kebahagiaan bersama, dan
untuk itu ada di antara mereka yang menjadi "korban" demi
kebahagiaan makhluk secara keseluruhan. Pengorbanan itu
merupakan syarat kesempurnaan jenis makhluk, termasuk manusia.
Korban (yang mengalami "keburukan") harus ada, demi mewujudnya
kebaikan dan keindahan. Bagaimana mungkin manusia mengetahui
arti berani, jika tidak ada bahaya? Bagaimana mereka
mengetahui nikmatnya sehat, bila tidak merasakan sakit? Apa
artinya kesabaran jika tidak ada malapetaka? Nah, siapakah
yang harus mengalami semua itu? Jika bukan makhluk juga?

Apabila penderitaan itu terjadi karena kesalahan, maka
setimpallah akibat dengan ulahnya. Sedangkan apabila tidak
bersalah, maka pengorbanan manusia akan beroleh ganjaran di
sisi Allah, yakni pengampunan dosa dan ketinggian derajat di
akhirat sana (QS Al-Baqarah [2]: 155-157).

Patut dicatat bahwa Allah memberikan potensi kepada manusia
untuk mampu memikul kesedihan dan melupakannya, begitu kata
pakar psikologi dan begitu juga isyarat Al-Quran.

Tidak satu petaka pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada
Allah, niscaya Dia (Allah) akan memberi petunjuk
kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu (QS Al-Taghabun [64]: 11).

Manusia harus bekerja sama memikul bencana untuk mencapai dan
memahami tujuan keberadaannya.

Anda boleh bertanya, "Mengapa kerja sama itu harus ada?
Bukankah Allah Mahamutlak kesempurnaan dan kekuasaanNya,
sehingga Dia kuasa menciptakan alam tanpa kekurangan atau pun
tanpa kerja sama?"

Benar! Allah Mahamutlak kesempurnaan-Nya, karena

Bagi Allahlah segala sifat yang terpuji (QS Al-A'raf
[7]: 180).

Dia Mahakuasa, tiada sedikit pun kekurangan-Nya. Apakah nalar
Anda menuntut agar Dia menciptakan suatu ciptaan yang memiliki
kesempurnaan mutlak seperti kesempurnaan-Nya? Jika itu yang
diinginkan, akan terdapat dua Tuhan, dan ini mustahil. Bukan
saja dari segi redaksional kata "mutlak" (kemutlakan
mengandung arti kesendirian), melainkan juga mustahil dari
sisi keyakinan "keesaan-Nya", serta bertentangan pula dengan
firman-Nya,

Tiada yang serupa dengan-Nya satu pun (QS [42]: 11).

Yakni, jangankan yang sama dengan-Nya, yang serupa dengan
serupa-Nya pun tiada.

Adalah logis bahwa Pencipta harus berbeda dengan yang
diciptakan. Yang diciptakan kurang sempurna dibandingkan sang
pencipta. Kekurangan dan ketidaksempurnaan itu mencakup apa
yang dinamai atau diduga sebagai keburukan. Jangan lupa bahwa
yang dinamakan dan dikeluhkan manusia itu tidak mencakup
seluruh alam sebagai suatu unit dan serentak, melainkan hanya
diderita oleh sebagian unsur-unsurnya. Bahkan sering kejahatan
yang diderita seseorang dapat menjadi nikmat bagi dirinya
sendiri di masa datang, atau merupakan nikmat bagi yang lain.
Harus diingat juga bahwa terdapat banyak makhluk Allah dan
sebagian besar tidak diketahui manusia, sebab seperti
firman-Nya,

Dia menciptakan (makhluk) yang tidak kamu ketahui (QS
Al-Nahl [16]: 8).

Konon pengetahuan manusia baru dapat menjangkau sekitar 3%
dari seluruh alam raya ini.

Apakah nalar manusia menginginkan agar Tuhan tidak menciptakan
manusia sama sekali? Jangan berkeinginan seperti itu, karena
ini bertentangan dengan makna kekuasaan-Nya. Bukankah wujud
dan kekuasaan-Nya tidak dapat tercermin kecuali melalui
ciptaan-Nya?

Boleh jadi Anda berkata bahwa yang dikemukakan di atas ini
adalah tinjauan kekuasaan dan kodrat Ilahi, bukan dari sudut
pandang rahmat dan nikmat-Nya. Bukankah dari sudut tinjauan
ini, "tidak menciptakan sama sekali justru jauh lebih baik
daripada menciptakan sesuatu yang disertai dengan kepedihan
dan kejahatan?"

Barangkali demikian. Tetapi, mungkin juga pernyataan "mencipta
dan memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, tidak
mencegah kelanjutan eksistensi, dan memperoleh rahmat sewaktu
terdapat kemungkinan eksis atau potensi untuk mencapai
kesempurnaan" (seperti makna keadilan Ilahi yang dikemukakan
sebelum ini), jauh lebih baik.

Jika seperti itu adanya, persoalan keadilan Ilahi bukan
problem nalar, melainkan problem rasa, sebagai akibat dari
keinginan manusia untuk selalu mendapatkan yang terbaik untuk
diri, keluarga, atau jenisnya saja, hingga melupakan pihak
lain. Jika problemnya demikian, yang mampu menanggulanginya
adalah rasa juga. Di sinilah agama dan keyakinan berperan amat
besar.

KEADILAN SOSIAL

Al-Quran menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan
bermasyarakat adalah keadilan. Tidak lebih dan tidak kurang.
Berbuat baik melebihi keadilan --seperti memaafkan yang
bersalah atau memberi bantuan kepada yang malas-- akan dapat
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Memang Al-Quran memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan
seperti bunyi firman-Nya, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan" (QS Al-Nahl 116]: 90),
karena ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi
keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih
utama daripada kedermawanan atau ihsan.

Ihsan adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari
perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan
perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal
yang baik pada tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya
jika dilakukan pada tingkat masyarakat.

Imam Ali r.a. bersabda, "Adil adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan
pada tempatnya." Jika hal ini menjadi sendi kehidupan
bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang.
Itulah sebabnya, mengapa Nabi Saw. menolak memberikan maaf
kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau
pemilik harta telah memaafkannya.

Shafwan bin Umayyah dicuri pakaiannya oleh seseorang. Dia
menangkap pencurinya dan membawanya kepada Nabi Saw. Beliau
memerintahkan memotong tangan pencuri, tetapi Shafwan
memaafkan, maka Nabi Saw. bersabda.

"Seharusnya ini (pemanfaan) sebelum engkau membawanya
kepadaku" (Diriwayatkan oleh Ahmad At-Tirmidzi dan
An-Nasa'i).

Hidup adalah perjuangan. Yang baik dan bermanfaat akan
bertahan, sedang yang buruk akhirnya hancur. Demikian
ketetapan Ilahi.

Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak
ada harganya, sedangkan yang memben manfaat bagi
manusia itulah yang tetap bertahan di bumi.
Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (QS
Al-Raid [13]: 17).

Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan
kemampuan para rasul pun demikian (QS Al-Baqarah [2]: 253).
Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh
mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu harus
mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan semua pihak.
Demikian kandungan makna firman-Nya pada surat Al-Hujurat
(49): 13.

Dalam surat Az-Zukhruf (43): 32 tujuan perbedaan itu
dinyatakan:

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
telah menentukan di antara mereka (melalui
sunnatullah) penghidupan mereka di dunia, dan Kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beaberapa tingkatan, agar mereka dapat saling
menggunakan (memanfaatkan kelebihan dan kekurangan
masing-masing) rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.

Setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairat
(berlomba-lombalah di dalam kebajikan) (QS Al-Baqarah [2]:
148). Setiap perlombaan menjanjikan "hadiah". Di sini
hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang
berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba
dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi,
tidak adil juga bila setelah berlomba dengan prestasi yang
berbeda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama
menolak hal ini.

Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (tidak
berjuang) kecuali yang uzur, dengan orang yang
berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka.
Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan
harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk
(tidak ikut berjuang karena uzur) satu derajat. Dan
kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan imbalan
baik... (QS Al-Nisa' [4]: 95).

Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui? (QS Al-Zumar [39]: 9).

---------------- (bersambung 3/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN

 Judul  bahasan  ini  mendahulukan   kata   keadilan   daripada
kesejahteraan. Memang, terjadi silang pendapat mengenai apa
yang harus didahulukan, apakah kesejahteraan atau keadilan?
Dari sekian ayat ditemukan isyarat perlunya mendahulukan
keadilan. Perhatikan misalnya surat Al-Ma-idah (5): 8,

Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada
takwa.

Lalu hubungkanlah dengan firman-Nya:

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi. (Tetapi) mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya (QS Al-A'raf [7]: 96)

Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, "Mohonlah ampun
kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat
kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh [71]:
10-12).

Dari rangkaian ayat di atas terlihat bahwa keadilan akan
mengantarkan kepada ketakwaan, dan ketakwaan menghasilkan
kesejahteraan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka
pembahasan pertama tulisan ini adalah tentang keadilan.

MAKNA KEADILAN

Keadilan adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil
dari bahasa Arab " 'adl". Kamus-kamus bahasa Arab
menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti "sama".
Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
"adil" diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2)
berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak
sewenang-wenang.

"Persamaan" yang merupakan makna asal kata "adil" itulah yang
menjadikan pelakunya "tidak berpihak", dan pada dasarnya pula
seorang yang adil "berpihak kepada yang benar" karena baik
yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh
haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu "yang patut"
lagi "tidak sewenang-wenang".

Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan
kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan
kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi
antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi kesan
adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak,
tidak akan terjadi "persamaan".

Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini
tidak harus mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian
dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth
lebih umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika
Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap
dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.
Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Nisa' (4): 135,

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri...

Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh
karena itu, mizan, adalah "alat untuk menimbang". Namun dapat
pula berarti "keadilan", karena bahasa seringkali menyebut
"alat" untuk makna "hasil penggunaan alat itu".

KEADILAN DALAM AL-QURAN

Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat
beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap
pihak yang berselisih, melainkan Al-Quran juga menuntut
keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis,
atau bersikap batin.

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil walaupun terhadap kerabat...! (QS Al-An'am [6]:
152).

Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang
menulis dengan adil (QS Al-Baqarah [2]: 282).

Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk
menegakkan sistem kemanusiaan yang adil.

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan
membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]:
25).

Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai "perjanjian Ilahi"
yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan
menegakkan keadilan.

Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
(hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia." Dia
(Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga
keturunan-keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku
ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim"
(QS Al-Baqarah [2]: 124).

Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat di
atas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak
atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk
menegakkan keadilan.

Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas
dasar keadilan:

Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan
(neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman [55]: 7)

Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang
keadilan, dari tauhid sampai keyakinan mengenai hari
kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan
dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi
terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan
masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan
ukhrawi.

RAGAM MAKNA KEADILAN

Ketiga kata -qisth, 'adl, dan mizan- pada berbagai bentuknya
digunakan oleh Al-Quran dalam konteks perintah kepada manusia
untuk berlaku adil.

Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan
al-qisth (keadilan)" (QS Al-A'raf [7]: 29)

Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan
berbuat ihsan (kebajikan) (QS Al-Nahl [16]: 90)

Dan langit ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca
(keadilan) agar kamu tidak melampaui batas tentang
neraca itu (QS Al-Rahman [55]: 7-8).

Ketika Al-Quran menunjuk Zat Allah yang memiliki sifat adil,
kata yang digunakanNya hanya Al-qisth (QS Ali 'Imran [31: 18).

Kata 'adl yang dalam berbagai bentuk terulang dua puluh
delapan kali dalam Al-Quran, tidak satu pun yang dinisbatkan
kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, seperti
dikemukakan di atas, beragam aspek dan objek keadilan telah
dibicarakan oleh Al-Quran; pelakunya pun demikian. Keragaman
tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.

Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh
para pakar agama.

Pertama, adil dalam arti "sama"

Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud
adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan
seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam
surat Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa,

Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia,
maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...

Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan "sama"- hanya
mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses
pengambilan keputusan.

Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak
yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal
tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel
penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan
memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam
proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud
mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari
keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud
nyata kezaliman.

Al-Quran mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada
Nabi Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki
sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang
kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak
mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus.
Nabi Daud tidak memutuskan perkara ini dengan membagi
kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan
menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu
telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (QS Shad [38]:
23).

Kedua, adil dalam arti "seimbang"

Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya
terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu,
selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan
dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya.

Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat
durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan
mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang)
(QS Al-Infithar [82]: 6-7).

Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau
berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti
tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan).

Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama
ekosistemnya. Al-Quran menyatakan bahwa,

(Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha
Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah
berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak
seimbang? (QS Al-Mulk [67]: 3)

Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian
(keproporsionalan), bukan lawan kata "kezaliman". Perlu
dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar
dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja
satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan
besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.

Petunjuk-petunjuk Al-Quran yang membedakan satu dengan yang
lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak
waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang
keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan
persamaan.

Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa
Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan
mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu
tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya
mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi.

Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang
amat teliti (QS Al-Rahman [55]: 5).

Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukurannya (QS Al-Qamar [54]: 49)

Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya"

Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan
sesuatu pada tempatnya" atau "memberi pihak lain haknya
melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman",
dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan
demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri
adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika
menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang
sastrawan yang arif.

Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi

Adil di sini berarti "memelihara kewajaran atas berlanjutnya
eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan
rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu."

Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada
dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. KeadilanNya
mengandung konsekuensi bahwa rahmat A h Swt. tidak tertahan
untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka
pada saat itu juga B mengambil hak dari A. Kaidah ini tidak
berlaku untuk Allah Swt., karena Dia memiliki hak atas semua
yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di
sisi-Nya.

Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya
yang menunjukkan Allah Swt. sebagai qaiman bilqisth (yang
menegakkan keadilan) (QS Ali 'Imram [3]: 18), atau ayat lain
yang mengandung arti keadilan-Nya seperti:

Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambaNya
(QS Fushshilat [41]: 46).

KEADILAN MENCAKUP SEMUA HAL

Seperti dikemukakan di atas, Allah menciptakan dan mengelola
alam raya ini dengan keadilan, dan menuntut agar keadilan
mencakup semua aspek kehidupan. Akidah, syariat atau hukum,
akhlak, bahkan cinta dan benci.

Dan Kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil di antara
wanita-wanita (istri-istrimu dalam hal cinta),
walaupun kamu berusaha keras ingin berbuat demikian.
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), dan membiarkan yang lain
terkatung-katung (QS Al-Nisa' [4]: 129).

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu.
Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau
miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (QS
Al-Nisa' [14]: 135)

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil (QS
Al-Ma-idah [5]: 8)

Kebencian tidak pernah dapat dijadikan alasan untuk
mengorbankan keadilan, walaupun kebencian itu tertuju kepada
kaum non-Muslim, atau didorong oleh upaya memperoleh ridhaNya.
Itu sebabnya Rasul Saw. mewanti-wanti agar,

Berhati-hatilah terhadap doa (orang) yang teraninya,
walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara
doanya dengan Tuhan.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
"tuqsithu" (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir)
yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak
mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain
untuk mengusir kamu... (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Amalan-amalan setelah Ramadhan (2)

Posting kali ini adalah lanjutan dari posting sebelumnya mengenai amalan setelah bulan Ramadhan.

Menjaga Shalat Malam

Inilah penyakit yang diderita oleh kaum muslimin setelah Ramadhan. Ketika Ramadhan masjid terlihat penuh pada saat qiyamul lail (shalat tarawih). Namun coba kita saksikan setelah Ramadhan, amalan shalat malam ini seakan-akan hilang begitu saja. Orang-orang lebih senang tidur nyenyak di malam hari hingga shubuh atau pagi tiba, dibanding bangun untuk mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat malam. Seolah-olah amalan shalat malam ini hanya ada pada bulan Ramadhan saja yaitu ketika melaksanakan shalat tarawih. Seharusnya jika dia betul-betul menjalankan ibadah shalat tarawih dengan baik pasti akan membuahkan kebaikan selanjutnya.

Sebagian salaf mengatakan,
إِنَّ مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةَ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ بَعْدَهَا

“Sesungguhnya di antara balasan amalan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Dan di antara balasan dari amalan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Lail)

Namun, ibadah shalat malam ini mungkin hanya ibadah musiman saja yaitu dilaksanakan hanya di bulan Ramadhan. Padahal keutamaan shalat malam ini amatlah banyak, di antaranya:

[1] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat setelah shalat wajib. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

[2] Orang yang melakukan shalat malam dijamin masuk surga dan selamat dari adzab neraka. Dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا اَلنَّاسُ! أَفْشُوا اَلسَّلَام, وَصِلُوا اَلْأَرْحَامَ, وَأَطْعِمُوا اَلطَّعَامَ, وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ, تَدْخُلُوا اَلْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Wahai manusia! Sebarkanlah salam, jalinlah tali silturahmi (dengan kerabat), berilah makan (kepada istri dan kepada orang miskin), shalatlah di waktu malam sedangkan manusia yang lain sedang tidur, tentu kalian akan masuk ke dalam surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi no. 2485 dan Ibnu Majah no. 1334. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 569 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

[3] Orang yang melakukan shalat malam akan dicatat sebagai orang yang berdzikir kepada Allah
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seseorang bangun di waktu malam, lalu dia membangunkan istrinya, kemudian keduanya mengerjakan shalat dua raka’at, maka keduanya akan dicatat sebagai pria dan wanita yang banyak berdzikir pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 1335. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah bahwa hadits ini shohih). Hadits ini menunjukkan bahwa suami istri dianjurkan untuk shalat malam berjama’ah.

[4] Orang yang bangun di malam hari kemudian berwudhu dan melakukan shalat malam, dia akan bersemangat di pagi harinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)

Sangat disayangkan sekali, sebagian orang lebih memilih tidur pulas di malam hari daripada bangun shalat malam. Inilah orang-orang yang mendapat celaan yaitu akan dikencingi setan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

Dari Abu Wa’il, dari Abdullah, beliau berkata, “Ada yang mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa terdapat seseorang yang tidur malam hingga shubuh (maksudnya tidak bangun malam, pen). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

« ذَلِكَ الشَّيْطَانُ بَالَ فِى أُذُنَيْهِ ».

“Demikianlah setan telah mengincingi kedua telinganya.” (HR. An Nasa’i no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1330. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 640 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Hendaklah kita merutinkan amalan shalat malam ini di luar ramadhan sebagaimana kita rajin mengerjakannya di bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang dulu gemar shalat malam, namun sekarang dia meninggalkannya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,
« يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ »

“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si A. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)

Sebaik-baik orang adalah yang mau mengerjakan shalat malam jika tidak berhalangan karena kecapekan atau ingin mengulang pelajaran sebagaimana Abu Hurairah.
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar, seandainya dia biasa mengerjakan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1122 dan Muslim no. 2479)

Padahal shalat malam itu mudah dikerjakan, bisa dengan hanya mengerjakan shalat tahajud 2 raka’at dan ditutup witir 1 raka’at, namun sebagian orang enggan mengerjakan shalat yang utama ini.

Amalan yang Kontinu (Ajeg), Amalan yang Paling Dicintai

Kalau memang kita gemar melakukan shalat malam atau amalan sunnah yang lainnya, maka hendaklah amalan-amalan tersebut tetap dijaga. Kalau biasa mengerjakan shalat malam 3 raka’at dan dilakukan terus menerus (walaupun jumlah raka’at yang dikerjakan sedikit), maka itu masih mending daripada tidak shalat malam sama sekali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اكْلَفُوا مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Bebanilah diri kalian dengan amal sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 1228 mengatakan hadits ini shohih)

Ingatlah bahwa rajin ibadah bukanlah hanya di bulan Ramadhan saja. Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut. Dia pun menjawab,
بِئْسَ القَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ حَقًّا إِلاَّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

“Alangkah buruknya tingkah mereka; mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!” (Lihat Latho’if Ma’arif, 244)

Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu sempit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ

“Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Bid’ah di Bulan Syawal

Ada beberapa bid’ah yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim di bulan Syawal:

[1] Beranggapan sial jika menikah pada bulan Syawal

Mungkin bid’ah semacam ini jarang terjadi di tempat kita. Malah kebanyakan kaum muslimin di negeri ini melaksanakan hajatan nikah ketika Syawal karena pada saat itu adalah waktu semua kerabat berkumpul berlebaran.

Namun, inilah bid’ah yang terjadi di masa silam dulu (masa jahiliyah). Mereka enggan melaksanakan hajatan nikahan ketika bulan Syawal. Itulah i’tiqod (keyakinan) mereka. Sedangkan di negeri kita, bukan bulan Syawal yang dianggap sial, tetapi bulan Suro (Muharram). Kedua anggapan ini adalah anggapan yang salah. Mengenai anggapan sial nikah di bulan Syawal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah membantah hal ini. Sebagaimana terdapat riwayat dalam Sunan Ibnu Majah (haditsnya dishohihkan oleh Syaikh Al Albani) bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal dan keluarga beliau tetap harmonis.

Menganggap bulan Suro atau bulan Syawal sebagai bulan sial untuk melaksanakan beberapa hajatan adalah anggapan yang terlarang dalam agama ini. Beranggapan sial dengan bulan atau waktu sama saja dengan mencelanya. Dan mencela waktu itu sama saja dengan mencela yang menciptakan waktu yaitu Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk kesyirikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »

“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan tawakkal (pada Allah).” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

[2] ‘Idul Abror (’Ied pada tanggal 8 Syawal atau diistilahkan dengan Lebaran Ketupat)

Ini adalah bid’ah yang terjadi di beberapa daerah di negeri kita. Entah namanya apa, tetapi maksud dari acara tersebut itu sama.

Sebelumnya mereka melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Lalu mereka berbuka (tidak berpuasa) pada tanggal 1 Syawal. Setelah itu –mulai tanggal 2 Syawal-, mereka melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Lalu pada hari kedelepan dari bulan Syawal, mereka merayakan ‘ied (yang di kalangan Arab dikenal dengan ‘Idul Abror).

Abror di sini bermakna orang baik lawan dari orang fajir yang gemar berbuat maksiat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah perayaan ied semacam ini dengan mengatakan,

“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebutkan dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Adapun perayaan hari ke-8 Syawal, maka itu bukanlah ‘ied (yang disyari’atkan). Ini bukanlah ‘ied bagi abror (orang sholih/baik) atau pun orang fajir (yang gemar bermaksiat). Tidak boleh bagi seorang pun meyakini perayaan ini sebagai ‘ied. Janganlah membuat ‘ied yang baru selain ‘ied yang sudah ada dalam agama ini (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha).” (Al Ikhtiyarot Al Fiqhiyyah, 199)

Demikian pembahasan seputar amalan yang sebaiknya dilakukan setelah Ramadhan dan perkara yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim. Semoga kita termasuk orang yang selalu mendapat taufik Allah dan dimudahkan untuk istiqomah dalam agama ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal

Hancurnya Dunia Semakin Dekat


Keimanan terhadap hari kiamat adalah di antara pokok ajaran Islam bahkan termasuk dari rukun Iman. Keimanan seseorang barulah sempurna jika dia meyakini adanya hari kiamat.

Kiamat Pasti Terjadi

Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (QS. Al Baqarah: 177)

Al Qur’an juga telah menjelaskan bahwa hari kiamat benar-benar akan terjadi. Allah Ta’ala berfirman,

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَاءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ

“Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Rabbmu.” (QS. Ar Ra’du: 2)

Kadang pula kepastian datangnya kiamat menggunakan ayat-ayat semacam,

إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ

“Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang.” (QS. Thahaa: 15)

وَإِنَّ السَّاعَةَ لآتِيَةٌ فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ

“Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (QS. Al Hijr: 85)

فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لآتٍ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al ‘Ankabut: 5)

إِنَّ السَّاعَةَ لآتِيَةٌ لا رَيْبَ فِيهَا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.” (QS. Ghafir: 59)

Hancurnya Dunia Semakin Dekat

Allah Ta’ala telah menyebutkan dalam Al Qur’an Al Karim bahwa kiamat sudahlah dekat dan di antara tanda kiamat pun sudah muncul. Di antaranya adalah terbelahnya bulan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ

“Telah dekat (datangnya) kiamat dan telah terbelah bulan.” (QS. Al Qamar: 1)

Terdapat hadits yang juga menyebutkan hal ini, sebagaimana yang disebutkan dalam shohih Bukhari.

Dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata,

انْشَقَّ الْقَمَرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِرْقَتَيْنِ ، فِرْقَةً فَوْقَ الْجَبَلِ وَفِرْقَةً دُونَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « اشْهَدُوا »

“Bulan terbelah menjadi dua bagian pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu belahan terdapat di atas gunung dan belahan lainnya berada di bawah gunung. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Saksikanlah’.” [1]

Berita ini juga dikeluarkan oleh At Tirmidzi dari sahabat Anas, beliau berkata,

سَأَلَ أَهْلُ مَكَّةَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- آيَةً فَانْشَقَّ الْقَمَرُ بِمَكَّةَ مَرَّتَيْنِ فَنَزَلَتِ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ) إِلَى قَوْلِهِ (سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ)

“Penduduk Makkah meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu bukti. Akhirnya bulan terbelah di Makkah menjadi dua bagian, lalu turunlah ayat : ‘Telah dekat datangnya hari kiamat dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mu'jizat), mereka berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang terus menerus".[2]’[3] ”

Hadits terbelahnya bulan telah diriwayatkan oleh sekelompok sahabat di antaranya: Abdullah bin ‘Umar, Hudzaifah, Jubair bin Muth’im, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, dan juga diriwayatkan oleh seluruh ahli tafsir. Namun, sebagian orang merasa ragu tentang hal ini dan menyatakan bahwa terbelahnya bulan itu terjadi pada hari kiamat nanti sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh ‘Utsman bin ‘Atho’ dari ayahnya, dll. Namun, perkataan semacam ini adalah perkataan yang syadz (yang menyelisihi pendapat yang lebih kuat) dan pendapat ini tidak bisa menggantikan kesepakatan yang telah ada. Alasannya adalah kata ‘terbelah’ (pada ayat di atas) adalah kata kerja bentuk lampau (dan berarti sudah terjadi). Sedangkan menyatakan bahwa kata kerja lampau ini berarti akan datang membutuhkan dalil, namun hal ini tidak diperoleh. –Inilah perkataan Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir-.[4]

Begitu pula diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah di antara tanda semakin dekatnya kiamat. Karena dalam sebuah hadits beliau sendiri mengatakan bahwa jarak antara pengutusan beliau dan datangnya kiamat adalah bagaikan dua jari yaitu jari tengah dan telunjuk.[5]

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah di antara tanda-tanda kiamat. Tatkala Jibril ‘alaihis salam melewati penduduk langit untuk diutus kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, penduduk langit pun mengatakan, “Allahu Akbar, sebentar lagi akan kiamat.”.”[6]

Begitu pula ada tanda-tanda yang akan terus menerus muncul dan bukan hanya sekali. Semacam ada orang-orang yang mengaku sebagai Nabi. Sebagaimana hal ini sudah muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Musailamah Al Kadz-dzab yang mengaku sebagai Nabi. Begitu pula ajaran Ahmadiyah dari India, ajaran seorang wanita yang bernama Lia Aminudin yang mengaku sebagai penyampai wahyu yang diberikan kepada anaknya yang diangkat sebagai Nabi dan akhir-akhir ini muncul pula aliran yang bernama Al Qiyadah Al Islamiyah yang juga mempunyai rasul yang baru muncul tahun 2000.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبٌ مِنْ ثَلاَثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ

“Kiamat tidak akan terjadi sampai muncul dajjal-dajjal pendusta yang berjumlah sekitar 30 orang. Semuanya mengklaim bahwa dirinya adalah Rasulullah.”[7]

Begitu pula banyaknya wanita yang berpakaian namun hakekatnya telanjang karena pakaiannya yang tipis dan ketat, itu juga merupakan tanda semakin dekatnya kiamat. Inilah tanda dekatnya kiamat yang banyak muncul di zaman kita ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”[8]

Begitu pula halnya dengan merebaknya perzinaan dan pornografi yang nampak saat ini, itu juga merupakan tanda semakin dekat hancurnya dunia. Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ ، وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ ، وَيَظْهَرَ الزِّنَا ، وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ ، حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ

“Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah: sedikitnya ilmu dan tersebarnya kebodohan, merebaknya perzinaan, wanita akan semakin banyak dan pria akan semakin sedikit, sampai-sampai salah seorang pria bisa mengurus (menikahi) 50 wanita (karena kejahilan orang itu terhadap ilmu agama).”

Allah Tidak Menuntut Banyak Kuantitas Amalan, Namun Kualitasnya

Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan paling showab (sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Al Fudhail bin ‘Iyadh lalu berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.”[9]

Oleh karena itu, syarat diterimanya ibadah itu ada dua:

1. Niat yang ikhlas
2. Mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak. Semata-mata hanya ikhlas dalam beramal, namun tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut tertolak. Misalnya niatnya ikhlas membaca Al Qur’an, namun dikhususkan pada hari ketujuh kematian orang tuanya, maka amalan ini tertolak karena amalan seperti ini tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam ayat “supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”, di situ tidak dikatakan siapakah yang paling banyak amalannya. Namun dikatakan siapakah yang paling baik amalannya. Sehingga dituntut dalam beramal adalah kualitas (ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi), bukan kuantitasnya.

Oleh :
Muhammad Abduh Tuasikal

Manusia Tidak Pernah Merasa Puas dengan Harta

Inilah sifat manusia, tidak pernah merasa puas dengan harta. Buktinya adalah hadits-hadits berikut:

Pertama:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

« تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ »

“Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian dan hamba mode. Jika diberi, ia ridho. Namun jika tidak diberi, ia pun tidak ridho”. (HR. Bukhari no. 6435)

Kedua:

Dari Ibnu 'Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436)

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal

Kembali pada Allah Sebab Terlepas dari Musibah

Perlu diketahui, semua musibah yang terjadi di alam ini, berupa gempa dan musibah lainnya yang menimbulkan bahaya bagi para hamba serta menimbulkan berbagai macam penderitaan, itu semua disebabkan oleh perbuatan syirik dan maksiat yang diperbuat. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuura: 30)

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79)

Allah Ta’ala menceritakan tentang umat-umat terdahulu,

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40)

[Kembali pada Allah Sebab Terlepas dari Musibah]

Oleh karena itu, wajib bagi setiap kaum muslimin yang telah dibebani syari’at dan kaum muslimin lainnya, agar bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, konsisten di atas agama, serta menjauhi larangan Allah yaitu kesyirikan dan maksiat. Sehingga dengan demikian, mereka akan selamat dari seluruh bahaya di dunia maupun di akhirat. Allah pun akan menghindarkan dari mereka berbagai adzab, dan menganugrahkan kepada mereka berbagai kebaikan. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96)

Allah Ta’ala pun mengatakan tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani),

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.” (QS. Al-Maidah: 66)

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ, أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ, أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf : 97-99)

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal

Popular post

 
Support : Jasa Pembuatan Website | Toko Online | Web Bisnis
Copyright © 2011. Nurul Asri - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger