Latest Post

Manusia Tidak Pernah Merasa Puas dengan Harta

Inilah sifat manusia, tidak pernah merasa puas dengan harta. Buktinya adalah hadits-hadits berikut:

Pertama:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

« ุชَุนِุณَ ุนَุจْุฏُ ุงู„ุฏِّูŠู†َุงุฑِ ูˆَุงู„ุฏِّุฑْู‡َู…ِ ูˆَุงู„ْู‚َุทِูŠูَุฉِ ูˆَุงู„ْุฎَู…ِูŠุตَุฉِ ، ุฅِู†ْ ุฃُุนْุทِู‰َ ุฑَุถِู‰َ ، ูˆَุฅِู†ْ ู„َู…ْ ูŠُุนْุทَ ู„َู…ْ ูŠَุฑْุถَ »

“Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian dan hamba mode. Jika diberi, ia ridho. Namun jika tidak diberi, ia pun tidak ridho”. (HR. Bukhari no. 6435)

Kedua:

Dari Ibnu 'Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

ู„َูˆْ ูƒَุงู†َ ู„ุงِุจْู†ِ ุขุฏَู…َ ูˆَุงุฏِูŠَุงู†ِ ู…ِู†ْ ู…َุงู„ٍ ู„ุงَุจْุชَุบَู‰ ุซَุงู„ِุซًุง ، ูˆَู„ุงَ ูŠَู…ْู„ุฃُ ุฌَูˆْูَ ุงุจْู†ِ ุขุฏَู…َ ุฅِู„ุงَّ ุงู„ุชُّุฑَุงุจُ ، ูˆَูŠَุชُูˆุจُ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َู‰ ู…َู†ْ ุชَุงุจَ

“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436)

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal

Kembali pada Allah Sebab Terlepas dari Musibah

Perlu diketahui, semua musibah yang terjadi di alam ini, berupa gempa dan musibah lainnya yang menimbulkan bahaya bagi para hamba serta menimbulkan berbagai macam penderitaan, itu semua disebabkan oleh perbuatan syirik dan maksiat yang diperbuat. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

ูˆَู…َุง ุฃَุตَุงุจَูƒُู…ْ ู…ِู†ْ ู…ُุตِูŠุจَุฉٍ ูَุจِู…َุง ูƒَุณَุจَุชْ ุฃَูŠْุฏِูŠูƒُู…ْ ูˆَูŠَุนْูُูˆ ุนَู†ْ ูƒَุซِูŠุฑٍ

“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuura: 30)

Allah Ta’ala juga berfirman,

ู…َุง ุฃَุตَุงุจَูƒَ ู…ِู†ْ ุญَุณَู†َุฉٍ ูَู…ِู†َ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَู…َุง ุฃَุตَุงุจَูƒَ ู…ِู†ْ ุณَูŠِّุฆَุฉٍ ูَู…ِู†ْ ู†َูْุณِูƒَ

“Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79)

Allah Ta’ala menceritakan tentang umat-umat terdahulu,

ูَูƒُู„ًّุง ุฃَุฎَุฐْู†َุง ุจِุฐَู†ْุจِู‡ِ ูَู…ِู†ْู‡ُู…ْ ู…َู†ْ ุฃَุฑْุณَู„ْู†َุง ุนَู„َูŠْู‡ِ ุญَุงุตِุจًุง ูˆَู…ِู†ْู‡ُู…ْ ู…َู†ْ ุฃَุฎَุฐَุชْู‡ُ ุงู„ุตَّูŠْุญَุฉُ ูˆَู…ِู†ْู‡ُู…ْ ู…َู†ْ ุฎَุณَูْู†َุง ุจِู‡ِ ุงู„ْุฃَุฑْุถَ ูˆَู…ِู†ْู‡ُู…ْ ู…َู†ْ ุฃَุบْุฑَู‚ْู†َุง ูˆَู…َุง ูƒَุงู†َ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„ِูŠَุธْู„ِู…َู‡ُู…ْ ูˆَู„َูƒِู†ْ ูƒَุงู†ُูˆุง ุฃَู†ْูُุณَู‡ُู…ْ ูŠَุธْู„ِู…ُูˆู†َ

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40)

[Kembali pada Allah Sebab Terlepas dari Musibah]

Oleh karena itu, wajib bagi setiap kaum muslimin yang telah dibebani syari’at dan kaum muslimin lainnya, agar bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, konsisten di atas agama, serta menjauhi larangan Allah yaitu kesyirikan dan maksiat. Sehingga dengan demikian, mereka akan selamat dari seluruh bahaya di dunia maupun di akhirat. Allah pun akan menghindarkan dari mereka berbagai adzab, dan menganugrahkan kepada mereka berbagai kebaikan. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

ูˆَู„َูˆْ ุฃَู†َّ ุฃَู‡ْู„َ ุงู„ْู‚ُุฑَู‰ ุขู…َู†ُูˆุง ูˆَุงุชَّู‚َูˆْุง ู„َูَุชَุญْู†َุง ุนَู„َูŠْู‡ِู…ْ ุจَุฑَูƒَุงุชٍ ู…ِู†َ ุงู„ุณَّู…َุงุกِ ูˆَุงู„ْุฃَุฑْุถِ ูˆَู„َูƒِู†ْ ูƒَุฐَّุจُูˆุง ูَุฃَุฎَุฐْู†َุงู‡ُู…ْ ุจِู…َุง ูƒَุงู†ُูˆุง ูŠَูƒْุณِุจُูˆู†َ

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96)

Allah Ta’ala pun mengatakan tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani),

ูˆَู„َูˆْ ุฃَู†َّู‡ُู…ْ ุฃَู‚َุงู…ُูˆุง ุงู„ุชَّูˆْุฑَุงุฉَ ูˆَุงู„ْุฅِู†ْุฌِูŠู„َ ูˆَู…َุง ุฃُู†ْุฒِู„َ ุฅِู„َูŠْู‡ِู…ْ ู…ِู†ْ ุฑَุจِّู‡ِู…ْ ู„َุฃَูƒَู„ُูˆุง ู…ِู†ْ ูَูˆْู‚ِู‡ِู…ْ ูˆَู…ِู†ْ ุชَุญْุชِ ุฃَุฑْุฌُู„ِู‡ِู…ْ

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.” (QS. Al-Maidah: 66)

Allah Ta’ala berfirman,

ุฃَูَุฃَู…ِู†َ ุฃَู‡ْู„ُ ุงู„ْู‚ُุฑَู‰ ุฃَู†ْ ูŠَุฃْุชِูŠَู‡ُู…ْ ุจَุฃْุณُู†َุง ุจَูŠَุงุชًุง ูˆَู‡ُู…ْ ู†َุงุฆِู…ُูˆู†َ, ุฃَูˆَุฃَู…ِู†َ ุฃَู‡ْู„ُ ุงู„ْู‚ُุฑَู‰ ุฃَู†ْ ูŠَุฃْุชِูŠَู‡ُู…ْ ุจَุฃْุณُู†َุง ุถُุญًู‰ ูˆَู‡ُู…ْ ูŠَู„ْุนَุจُูˆู†َ, ุฃَูَุฃَู…ِู†ُูˆุง ู…َูƒْุฑَ ุงู„ู„َّู‡ِ ูَู„ุง ูŠَุฃْู…َู†ُ ู…َูƒْุฑَ ุงู„ู„َّู‡ِ ุฅِู„ุง ุงู„ْู‚َูˆْู…ُ ุงู„ْุฎَุงุณِุฑُูˆู†َ

“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf : 97-99)

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal

Amalan-amalan setelah Ramadhan (1)

Kita hanya bisa memanjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang tak terhingga ini. Allah Yang Maha Memberi Nikmat telah memberikan kesempatan untuk merasakan sejuknya beribadah puasa.

Sungguh suatu kebanggaan, kita bisa melaksanakan ibadah yang mulia ini. Janji yang pasti diperoleh oleh orang yang berpuasa jika dia menjalankan puasa dengan dasar iman kepada Allah dan mengharapkan ganjarannya telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut,
ู…َู†ْ ุตَุงู…َ ุฑَู…َุถَุงู†َ ุฅِูŠู…َุงู†ًุง ูˆَุงุญْุชِุณَุงุจًุง ุบُูِุฑَ ู„َู‡ُ ู…َุง ุชَู‚َุฏَّู…َ ู…ِู†ْ ุฐَู†ْุจِู‡ِ

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)

Sungguh sangat menyayangkan sekali orang yang meninggalkan amalan yang mulia ini. Begitu sering kami melihat orang yang mengaku muslim namun di siang hari bulan Ramadhan dia makan terang-terangan atau dia mengganggu saudaranya dengan asap rokok. Sungguh sangat merugi sekali orang yang meninggalkan ibadah ini, padahal amalan ini adalah bagian dari rukun Islam yang dapat menegakkan bangunan Islam dan para ulama sepakat tentang wajibnya melaksanakan rukun Islam yang satu ini.

Setelah kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita masih perlu untuk beramal sebagai bekal kita nanti sebelum dijemput oleh malaikat maut. Pada tulisan kali ini, kami akan sedikit mengulas mengenai beberapa amalan yang sebaiknya dilakukan seorang muslim setelah menunaikan puasa Ramadhan. Semoga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Tetap Menjaga Shalat Lima Waktu dan Shalat Jama’ah

Bulan Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Orang yang dulu malas ke masjid atau sering bolong mengerjakan shalat lima waktu, di bulan Ramadhan begitu terlihat bersemangat melaksanakan amalan shalat ini. Itulah di antara tanda dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka ketika itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ุฅِุฐَุง ุฌَุงุกَ ุฑَู…َุถَุงู†ُ ูُุชِّุญَุชْ ุฃَุจْูˆَุงุจُ ุงู„ْุฌَู†َّุฉِ ูˆَุบُู„ِّู‚َุชْ ุฃَุจْูˆَุงุจُ ุงู„ู†َّุงุฑِ ูˆَุตُูِّุฏَุชِ ุงู„ุดَّูŠَุงุทِูŠู†ُ

“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079)

Namun, amalan shalat ini hendaklah tidak ditinggalkan begitu saja. Kalau memang di bulan Ramadhan, kita rutin menjaga shalat lima waktu maka hendaklah amalan tersebut tetap dijaga di luar Ramadhan, begitu pula dengan shalat jama’ah di masjid khusus untuk kaum pria.

Lihatlah salah satu keutamaan orang yang menjaga shalat lima waktu berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู‚َุงู„َ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَุฒَّ ูˆَุฌَู„َّ ุงูْุชَุฑَุถْุชُ ุนَู„َู‰ ุฃُู…َّุชِูƒَ ุฎَู…ْุณَ ุตَู„َูˆَุงุชٍ ูˆَุนَู‡ِุฏْุชُ ุนِู†ْุฏِู‰ ุนَู‡ْุฏًุง ุฃَู†َّู‡ُ ู…َู†ْ ุญَุงูَุธَ ุนَู„َูŠْู‡ِู†َّ ู„ِูˆَู‚ْุชِู‡ِู†َّ ุฃَุฏْุฎَู„ْุชُู‡ُ ุงู„ْุฌَู†َّุฉَ ูˆَู…َู†ْ ู„َู…ْ ูŠُุญَุงูِุธْ ุนَู„َูŠْู‡ِู†َّ ูَู„ุงَ ุนَู‡ْุฏَ ู„َู‡ُ ุนِู†ْุฏِู‰

“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu shalat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang yang tidak menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya’.” (HR. Sunan Ibnu Majah no. 1403. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Shalat jama’ah di masjid juga memiliki keutamaan yang sangat mulia dibanding shalat sendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ุตَู„ุงَุฉُ ุงู„ْุฌَู…َุงุนَุฉ ุฃูْุถَู„ُ ู…ِู†ْ ุตَู„ุงَุฉِ ุงู„ْูَุฐِّ ุจِุณَุจْุนٍ ูˆَุนِุดْุฑِูŠู†َ ุฏَุฑَุฌَุฉً

“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)

Namun yang sangat kami sayangkan, amalan shalat ini sering dilalaikan oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan mulai pada hari raya ‘ied (1 Syawal) saja, sebagian orang sudah mulai meninggalkan shalat karena sibuk silaturahmi atau berekreasi. Begitu juga seringkali kita lihat sebagian saudara kita karena kebiasaan bangun kesiangan, dia meninggalkan shalat shubuh begitu saja. Padahal shalat shubuh inilah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


ู„َูŠْุณَ ุตَู„ุงَุฉٌ ุฃَุซْู‚َู„َ ุนَู„َู‰ ุงู„ْู…ُู†َุงูِู‚ِูŠู†َ ู…ِู†َ ุงู„ْูَุฌْุฑِ ูˆَุงู„ْุนِุดَุงุกِ ، ูˆَู„َูˆْ ูŠَุนْู„َู…ُูˆู†َ ู…َุง ูِูŠู‡ِู…َุง ู„ุฃَุชَูˆْู‡ُู…َุง ูˆَู„َูˆْ ุญَุจْูˆًุง

“Tidak ada shalat yang paling berat dilakukan oleh orang munafik kecuali shalat Shubuh dan shalat Isya’. Seandainya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

Saudaraku, ingatlah ada ancaman keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang meninggalkan shalat. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ุจَูŠْู†َ ุงู„ุนَุจْุฏِ ูˆَุจَูŠْู†َ ุงู„ูƒُูْุฑِ ูˆَุงู„ุฅِูŠْู…َุงู†ِ ุงู„ุตَّู„َุงุฉُ ูَุฅِุฐَุง ุชَุฑَูƒَู‡َุง ูَู‚َุฏْ ุฃَุดْุฑَูƒَ

“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia telah melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ุงู„ْุนَู‡ْุฏُ ุงู„َّุฐِู‰ ุจَูŠْู†َู†َุง ูˆَุจَูŠْู†َู‡ُู…ُ ุงู„ุตَّู„ุงَุฉُ ูَู…َู†ْ ุชَุฑَูƒَู‡َุง ูَู‚َุฏْ ูƒَูَุฑَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)

Begitu pula shalat jama’ah di masjid, seharusnya setiap muslim –khususnya kaum pria- menjaga amalan ini. Shalat jama’ah mungkin kelihatan ramai di bulan Ramadhan saja. Namun, ketika bulan Ramadhan berakhir, masjid sudah kelihatan sepi seperti sedia kala. Memang dalam masalah apakah shalat jama’ah itu wajib atau sunnah mu’akkad terjadi perselisihan di antara para ulama. Namun berdasarkan dalil yang kuat, shalat jama’ah hukumnya adalah wajib (fardhu ‘ain). Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah di mana beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

ุฃَุชَู‰ ุงู„ู†َّุจِู‰َّ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ุฑَุฌُู„ٌ ุฃَุนْู…َู‰ ูَู‚َุงู„َ ูŠَุง ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ ุฅِู†َّู‡ُ ู„َูŠْุณَ ู„ِู‰ ู‚َุงุฆِุฏٌ ูŠَู‚ُูˆุฏُู†ِู‰ ุฅِู„َู‰ ุงู„ْู…َุณْุฌِุฏِ. ูَุณَุฃَู„َ ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ุฃَู†ْ ูŠُุฑَุฎِّุตَ ู„َู‡ُ ูَูŠُุตَู„ِّู‰َ ูِู‰ ุจَูŠْุชِู‡ِ ูَุฑَุฎَّุตَ ู„َู‡ُ ูَู„َู…َّุง ูˆَู„َّู‰ ุฏَุนَุงู‡ُ ูَู‚َุงู„َ « ู‡َู„ْ ุชَุณْู…َุนُ ุงู„ู†ِّุฏَุงุกَ ุจِุงู„ุตَّู„ุงَุฉِ ». ูَู‚َุงู„َ ู†َุนَู…ْ. ู‚َุงู„َ « ูَุฃَุฌِุจْ ».

“Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid’. Kemudian pria ini meminta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan untuk shalat di rumah. Pada mulanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dia keringanan. Namun, tatkala dia mau berpaling, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pria tersebut dan berkata, ‘Apakah engkau mendengar adzan ketika shalat?’ Pria buta tersebut menjawab, ‘Iya.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Penuhilah panggilan tersebut’.” (HR. Muslim no. 653)

Lihatlah pria buta ini memiliki udzur (alasan) untuk tidak jama’ah di masjid, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikannya keringanan, dia tetap diwajibkan untuk shalat jama’ah di masjid. Padahal dia adalah pria yang buta, tidak ada penuntun yang menemaninya, rumahnya juga jauh. Di Madinah juga banyak hewan buas dan banyak pepohonan yang menghalangi jalan menuju masjid. Namun, lihatlah walaupun dengan berbagai udzur ini karena pria buta ini mendengar adzan, dia tetap wajib jama’ah di masjid.

Bagaimanakah kondisi kita yang lebih sehat dan berkemampuan? Tentu lebih wajib lagi untuk berjama’ah di masjid. Itulah dalil kuat yang menunjukkan wajibnya shalat jama’ah di masjid. Jika seseorang meninggalkan shalat jama’ah dan shalat sendirian, dia berarti telah berdosa karena meninggalkan shalat jama’ah, namun shalat sendirian yang dia lakukan tetap sah. Sedangkan bagi wanita berdasarkan kesepakatan kaum muslimin tidak wajib bagi mereka jama’ah di masjid bahkan lebih utama bagi wanita untuk mengerjakan shalat lima waktu di rumahnya.

Memperbanyak Puasa Sunnah

Selain kita melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan, hendaklah kita menyempurnakannya pula dengan melakukan amalan puasa sunnah. Di antara keutamaannya adalah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

ุฃَู„ุงَ ุฃَุฏُู„ُّูƒَ ุนَู„َู‰ ุฃَุจْูˆَุงุจِ ุงู„ْุฎَูŠْุฑِ ุงู„ุตَّูˆْู…ُ ุฌُู†َّุฉٌ

“Maukah kutunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi no. 2616. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud bahwa hadits ini shohih)

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Keutaman lain dari puasa sunah terdapat dalam hadits Qudsi berikut.

ูˆَู…َุง ูŠَุฒَุงู„ُ ุนَุจْุฏِู‰ ูŠَุชَู‚َุฑَّุจُ ุฅِู„َู‰َّ ุจِุงู„ู†َّูˆَุงูِู„ِ ุญَุชَّู‰ ุฃُุญِุจَّู‡ُ ، ูَุฅِุฐَุง ุฃَุญْุจَุจْุชُู‡ُ ูƒُู†ْุชُ ุณَู…ْุนَู‡ُ ุงู„َّุฐِู‰ ูŠَุณْู…َุนُ ุจِู‡ِ ، ูˆَุจَุตَุฑَู‡ُ ุงู„َّุฐِู‰ ูŠُุจْุตِุฑُ ุจِู‡ِ ، ูˆَูŠَุฏَู‡ُ ุงู„َّุชِู‰ ูŠَุจْุทُุดُ ุจِู‡َุง ูˆَุฑِุฌْู„َู‡ُ ุงู„َّุชِู‰ ูŠَู…ْุดِู‰ ุจِู‡َุง ، ูˆَุฅِู†ْ ุณَุฃَู„َู†ِู‰ ู„ุฃُุนْุทِูŠَู†َّู‡ُ ، ูˆَู„َุฆِู†ِ ุงุณْุชَุนَุงุฐَู†ِู‰ ู„ุฃُุนِูŠุฐَู†َّู‡ُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)

Itulah di antara keutamaan seseorang melakukan amalan sunnah. Dia akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com)

Banyak puasa sunnah yang dapat dilakukan oleh seorang muslim setelah Ramadhan. Di bulan Syawal, kita dapat menunaikan puasa enam hari Syawal. Juga setiap bulan Hijriyah kita dapat berpuasa tiga hari dan lebih utama jika dilakukan pada ayyamul bid yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15. Kita juga dapat melakukan puasa Senin-Kamis, puasa Arofah (pada tanggal 9 Dzulhijah), puasa Asyura (pada tanggal 10 Muharram), dan banyak berpuasa di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika ada yang punya kemampuan boleh juga melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Semoga Allah memudahkan kita melakukan amalan puasa sunnah ini.

Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal

Hendaklah di bulan Syawal ini, setiap muslim berusaha untuk menunaikan amalan yang satu ini yaitu berpuasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ู…َู†ْ ุตَุงู…َ ุฑَู…َุถَุงู†َ ุซُู…َّ ุฃَุชْุจَุนَู‡ُ ุณِุชًّุง ู…ِู†ْ ุดَูˆَّุงู„ٍ ูƒَุงู†َ ูƒَุตِูŠَุงู…ِ ุงู„ุฏَّู‡ْุฑِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)

Bagaimana cara melakukan puasa ini? An Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.”

Apa faedah melakukan puasa enam hari di bulan Syawal?

Ibnu Rojab rahimahullah menyebutkan beberapa faedah di antaranya:

1. Berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan puasa Sya’ban seperti halnya shalat rawatib qobliyah dan ba’diyah. Amalan sunnah seperti ini akan menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada dalam amalan wajib. Setiap orang pasti memiliki kekurangan dalam amalan wajib. Amalan sunnah inilah yang nanti akan menyempurnakannya.
3. Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah Ta’ala jika menerima amalan hamba, maka Dia akan memberi taufik pada amalan sholih selanjutnya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula orang yang melaksanakan kebaikan lalu dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”
4. Karena Allah telah memberi taufik dan menolong kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan serta berjanji mengampuni dosa kita yang telah lalu, maka hendaklah kita mensyukuri hal ini dengan melaksanakan puasa setelah Ramadhan. Sebagaimana para salaf dahulu, setelah malam harinya melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka berpuasa sebagai rasa syukur pada Allah atas taufik yang diberikan. (Disarikan dari Latho’if Al Ma’arif, 244, Asy Syamilah)

Sungguh sangat beruntung sekali jika kita dapat melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Ini sungguh keutamaan yang luar biasa, saudaraku. Marilah kita melaksanakan puasa tersebut demi mengharapkan rahmat dan ampunan Allah.

Penjelasan penting yang harus diperhatikan: Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ (tanggungan) puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi apabila puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barangsiapa berpuasa ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

AHL AL-KITAB (4/4)

Imam Syafi'i, memahami istilah Ahl Al-Kitab, sebagai
orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel,
tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi
dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan
Isa, hanya diutus kepada mereka bukan kepada bangsa-bangsa
lain. (Juga karena adanya redaksi min qablikum [sebelum
kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan itu). Pendapat
Imam Syafi'i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan
mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa pun
yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah
diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl Al-Kitab. Dengan
demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut
agama Yahudi atau Nasrani. Dengan demikian, bila ada satu
kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur
(yang diberikan kepada Nabi Daud a.s.) saja, maka ia pun
termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab. Pendapat
ketiga dianut oleh sebagian kecil ulama-ulama salaf, yang
menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat
diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup
oleh pengertian Ahl Al-Kitab, seperti halnya orang-orang
Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi diperluas
lagi oleh para mujtahid (pakar-pakar hukum) kontemporer,
sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu, dan
dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh
pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan kitab suci
(samawi) .

Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur
Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan salah
seorang pengikut Imam Syafi'i, demikian juga Ahmad ibn
Hanbal, berpendapat bahwa kaum Muslim dapat menikmati
makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan dapat pula
mengawini wanita-wanita mereka.{6}

Uraian panjang lebar menyangkut hal ini dikemukakan oleh
Muhammad Rasyid Ridha {7} yang menurutnya bermula dan
pertanyaan seseorang dari Jawa (Indonesia) tentang hukum
mengawini wanita-wanita penyembah berhala semacam
orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka).

Ulama besar itu setelah merinci dan menilai secara panjang
lebar riwayat- riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat
Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan, serta
menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya,
menyimpulkan fatwanya sebagaรต berikut:

"Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang
diharamkan oleh Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik
dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik
Arab. Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para
mufasir Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan bahwa orang-orang
Majusi, Ash-Shabiin, penyembah berhala di India, Cina dan
yang semacam mereka seperti orang-orang Jepang adalah Ahl
Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai
sekarang.{8}"

Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95
(At-Tin) menjelaskan bahwa sementara pakar pada masanya
memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana) pendiri agama
Budha (memperoleh wahyu-wahyu Ilahi), kemudian Al-Qasimi
menegaskan bahwa:

"Dan yang lebih kuat menurut pandangan kami bahkan yang
pasti, bila tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha)
adalah seorang Nabi yang benar.{9}"

Penulis cenderung memahami pengertian Ahl Al-Kitab pada
semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, dimana pun
dan dari keturuunan siapa pun mereka. Ini, berdasarkan
penggunaan Al-Qur'an terhadap istilah tersebut yang hanya
terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan Nasrani), dan
sebuah ayat dalam Al-Qur'an,

"(Kami turunkan Al-Qur'an ini) agar kamu (tidak) mengatakan
bahwa, 'Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja
sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa
yang mereka baca." (QS Al-An'am [6]: 156).

Namun demikian, kita dapat memahami pandangan yang
menyatakan bahwa selain orang Yahudi dan Nasrani seperti
penyembah berhala non-Arab dan sebagainya, walaupun tidak
termasuk dalam kategori Ahl Al-Kitab, tetap dapat
diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab.

Ini berdasarkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, Hadis
ke-42, "Perlakukanlah mereka sama dengan perlakuan terhadap
Ahl Al-Kitab." Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi:
"tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengawini
wanita mereka." Kalau tambahan ini tidak dibenarkan, maka
semua izin yang berkaitan dengan Ahl Al-Kitab, berlaku pula
terhadap mereka.

Sebagian lainnya menilai hadis tersebut berstatus mursal
yakni sahabat Nabi yang mendengar atau menerima hadis
tersebut dari beliau tidak disebut dalam rentetan transmisi
riwayatnya. Dan jika demikian itu halnya maka hadis tersebut
dinilai oleh sementara pakar sebagai tidak dapat dijadikan
argumentasi keagamaan.

Sahabat Nabi Abdullah bin Umar mempunyai pendapat lain.
Beliau secara tegas melarang perkawinan seorang pria Muslim
dengan wanita Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka adalah
orang-orang musyrik. Ia mengatakan,

"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari
keyakinan seorang yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa
atau salah seorang dari hamba-hamba Allah."

Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat sekaligus praktik
sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah Utsman, Ibnu
Abbas, Thalhah, Jabir, dan Khuzaifah, demikian pula para
pakar-pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:

1. Dalam sekian banyak ayat, Al-Qur'an menyebut istilah
al-musyrikun berdampingan dengan Ahl Al-Kitab, dengan
menggunakan kata penghubung wauw yang berarti "dan."

"Orang-orang kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang musyrik tidak
menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dan
Tuhanmu. (QS Al-Baqarah [2]: 105).

Kata penghubung semacam ini mengandung makna adanya
perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan itu. Ini berarti
ada perbedaan antara musyrikun dan Ahl Al-Kitab. Demikian
juga terlihat pada QS Al-Bayyinah [98]: 1 dan 6.

Beberapa pakar tafsir, seperti Thabathaba'i dan Rasyid Ridha
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-musyrikun dalam
Al-Qur'an adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat
tinggal di Makkah.

2. Al-Qur'an sendiri telah menguraikan sekian banyak
keyakinan. Ahl Al-Kitab, yang pada hakikatnya merupakan
kemusyrikan seperti keyakinan Trinitas, atau bahwa Uzair
demikian juga Isa adalah anak Allah, dan sebagainya. Namun
demikian, seperti terlihat dalam butir pertama di atas,
Al-Qur'an membedakan mereka dan tetap menamai kedua kelompok
tersebut sebagai Ahl Al-Kitab, bukan Musyrikun.

Al-Qur'an seperti dikemukakan pada awal uraian ini, sangat
teliti dalam redaksi-redaksinya, sehingga tidak ada peluang
untuk terjadinya kerancuan dalam istilah-istilah Ahl
Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar.

Atas dasar itu, hampir seluruh sahabat Nabi, tabi'in,
ulama-ulama masa awal dan kontemporer tidak sependapat
dengan Abdullah Ibnu Umar.

Penulis dapat memahami pendapat tersebut dengan
memperhatikan latar belakang sahabat mulia itu, yang dikenal
sangat berhati-hati serta amat gandrung meniru Nabi dalam
segala sikap dan tindakannya. Kehati-hatian dan
kegandrungannya itulah yang menjadikan beliau begitu ketat
dengan pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan
kemudahan yang telah dianugerahkan Al-Qur'an.

Penulis juga dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak
sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan
dengan alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang dapat
dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan
hubungan rumah tangga yang tidak mudah dapat terjalin
apabila pasangan suami istri tidak sepaham dalam ide,
pandangan hidup atau agamanya. Mahmud Syaltut menulis dalam
kumpulan fatwanya bahwa tujuan utama dibolehkannya
perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah
agar dengan perkawinan tersebut terjadi semacam penghubung
cinta dan kasih sayang. Sehingga terkikis dari benak
istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik
sang suami Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin
secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam.

Adapun jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri, atau
anaknya terbawa kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari
akidah Islam, maka ini bertentangan dengan tujuan
dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut
disepakati - untuk dibubarkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Sikap Al-Qur'an terhadap Ahl Al-Kitab pada dasarnya amat
positif. Tidak ada halangan sedikit pun untuk menjalin kerja
sama dan bantu-membantu dengan penganut Ahl Al-Kitab serta
penganut agama lain, dalam bidang kehidupan sosial, budaya,
dan ekonomi.

2. Kecaman yang terdapat dalam Al-Qur'an, lebih banyak
tertuju kepada orang Yahudi, dan kecaman tersebut lebih
banyak diakibatkan oleh sikap politik dan ekonomi mereka.

3. Betapapun terdapat perbedaan agama dan keyakinan, namun
keadilan harus diperlakukan terhadap semua pihak.

4. Pengertian Ahl Al-Kitab dan cakupan makna, serta
implikasinya dalam kehidupan sehari-hari - istimewa
menyangkut perkawinan dan memakan binatang halal hasil
sembelihan mereka - diperselisihkan oleh para ulama. Dengan
kata lain, tidak wajar seseorang dianggap menyimpang dari
ajaran Islam, bila ia memilih salah satu pendapat yang telah
diuraikan di atas, dan dalam saat yang sama sikap
kehati-hatian yang diambil oleh sekian banyak umat dapat
dinilai sebagai sikap terpuji.

Demikian sekelumit uraian Al-Qur'an tentang Ahl Al-Kitab. []

Catatan kaki:

{6} Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan
QS Al-Maidah [5]: 5.
{7} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 185.
{8} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 193.
{9} Mabahis At-Ta'wil, Jilid 17, hlm. 6201.



WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

AHL AL-KITAB (3/4)

Kembali kepada persoalan di atas, ditemukan bahwa
ulama-ulama tafsir bila menemukan istilah Ahl Al-Kitab dalam
sebuah ayat, seringkali menjelaskan siapa yang dimaksud
dengan istilah tersebut. Hal ini wajar karena Al-Qur'an
secara tegas menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab tidak sama dalam
sifat dan sikapnya terhadap Islam dan kaum Muslim (QS Ali
'Imran [3]: 113). Itu pula sebabnya, dalam hal-hal yang
dapat menimbulkan kerancuan pemahaman istilah itu, Al-Qur'an
tidak jarang memberi penjelasan tambahan yang berkaitan
dengan sifat atau ciri khusus Ahl Al-Kitab yang dimaksudnya.
Perhatikan misalnya ayat yang berbicara tentang kebolehan
kawin dengan wanita Ahl Al-Kitab, di sana ditambahkan kata
wal muhshanat (wanita-wanita yang memelihara kehormatannya),
sedang ketika berbicara tentang kebolehan memakan sembelihan
mereka, Al-Qur'an mengemukakannya tanpa penjelasan atau
syarat.

MENGAPA ADA KECAMAN TERHADAP AHL AL-KITAB?

Kebanyakan kecaman terhadap Ahl Al-Kitab ditujukan kepada
orang Yahudi, bukan kepada orang Nasrani. Ini disebabkan
karena sejak semula ada perbedaan sikap di antara kedua
kelompok Ahl Al-Kitab itu terhadap kaum Muslim (perhatikan
kembali penggunaan kata "lan" dan "la" pada uraian di atas).
Ketika Romawi yang beragama Kristen mengalami kekalahan dari
Persia yang menyembah api (614 M), kaum Muslim merasa sedih,
dan Al-Qur'an turun menghibur mereka dengan menyatakan bahwa
dalam jangka waktu tidak lebih dari sembilan tahun, Romawi
akan menang, dan ketika itu kaum Mukmin akan bergembira:

"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri
yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang
dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan
sesudah (mereka menang) dan di hari (kemenangan bangsa
Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena
pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang" (QS Al-Rum
[30]: 1-5).

Sikap penguasa Masehi pun cukup baik terhadap kaum Muslim.
Ini antara lain terlihat dalam sambutan dan perlindungan
yang diberikan oleh penguasa Ethiopia yang beragama Nasrani
kepada kaum Muslim yang berhijrah ke sana, sehingga wajar
jika secara tegas Al-Qur'an menyatakan:

"Sesungguhnya kamu pasti akan menemukan orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman
ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan
sesungguhnya pasti kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah
orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya kami ini orang
Nasrani" (QS Al-Ma-idah [5]: 82).

Sebab pokok perbedaan sikap tersebut adalah kedengkian orang
Yahudi terhadap kehadiran seorang Nabi yang tidak berasal
dari golongan mereka (QS Al-Baqarah [2]: 109). Kehadiran
Nabi kemudian mengakibatkan pengaruh orang Yahudi di
kalangan masyarakat Madinah menciut, dan bahkan
menghilangkan pengaruh politik dan kepentingan ekonomi
mereka.

Di sisi lain, seperti pernyataan Al-Qur'an di atas, sebab
kedekatan sebagian orang Nasrani kepada kaum Muslim adalah:

"Karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak
menyombongkan diri" (QS Al-Ma-idah [5]: 82)

Para pendeta ketika itu relatif berhasil menanamkan ajaran
moral yang bersumber dari ajaran Isa as., sedang para rahib
yang mencerminkan sikap zuhud (menjauhkan diri dari
kenikmatan duniawi dengan berkonsentrasi pada ibadah),
berhasil pula memberi contoh kepada lingkungannya.
Keberhasilan itu didukung pula oleh tidak adanya kekuatan
sosial politik dari kalangan mereka di Makkah dan Madinah,
sehingga tidak ada faktor yang mengundang gesekan dan
benturan antara kaum Muslim dengan mereka.

Ini bertolak belakang dengan kehadiran orang Yahudi, apalagi
pendeta-pendeta mereka dikenal luas menerima sogok, memakan
riba, dan masyarakatnya pun amat materialistis-individualis-
tis.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyebab utama lahirnya
benturan, bukannya ajaran agama, tetapi ambisi pribadi atau
golongan, kepentingan ekonomi, dan politik, walaupun harus
diakui bahwa kepentingan tersebut dapat dikemas dengan
kemasan agama, apalagi bila ajarannya disalahpahami.

Ayat-ayat yang melarang kaum Muslim mengangkat awliya'
(pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari
golongan Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, harus
dipahami dalam konteks tersebut, seperti firman Allah dalam
surat Ali-'Imran [3]: 118:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu,
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.
Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika
kamu memahaminya."

Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut
turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani Quraizhah
yang mengkhianati perjanjian mereka dengan Nabi saw.,
sehingga seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsirnya:
"Larangan ini baru berlaku apabila mereka memerangi atau
bermaksud jahat terhadap kaum Muslim."

Rasyid Ridha, mengkritik dengan sangat tajam pandangan
beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari
- yang menjadikan ayat ini sebagai larangan bersahabat
dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani secara mutlak.

Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan pendapatnya itu
dengan hadis Nabi saw. yang menyatakan,

"(Kaum Muslim dan mereka) tidak saling melihat api
keduanya."

Maksudnya seorang Muslim tidak wajar bertempat tinggal
berdekatan dengan non-Muslim dalam jarak yang seandainya
salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api
itu.

Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh Nabi tidak dalam
konteks umum seperti pemahaman Al-Baidhawi, tetapi dalam
konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat membutuhkan
bantuan. Dalam arti, Nabi menganjurkan umat Islam untuk
tidak tinggal di tempat di mana kaum musyrik bertempat
tinggal, tetapi mereka harus berhijrah ke tempat lain guna
mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.

Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya berstatus mursal,
sedangkan para ulama berselisih mengenai boleh tidaknya
hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan. Rasyid Ridha
berkomentar:

"Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan
Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap
ayat dan hadis menjadi dangkal, apalagi keduanya
(Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya memiliki sedikit
pengetahuan hadis, dan keduanya pun tidak banyak merujuk
kepada pendapat salaf (ulama terdahulu yang diakui
kompetensinya).{1}"

Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid Ridha, mengaitkan
pengertian larangan di atas dengan larangan serupa dalam
Al-Qur'an:

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu,
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi (QS
Ali Imran [3]: 1 18)

Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan itu muncul,
sehingga ia hanya berlaku terhadap orang yang cirinya
demikian, kendati seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan
seorang Muslim.

"Sebagian orang tak menyadari sebab atau syarat-syarat
tersebut, sehingga mereka berpendapat bahwa larangan ini
bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama. Seandainya
larangan tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang
kafir ketika itu bersatu menentang kaum Mukmin pada awal
masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat
ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi.
Namun demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat
tersebut, karena Allah swt. yang menurunkan mengetahui
perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi
bangsa dan pemeluk agama. Seperti yang terlihat kemudian
dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam begitu
benci terhadap orang-orang Mukmin, namun berbalik menjadi
membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di
Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu
kaum Muslim melawan Romawi." {2}

Dari sini dapat ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menjadikan
perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan
kerja sama, lebih lebih mengambil sikap tidak bersahabat.
Bahkan Al-Qur'an sama sekali tidak melarang seorang Muslim
untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada
siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan
motivasi keagamaan atau mengusir kaum Muslim di negeri
mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah [60]: 8 yang
dikemukakan oleh Ibn 'Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah
(1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur'an.{3}

Atas dasar itu pula sejumlah sahabat Nabi bahkan Nabi
sendiri ditegur oleh Al-Qur'an karena enggan memberi bantuan
nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa
mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika
menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah:

"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,
tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu
jua.{4}"

Atas dasar pandangan itu pula, kaum Muslim diwajibkan oleh
Al-Qur'an memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun
oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lain
berdasarkan surat Al-Hajj [22]: 40.

"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia.
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan
biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat
Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Mahakuat lagi Mahaperkasa."

Dari prinsip yang sama Al-Qur'an membenarkan kaum Muslim
memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita
mereka yang menjaga kehormatannya.

SIAPA YANG DISEBUT AHL AL-KITAB?

Di atas telah dikemukakan bahwa para ulama sepakat
menyatakan bahwa Ahl Al-Kitab adalah orang Yahudi dan
Nasrani. Namun para ulama berbeda pendapat tentang rincian,
serta cakupan istilah tersebut. Uraian tentang hal ini
paling banyak dikemukakan oleh pakar-pakar Al-Qur'an ketika
mereka menafsirkan surat Al-Ma-idah [5]: 5, yang menguraikan
tentang izin memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, dan mengawini
wanita-wanita yang memelihara kehormatannya.

Al-Maududi, seorang pakar agama Islam kontemporer, menulis
perbedaan pendapat para ulama tentang cakupan makna Ahl
Al-Kitab yang penulis rangkum sebagai berikut: {5}

Catatan kaki:

{1} Baca lebih jauh Tafsir Al-Manar, Jilid VI, hlm. 428.
{2} Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 82
{3} Lihat Tafsir Al-Manar, Jilid IV, hlm. 1773.
{4} Ahkam Al Qur'an, III, hlm. 337.
{5} Lihat majalah Al-Wa'i Al-Islam, Kuwait, Maret 1972,
Thn. VIII, No. 86.
(bersambung ke 4/4)



WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

AHL AL-KITAB (2/4)

Al-Qur'an juga menyatakan bahwa,

"Apabila mereka condong kepada salam (perdamaian), maka
condong pulalah kepadanya, dan berserah dirilah kepada
Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"
(QS Al-Anfal [8]: 61).

Perlu digarisbawahi bahwa berlaku adil terhadap Ahl Al-Kitab
siapa pun mereka, walau Yahudi - tetap dituntut oleh
Al-Qur'an. Ulama-ulama Al-Qur'an menguraikan bahwa Nabi saw.
pernah cenderung mempersalahkan seorang Yahudi yang tidak
bersalah - karena bersangka baik terhadap keluarga kaum
Muslim yang menuduhnya. Sikap Nabi tersebut ditegur oleh
Allah dengan menurunkan surat An-Nisa, [4]: 105.

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya engkau mengadili antar manusia
dengan apa yang Allah wahyukan kepadamu. Dan janganlah
engkau menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena
(membela) orang-orang yang khianat."

APAKAH AHL AL-KITAB SEMUA SAMA?

Di atas telah dipaparkan sebagian dari ayat-ayat yang
berbicara tentang Ahl Al-Kitab serta kecaman dan sifat-sifat
negatif mereka. Pertanyaan yang dapat muncul adalah: "Apakah
ayat-ayat di atas berlaku umum, menyangkut semua Ahl
Al-Kitab kapan dan di mana pun mereka berada?"

Penggalan terakhir surat Al-Ma-idah [5]: 59 di atas
menyatakan bahwa banyak di antara kamu (hai Ahl Al-Kitab),
perlu digarisbawahi untuk menjawab pertanyaan ini. Hemat
penulis, penggalan tersebut paling tidak menunjukkan bahwa
tidak semua mereka bersikap demikian.

Kesimpulan ini didukung dengan sangat jelas paling tidak
dalam dua ayat berikut:

"Banyak dari Ahl Al-Kitab yang menginginkan agar mereka
dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu
beriman, karena dengki yang timbul dari dalam hati mereka
setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan
biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" (QS
Al-Baqarah [2]: 109).

Perlu diketahui bahwa ayat di atas menggunakan kata katsir
yang seharusnya diterjemahkan banyak, bukan kebanyakan
sebagaimana dalam Al-Qur'an dan Terjemahannya oleh
Departemen Agama. Ini dikuatkan juga dengan firman-Nya:

"Segolongan dari Ahl Al-Kitab ingin menyesatkan kamu padahal
mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan kecuali diri mereka
sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" (QS Ali 'Imran [3]:
69)

Kalau melihat redaksi ayat di atas, maka dapat dikatakan
bahwa dalam konteks upaya pemurtadan, maka tidak semua
mereka bersikap sama. Sejalan dengan ini, ada peringatan
yang ditujukan kepada kaum Mukmin yang menyatakan:

"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti
sekelompok dari Ahl Al-Kitab, niscaya mereka akan
mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir sesudah kamu
beriman" (QS Ali 'Imran [3]: 100).

Nah, jika demikian dapat dipahami keterangan Al-Qur'an yang
menyatakan bahwa,

"Mereka itu tidak sama. Di antara Ahl Al-Kitab ada golongan
yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada
beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud"
(QS Ali 'Imran [3]: 113) .

Sebelumnya dalam surat yang sama Al-Qur'an juga memberikan
informasi,

"Di antara Ahl Al-Kitab ada yang jika kamu mempercayakan
kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan
di antara mereka ada juga yang jika kamu percayakan
kepadanya satu dinar (saja) tidak dikembalikannya kepadamu,
kecuali selama kamu berdiri (selalu menagihnya). Yang
demikian itu karena mereka berkata (berkeyakinan) bahwa
tidak ada dosa bagi kami (memperlakukan tidak adil) terhadap
orang-orang ummi (Arab). Mereka berkata dusta terhadap Allah
padahal mereka mengetahui" (QS Ali 'Imran [3]: 75).

Demikian juga ketika Al-Qur'an mengungkap isi hati sebagian
Ahl Al-Kitab dinyatakannya bahwa:

"Permusuhan antar sesama mereka sangatlah hebat. Kamu
menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah belah"
(QS Al-Hasyr [59]: 14).

BAGAIMANA SEHARUSNYA SIKAP TERHADAP AHL AL-KITAB

Di atas terlihat bahwa Ahl Al-Kitab tidak semua sama. Karena
itu sikap yang diajarkan Al-Qur'an terhadap mereka pun
berbeda, sesuai dengan sikap mereka.

Dalam sekian banyak ayat yang menggunakan istilah Ahl
Al-Kitab, terasa adanya uluran tangan dan sikap bersahabat,
walaupun di sana-sini Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan
dalam keyakinan.

Perhatikan firman Allah berikut ini:

"Janganlah kamu berdebat dengan Ahl Al-Kitab, melainkan
dengan cara yang sebaik-baiknya, kecuali terhadap
orang-orang yang zalim di antara mereka" (QS Al-'Ankabut
[29]: 46).

Dalam beberapa kitab tafsir - seperti juga pada catatan kaki
Al-Qur'an dan Terjemahnya Departemen Agama - dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan "orang-orang zalim" dalam ayat di
atas adalah mereka yang setelah diberi penjelasan dengan
baik, masih tetap membantah, membangkang, dan menyatakan
permusuhan.

Sebenarnya yang diharapkan oleh kaum Muslim dari semua pihak
termasuk Ahl Al-Kitab adalah kalimat sawa' (kata sepakat),
dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui kaum
Muslim sebagai umat beragama Islam, jangan diganggu dan
dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya. Dalam konteks ini
Al-Qur'an memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw.,

"Hai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu kata sepakat antara
kita yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu,
yakni bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah, dan kita
tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak pula
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan
selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah
(kepada mereka), 'Saksikanlah (akuilah) bahwa kami adalah
orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah)" (QS
Ali 'Imran [3]: 64).

Sekali lagi penulis katakan "sebagian mereka," karena
Al-Qur'an juga menggarisbawahi bahwa:

"Dan sesungguhnya di antara Ahl Al-Kitab ada orang yang
beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada
kamu, dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka
berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan
ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh
pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungan-Nya" (QS Ali 'Imran [3]: 199).

Memang, tidak sedikit dari Ahl Al-Kitab yang kemudian dengan
tulus memeluk agama Islam. Salah seorang yang paling populer
di antara mereka adalah Abdullah bin Salam. Al-Qurthubi
dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa ketika turun firman
Allah:

"Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan
Injil) mengenalnya (Muhammad saw.) sebagaimana mereka
mengenal anak-anak mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 146).

Umar r.a. bertanya kepada Abdullah bin Salam, "Apakah engkau
mengenal Muhammad sebagaimana engkau mengenal anakmu?"
Abdullah menjawab, "Ya, bahkan lebih. (Malaikat) yang
terpercaya turun dari langit kepada manusia yang terpercaya
di bumi, menjelaskan sifat (cirinya), maka kukenal dia;
(sedang anakku) aku tidak tahu apa yang telah dilakukan
ibunya."

AHL AL-KITAB PADA MASA TURUNNYA AL-QUR'AN

Sebelum membuka lembaran ayat-ayat Al-Qur'an perlu kiranya
kita menoleh ke sejarah dakwah Islamiah yang dilaksanakan
oleh Nabi Muhammad saw. Sepuluh tahun lamanya beliau
melaksanakan misi kerasulan di Makkah, dan yang dihadapi di
sana adalah kaum musyrik penyembah berhala. Di kota Makkah
sendiri penganut agama Yahudi sangat sedikit, bahkan hampir
tidak ada. Musuh pertama dan utama ketika itu adalah
orang-orang Makkah, dan mereka itu disebut oleh Al-Qur'an
sebagai al-musyrikun.

Penindasan kaum musyrik di Makkah terhadap kaum Muslim,
memaksa sebagian kaum Muslim melakukan hijrah pertama ke
Ethiopia. Di sana mereka disambut dengan baik oleh Negus,
penguasa yang beragama Nasrani.

Masyarakat Madinah terdiri dari dua kelompok besar, yaitu
Aus dan Khazraj, serta orang-orang Yahudi yang memiliki
kekuatan ekonomi yang cukup memadai. Aus dan Khazraj saling
bermusuhan dan berperang. Tidak jarang pula terjadi
perselisihan dan permusuhan antara mereka dengan orang
Yahudi. Pertempuran dan perselisihan itu melelahkan semua
pihak; sayang tidak ada di antara mereka yang memiliki
wibawa yang dapat mempersatukan kelompok-kelompok yang
bertikai ini.

Orang-orang Yahudi sering mengemukakan kepada Aus dan
Khazraj, bahwa akan datang seorang Nabi (dari kelompok
mereka), dan bila ia datang pastilah kaum Yahudi akan
mengalahkan musuh-musuhnya. Dalam konteks ini Al-Qur'an
menyatakan - menyangkut orang Yahudi - bahwa,

"Setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dan Allah yang
membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya
mereka biasa memohon (demi kedatangan Nabi yang dijanjikan)
untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka
setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang
yang ingkar itu" (QS Al-Baqarah [2]: 89).

Yang dimaksud dengan "membenarkan apa yang ada pada mereka"
adalah kehadiran seorang Nabi, yang dalam hal ini Nabi
Muhammad saw. Sahabat Nabi Ibnu Abbas menjelaskan apa yang
dimaksud dengan "padahal sebelumnya mereka biasa memohon"
adalah bahwa orang Yahudi Khaibar berperang melawan Arab
Gathfan, tetapi mereka dikalahkan, maka ketika itu
orang-orang Yahudi berdoa, "Kami bermohon kepada-Mu demi
Nabi Ummi yang engkau janjikan untuk mengutusnya kepada kami
di akhir zaman, menangkanlah kami atas mereka" sehingga
mereka berhasil mengalahkan musuh-musuh mereka.

Al-Qur'an juga menginformasikan bahwa keengganan mereka
beriman disebabkan oleh karena "kedengkian dan iri hati
mereka" (QS Al-Baqarah [2]: 109). Tadinya mereka menduga
bahwa Nabi tersebut dari Bani Israil, tetapi ternyata dari
golongan Arab yang merupakan seteru mereka.

Terbaca dari uraian sejarah di atas bahwa orang-orang Yahudi
dan Nasrani hampir tidak ada di kota Makkah. Itu pula
sebabnya sehingga kaum musyrik di sana mengirim utusan ke
Madinah untuk memperoleh "pertanyaan berat" yang dapat
diajukan kepada Nabi Muhammad dalam rangka pembuktian
kenabiannya. Ketika itu orang-orang Yahudi Madinah
menyarankan agar menanyakan soal ruh, dan peristiwa itulah
yang melatar belakangi turunnya firman Allah:

"Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, 'Ruh itu
termasuk urusan Tuhanku.' Kamu tidak diberi pengetahuan
kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85).

Kehadiran Nabi Muhammad saw. ke Madinah, disambut baik oleh
Aus dan Khazraj bukan saja sebagai pemersatu mereka yang
selama ini telah lelah bertempur dan mendambakan perdamaian,
tetapi juga karena mereka yakin bahwa beliau adalah utusan
Allah, yang sebelumnya telah mereka ketahui kehadirannya
melalui orang-orang Yahudi.

Adapun orang-orang Nasrani lebih banyak bertempat tinggal di
Yaman, bukan di Madinah. Kalaupun ada yang di sana, mereka
tidak mempunyai pengaruh politik atau ekonomi, namun mereka
juga disebut oleh Al-Qur'an sebagai Ahl Al-Kitab.

(bersambung ke 3/4)



WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

AHL AL-KITAB (1/4)

Berbicara mengenai wawasan Al-Qur'an tentang suatu masalah
tidak akan sempurna, bahkan boleh jadi keliru, jika
pandangan hanya tertuju kepada satu dua ayat yang berbicara
menyangkut hal tersebut. Karena cara demikian akan
melahirkan pandangan parsial yang tidak sejalan dengan
tujuan pemahaman wawasan, lebih-lebih bila analisis
dilakukan terlepas dari konteks (munasabah) ayat, sejarah,
asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat), penjelasan
Nabi (As-Sunnah), dan sebagainya, yang dihimpun oleh
pakar-pakar Al-Qur'an dengan istilah pendekatan "tematis"
(maudhu'i).

Bahasan ini mencoba menerapkan metode tersebut, walaupun
dalam bentuk yang terbatas - karena penerapannya secara
sempurna membutuhkan waktu yang tidak singkat, rujukan yang
memadai, serta kemampuan analisis yang dalam. Namun
demikian, keterbatasan di atas, akan diusahakan untuk
ditutupi dengan menyajikan pandangan beberapa pakar
berkompeten dalam bidang Al-Qur'an.

ISTILAH-ISTILAH AL-QUR'AN

Salah satu keistimewaan Al-Qur'an adalah ketelitian
redaksinya. Tidak heran, karena redaksi tersebut bersumber
langsung dari Allah swt. Hal ini perlu digarisbawahi, bukan
saja karena sekian banyak ulama melakukan analisis
kebahasaan dalam mengemukakan dan atau menolak satu
pendapat, tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan
beberapa istilah yang berbeda ketika menunjuk kepada orang
Yahudi dan Nasrani, dua kelompok masyarakat yang minimal
disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab.

Selain istilah Ahl Al-Kitab, Al-Qur'an juga menggunakan
istilah Utu Al-Kitab, Utu nashiban minal kitab, Al-Yahud,
Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An Nashara, dan istilah
lainnya.

Kata Ahl Al-Kitab terulang di dalam Al-Qur'an sebanyak tiga
puluh satu kali, Utu Al-Kitab delapan belas kali, Utu
nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud delapan kali,
Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat belas kali,
dan Bani/Banu Isra'il empat puluh satu kali

Kesan umum diperoleh bahwa bila Al-Qur'an menggunakan kata
Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau gambaran negatif
tentang mereka. Perhatikan misalnya firman-Nya tentang
kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim (QS Al-Maidah
[5]: 82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani
terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS
Al-Baqarah [2]: 120), atau pengakuan mereka bahwa orang
Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah (QS
Al-Ma-idah [5]: 18), atau pernyataan orang Yahudi bahwa
tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS Al-Maidah [5]: 64), dan
sebagainya. Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka
kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap
mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan
menguranginya (QS Al-Nisa, [41]: 46), atau bahwa mereka
tekun mendengar (berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan
kebohongan (QS Al-Maidah [5]: 41), dan ada juga yang
bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman
dengan benar untuk tidak akan mengalami rasa takut atau
sedih (QS Al-Baqarah [2]: 62).

Kata Nashara sama penggunaannya dengan Al-Ladzina Hadu,
terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian,
misalnya surat Al-Maidah [5]: 82 yang menjelaskan tentang
mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang
Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam
surat Al-Baqarah [2]: 120 yang berbicara tentang
ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim
mengikuti mereka. Dalam kesempatan lain kandungannya
bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti
dalam surat Al-Hajj [22]; 17 yang membicarakan tentang
putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dan
kelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian. Dengan
demikian, kita dapat mengatakan bahwa bila Al-Qur'an
menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut berupa
kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan
kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama
halnya dengan Al-Ladzina Hadu.

Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]: 120 yang
berbunyi "Lan tardha 'ankal-Yahud wa lan Nashara hatta
tattabi'a millatahum (orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti
agama/tatacara mereka," menggunakan kata "lan" terhadap
orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani. Menurut
pakar-pakar bahasa Al-Qur'an, antara lain Az-Zarkasyi dalam
bukunya Al-Burhan, kata "lan" digunakan untuk menafikan
sesuatu di masa datang, dan penafian tersebut lebih kuat
dari "la" yang digunakan untuk menafikan sesuatu, tanpa
mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh saja ia
terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.

Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang
itu Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab),
maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga
umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka. Dalam arti,
menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju.

Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud ayat ini
adalah menjelaskan:

"Keadaan mereka dalam bersikeras berpegang pada kebatilan
mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka
itu juga (di samping kekufuran itu) berkeinginan agar
diikuti millat mereka. Mereka tidak rela dengan kitab (suci
yang dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh)
persetujuan beliau menyangkut keadaan mereka. Dengan
demikian (Allah) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka
terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan
keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)."

Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa kalimat hatta tattabi'a millatahum (sampai engkau
mengikuti agama mereka) adalah:

Kinayat (kalimat yang mengandung makna bukan sesuai bunyi
teksnya) keputusasaan (tidak adanya kemungkinan) bagi orang
Yahudi dan Nasrani untuk memeluk Islam ketika itu, karena
mereka tidak rela kepada Rasul kecuali (kalau Rasul)
mengikuti agama/tatacara mereka. Maka ini berarti bahwa
mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena
keikutan Nabi pada ajaran mereka merupakan sesuatu yang
mustahil, maka kerelaan mereka terhadap beliau (Nabi) pun
demikian. Ini sama dengan (firman-Nya):

"hingga masuk ke lubang jarum" (QS Al-A'raf [7]: 40)

dan (firman-Nya),

"Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu
bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah" (QS Al-Kafirun
[109]: 2-3).

Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika
itu" untuk menjelaskan bahwa keputusasaan tersebut hanya
ditekankan oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara tertentu
ketika itu, bukan terhadap mereka semua, karena kenyataan
menunjukkan bahwa setelah turunnya ayat ini ada di antara
Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam. Pengertian tersebut
sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]: 10:

"Sama saja bagi mereka: apakah kamu memberi peringatan
kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman."

Yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir tertentu
ketika itu (pada masa Nabi), bukan seluruh orang kafir
karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari
orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk Islam.
Arti surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas perlu ditegaskan,
karena sering tertadi kesalahpahaman tentang maknanya. Dan
juga sebagaimana diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah,
bahkan mereka cenderung eksklusif dalam bidang agama dan
orang lain cenderung enggan menganut agamanya. Di sisi lain,
seperti dikemukakan dalam riwayat-riwayat, sebab turunnya
surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas berkenaan dengan
pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah, yang
ditanggapi oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu
kaum Yahudi Madinah dan kaum Nasrani Najran mengharapkan
agar Nabi dan kaum Muslim mengarahkan shalat mereka ke
kiblat mereka. Demikian pendapat Ibnu Abbas sebagaimana
dikemukakan oleh As-Sayuthi dalam kaxyanya Ashab Al-Nuzul

Penafian Al-Qur'an terhadap An-Nashara, tidak setegas
penafiannya terhadap Al-Yahud, sehingga boleh jadi tidak
semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini dan di
masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil
penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas penggunaan
kata "lan" untuk orang Yahudi.

Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata Ahl
Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan Al-Qur'an tentang
mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka -
positif dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh
kaum Muslim terhadap mereka.

SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB

Al-Qur'an banyak berbicara tentang sifat dan sikap Ahl
Al-Kitab terhadap kaum Muslim, dan berbicara tentang
keyakinan dan sekte mereka yang beraneka ragam. Surat
An-Nisa, [4]: 171 dan Al-Ma-idah [5]: 77 mengisyaratkan
bahwa mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem.

"Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu,
dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" {QS
Al-Nisa, [4]: 171).

Mereka juga dinilai oleh Al-Qur'an sebagai telah mengkufuri
ayat-ayat Allah, serta mengingkari kebenaran (kenabian
Muhammad saw).

"Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat
Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya)? Hai Ahl
Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang
batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu
mengetahui?" (QS Ali 'Imran [3]: 70-71).

Nabi Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk
menyampaikan kepada mereka:

Katakanlah: "Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang kami
salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa
yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan
sebelumnya, sedang banyak di antara kamu benar-benar
orang-orang yang fasik?" (QS Al-Ma-idah [5]: 59).

Bahkan Allah Swt. secara langsung dan berkali-kali
mengingatkan kaum Muslim untuk tidak mengangkat mereka
sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat
menyimpan rahasia.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orany-orang yang zalim" (QS
Al-Ma-idah [5]: 51).

Dalam QS Ali 'Imran [3]: 118 kaum Muslim diingatkan untuk
tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim sebagai
bithanah (teman-teman tempat menyimpan rahasia) dengan
alasan bahwa:

"... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi
kamu (kaum Muslim). Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka sedang apa
yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami
telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa kawan dan
siapa lawan), jika kalian memahaminya." (QS Ali 'Imran [3]:
118).

Terhadap merekalah Nabi saw. bersabda,

"Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan
jangan pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang
di antara mereka di jalan, maka desaklah ia ke pinggiran"
(HR Muslim melalui Abu Hurairah).

Sahabat dan pembantu Nabi saw., Anas bin Malik, berkata
bahwa Nabi saw. bersabda,

"Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka
katakanlah, Wa 'alaikum" (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam buku Dalil Al-Falihin dikemukakan bahwa para ulama
berbeda pendapat tentang hukum memulai ucapan salam kepada
orang-orang kafir. Mayoritas melarangnya tetapi banyak juga
yang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun
apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya
bagi kaum Muslim untuk menjawab salam itu. Ulama sepakat
dalam hal ini.
(bersambung ke 2/4)



WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Agama

AGAMA

Tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di dunia ini kita
menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan
seseorang terhadap agama, ditentukan oleh pemahamannya
terhadap ajaran agama itu sendiri. Ketika pengaruh gereja di
Eropa menindas para ilmuwan akibat penemuan mereka yang
dianggap bertentangan dengan kitab suci, para ilmuwan pada
akhirnya menjauh dari agama bahkan meninggalkannya.

Persoalan yang menjadi topik pembicaraan kita mau tak mau
harus muncul, "Apakah agama masih relevan dengan kehidupan
masa kini yang cerminannya seperti digambarkan di atas?"
Sebelum menjawab, perlu terlebih dahulu dijawab: Apakah
manusia dapat melepaskan diri dari agama?" Atau, "Adakah
alternatif lain yang dapat menggantikannya?"

Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu
yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak
kelahirannya):

Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu
(QS Ad-Rum [30]: 30)

Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama.
Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan
hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama
--boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada
akhirnya, sebelum ruh rmeninggalkan jasad, ia akan merasakan
kebutuhan itu. Memang, desakan pemenuhan kebutuhan
bertingkat-tingkat. Kebutuhan manusia terhadap air dapat
ditangguhkan lebih lama dibandingkan kebutuhan udara. Begitu
juga kebutuhan manusia makanan, jauh lebih singkat
dibandingkan dengan kebutuhan manusia untuk menyalurkan naluri
seksual. Demikian juga kebutuhan manusia terhadap agama dapat
ditangguhkan, tetapi tidak untuk selamanya.

Ketika terjadi konfrontasi antara ilmuwan di Eropa dengan
Gereja, ilmuwan meninggalkan agama, tetapi tidak lama kemudian
mereka sadar akan kebutuhan kepada pegangan yang pasti, dan
ketika itu, mereka menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif
pengganti agama. Namun tidak lama kemudian mereka menyadari
bahwa alternatif ini, sangat labil, karena yang dinamai
"nurani" terbentuk oleh lingkungan dan latar belakang
pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda dengan Si B,
dan dengan demikian tolok ukur yang pasti menjadi sangat
rancu.

Setelah itu lahir filsafat eksistensialisme, yang
mempersilakan manusia melakukan apa saja yang dianggapnya
baik, atau menyenangkan tanpa mempedulikan nilai-nilai.

Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena
seperti dikemukakan di atas ia tetap ada dalam diri manusia,
walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui oleh kebanyakan
manusia itu sendiri.

William James menegaskan bahwa, "Selama manusia masih memiliki
naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama
(berhubungan dengan Tuhan)." Itulah sebabnya mengapa perasaan
takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk
beragama.

I1mu mempercepat Anda sampai ke tujuan, agama
menentukan arah yang dituju.

I1mu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan
agama menyesuaikan dengan jati dirinya.

I1mu hiasan 1ahir, dan agama hiasan batin.

I1mu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama
memberi harapan dan dorongan bagi jiwa.

I1mu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan
"bagaimana", dan agama menjawab yang dimulai dengan
"mengapa."

Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya,
sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang
tulus.

Demikian Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian fungsi dan
peranan agama dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan
oleh ilmu dan teknologi. Bukankah kenyataan hidup masyarakat
Barat membuktikan hal tersebut?

Manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani. Akal atau rasio
ada wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan atau
bahkan dihadapi oleh akal. Karya seni tidak dapat dinilai
semata-mata oleh akal, karena yang lebih berperan di sini
adalah kalbu. Kalau demikian, keliru apabila seseorang hanya
mengandalkan akal semata-mata.

Akal bagaikan kemampuan berenang. Akal berguna saat berenang
di sungai atau di laut yang tenang, tetapi bila ombak dan
gelombang telah membahana, maka yang pandai berenang dan yang
tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung.

Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan, terutama jika
manusia tetap ingin jadi manusia. Ambillah sebagai contoh
bidang bio-teknologi. Ilmu manusia sudah sampai kepada batas
yang menjadikannya dapat berhasil melakukan rekayasa genetika.
Apakah keberhasilan ini akan dilanjutkan sehingga menghasilkan
makhluk-makhluk hidup yang dapat menjadi tuan bagi penciptanya
sendiri? Apakah ini baik atau buruk? Yang dapat menjawabnya
adalah nilai-nilai agama, dan bukan seni, bukan pula filsafat.

Jika demikian, maka tidak ada alternatif lain yang dapat
menggantikan agama. Mereka yang mengabaikannya, terpaksa
menciptakan "agama baru" demi memuaskan jiwanya.

Dalam pandangan sementara pakar Islam, agama yang diwahyukan
Tuhan, benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman manusia
pertama di pentas bumi. Di sini ia memerlukan tiga hal, yaitu
keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Gabungan ketiganya dinamai
suci. Manusia ingin mengetahui siapa atau apa Yang Mahasuci,
dan ketika itulah dia menemukan Tuhan, dan sejak itu pula ia
berusaha berhubungan dengan-Nya bahkan berusaha untuk
meneladani sifat-sifat-Nya. Usaha itulah yang dinamai
beragama, atau dengan kata lain, keberagamaan adalah
terpatrinya rasa kesucian dalam jiwa beseorang. Karena itu
seorang yang beragama akan selalu berusaha untuk mencari dan
mendapatkan yang benar, yang baik, lagi yang indah.

Mencari yang benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik
menghasi1kan akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni.

Jika demikian, agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia,
tetapi juga selalu relevan dengan kehidupannya. Adakah manusia
yang tidak mendambakan kebenaran, keindahan dan kebaikan?

IDE DASAR PERDAMAIAN

Agaknya, cukup dengan memahami makna nama agama ini yakni
Islam, seseorang telah dapat mengetahui bahwa ia adalah agama
yang mendambakan perdamaian. Cukup juga dengan mendengarkan
ucapan yang dianjurkan untuk disampaikan pada setiap
pertemuan. "Assalamu 'Alaikum" (Damai untuk Anda), seseorang
dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan bukan hanya
untuk diri sendiri, tetapi juga untuk pihak lain. Kalau
demikian, tidak heran jika salah satu ciri seorang Muslim,
adalah seperti sabda Nabi Muhammad Saw.

Siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan
kedamaian) dari gangguan lidahnya dan tangannya.

Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia
lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah, Tuhan Yang
Mahakuasa, alam, dan manusia.

Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Maha Esa, Dia yang
menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya semata.
Semua ciptaan-Nya adalah baik dan serasi, sehingga tidak
mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan
dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian antara seluruh
ciptaan-Nya.

Makhluk hidup diciptakan dari satu sumber: "Kami menciptakan
semua yang hidup dan air" (QS Al-Anbiya' [21]: 22). Manusia,
yang merupakan salah satu unsur yang hidup itu, juga di
ciptakan dari satu sumber yakni thin (tanah yang bercampur
air) melalui seorang ayah dan seorang ibu, sehingga manusia,
bukan saja harus hidup berdampingan dan harmonis bersama
manusia lain, tetapi juga dengan makhluk hidup lain, bahkan
dengan alam raya, apalagi yang berada di bumi ini. Bukankah
eksistensinya lahir dari tanah, bumi tempat dia berpijak, dan
kelak ia akan kembali ke sana?

Demikian ide dasar ajaran Islam, yang melahirkan keharusan
adanya kedamaian bagi seluruh makhluk.

Benar bahwa agama ini memerintahkan untuk mempersiapkan
kekuatan guna menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain
kecuali --menurut istilah Al-Quran-- adalah untuk
menakut-nakuti mereka (yang bermaksud melahirkan kekacauan dan
disintegrasi) (QS Al-Anfal [8]: 60). Peperangan --kalau
terjadi-- tidak dibenarkan kecuali untuk menyingkirkan
penganiayaan, itu pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak,
orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi, dan
atas dasar ini, datang petunjuk Tuhan yang menyatakan:

Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka
sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah
kepada Allah (QS Al-Anfal [8]: 61).

KERUKUNAN DAN DEMOKRASI

Biasanya yang paling berharga bagi sesuatu adalah dirinya
sendiri. Ini berarti yang paling berharga buat agama adalah
agama itu sendiri. Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan
apa pun dari pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya.
Namun demikian, Islam datang tidak hanya bertujuan
mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga
mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk
hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama
lain.

Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut
agama lain) ... (QS Al-An'am [6): 108).

Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam) (QS
Al-Baqarah [2]: 256).

Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun [109]:
6)

Surat Al-Hajj (22): 40 menyatakan:

"Seandainya Allah tidak meno1ak keganasan sebagian
orang atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja
sama antara manusia), niscaya rubuhlah biara-biara,
gereja~gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama
Allah."

Ayat ini dijadikan oleh sebagian ulama, seperti Al-Qurthubi
(w. 671 H), sebagai argumentasi keharusan umat Islam
memelihara tempat-tempat ibadah umat non-Muslim. Memang,
A1-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa,

Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
seluruh manusia menjadi satu umat saja (QS Al-Nahl
[16]: 93).

Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia
memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri
jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara
jelas dan bertanggung jawab. Di sini dapat ditarik kesimpulan
bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama,
adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.

Yang dikemukakan ayat Al-Quran tersebut merupakan salah satu
benih dari ajaran demokrasi, hal mana kemudian akan nampak
dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab Suci. Salah satu
yang dapat dikemukakan di sini adalah pengalaman Nabi Saw.
dalam peperangan Uhud serta kaitannya dengan ayat yang
memerintahkan musyawarah. Sejarah menginformasikan bahwa
ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi Saw.
dari Makkah ke Madinah, Nabi Saw. berpendapat bahwa lebih baik
menunggu mereka hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas
sahabat-sahabatnya dengan penuh semangat mendesak beliau agar
menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena desakan
itu, akhirnya Nabi menyetujui. Tetapi, ternyata, puluhan
sahabat Nab~ gugur dalam peperangan tersebut sehingga
menimbulkan penyesalan. Setelah pengalaman pahit mengikuti
pendapat mayoritas ini, justu Al-Quran turun memberi petunjuk
kepada Nabi Muhammad Saw., agar tetap melakukan musyawarah dan
selalu bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya (baca QS Ali
'Imran [3]: 159).

Demikian terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat,
dan demokrasi, merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui kenyataan
tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh umat manusia.
Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS
Al-Baqarah [2]: 148), kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:

Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang
mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan
kedamaian (QS Al-Maidah [5]: 16).

Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung
selama bercirikan kedamaian. Bahkan dalam rangka mewujudkan
kedamaian dengan pihak lain, Islam menganjurkan dialog yang
baik (QS Al-Nahl [16]: 125). Dan dalam dialog itu, seorang
Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya
bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya.

Katakanlah, Kami atau Anda yang berada dalam kebenaran
atau kesesatan yang nyata (QS Saba' [34]: 24).

Bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat Islam mengajarkan
kata atau kalimat-kalimat dialog yang pada lahirnya dapat
dinilai "merugikan". Perhatikan terjemahan ayat berikut:

Kamu sekalian tidak akan diminta untuk
mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami. Kami pun tidak
akan mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kalian.
(QS Saba' [34]: 25) .

Kita menamai perbuatan kita dosa, dan tidak menamakan
perbuatan mitra dialog non-Muslim sebagai dosa, tetapi
menyebutnya sebagai "perbuatan".

Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam, bukankah yang
bersifat semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap
insan. Karena itu, langkah pertama yang dilakukannya adalah
mewujudkannya dalam jiwa setiap pribadi. Setelah itu ia
melangkah kepada unit terkecil dalam masyarakat yakni
keluarga. Dari sini ia beralih ke masyarakat luas, seterusnya
kepada seluruh bangsa di permukaan bumi ini, dan dengan
demikian dapat tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud
hubungan harmonis serta toleransi dengan semua pihak.

Demikian, sekelumit ajaran Islam. Kalau kenyataan di dunia
Islam berbeda dengan apa yang tersurat dalam petunjuk agama
ini, maka yang keliru adalah pelaku ajaran dan bukan ajarannya
itu sendiri. Sungguh tepat pernyataan Syaikh Muhammad Abduh,
"Al-Islam mahjub bil muslimin" (Keindahan ajaran Islam
ditutupi oleh kelakuan sementara umat Islam).

AGAMA ISLAM DALAM KEHIDUPAN MODERN

Berbicara tentang agama Islam dalam kehidupan modern, terlebih
dahulu perlu digarisbawahi keharusan pemisahan antara agama
dan pemeluk agama seperti ucapan Syaikh Muhammad Abduh di
atas.

Ajaran Islam tertutup oleh perilaku kaum Muslim.

Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap
dan aktivitas pemeluknya. Puncak dari prinsip itu adalah
tauhid. Di sekelilingnya beredar unit-unit bagaikan
planet-planet tata surya yang beredar di sekeliling matahari,
yang tidak dapat melepaskan diri dari orbitnya. Unit-unit
tersebut antara lain:

a. Kesatuan alam semesta. Dalam arti, Allah
menciptakannya dalam keadaan amat serasi, seimbang, dan
berada di bawah pengaturan dan pengendalian Allah Swt.
melalui hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.

b. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa
kehidupan duniawinya menyatu dengan kehidupan akhirnya.
Sukses atau kegagalan ukhrawi, ditentukan oleh amal
duniawinya.

c. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu
agama dan ilmu umum, karena semuanya bersumber dari
satu sumber yaitu Allah Swt.

d. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing
dibutuhkan dan masing-masing mempunyai wilayahnya
sehingga harus saling melengkapi.

e. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para Nabi
kesemuanya bersumber dari Allah Swt., prinsip-prinsip
pokoknya menyangkut akidah, syariah, dan akhlak tetap
sama dari zaman dahulu sampai sekarang.

f. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua
diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi.

g. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing
harus saling menunjang.

Islam --dalam hal urusan hidup duniawi-- tidak memberi rincian
petunjuk, karena

Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu (ketimbang
aku).

Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Muslim.

Dari prinsip-prinsip semacam di atas, seorang Muslim dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan positif masyarakatnya,
dan karena itu pula Islam memperkenalkan dirinya sebagai
"Agama yang selalu sesuai dengan setiap waktu dan tempat."

Kitab suci Al-Quran mempersilakan umat Islam untuk
mengembangkan ilmu, menggunakan akalnya menyangkut segala
sesuatu yang berada dalam wilayah nalar, yaitu alam fisika
ini. Namun harus disadari oleh manusia, bahwa jangankan alam
raya yang sedemikian luas, dirinya sendiri sebagai manusia
belum sepenuhnya ia kenal.

Islam tidak menghalangi umatnya untuk memperoleh kekayaan
sebanyak mungkin. Bahkan harta yang banyak dinamainya khair
(baik) dalam arti perolehan dan penggunaannya harus dengan
baik. Islam juga tidak melarang umatnya bersenang-senang di
dunia, hanya digarisbawahinya bahwa kesenangan duniawi
bersifat sementara, dan karena itu jangan sampai ia
melengahkan dari kesenangan abadi, atau melengahan dari
kewajiban kepada Allah dan masyarakat.

Umat Islam diperkenalkan oleh Al-Quran sebagai ummattan
wasathan (umat pertengahan) yang tidak larut dalam
spiritualme, tetapi tidak juga hanyut dalam alam materialisme.

Seorang Muslim, adalah memenuhi kebutuhannya dan mewarnai
kehidupannya bukan ala malaikat, tetapi tidak juga ala
binatang.

Hubungan seks dibenarkannya, tetapi karena manusia adalah
makhluk terhormat, yang terdiri dari ruhani dan jasmani maka
hubungan tersebut harus terjadi hubungan lahir dan batin, dan
karena itu ia harus dikukuhkan atas nama Tuhan, melalui
perkawinan yang sah menurut agama. Nabi Muhammad saw.
bersabda:

Kamu mengawini mereka (istri-istrimu) berdasarkan
amanat Allah dan berhak menggaulinya karena kalimat
(izin) Allah.

Manusia diakui sebagai makhluk yang amat mulia, dan jagat raya
ditundukkan Tuhan kepadanya. Ia diberi kelebihan atas banyak
makhluk-makhluk yang lain, tetapi sebagian kelebihan dan
keistimewaannya --material dan material-- diperoleh melalui
bantuan masyarakat.

Bahasa dan istiadat adalah produk masyarakatnya. Keuntungan
material, tidak dapat diraihnya tanpa partisipasi masyarakat
dalam membeli bagi pedagang, dan adanya irigasi walau
sederhana bagi petani, serta stabilitas keamanan bagi semua
pihak, yang tidak diwujudkan oleh seorang saja.

Kalau demikian, wajar jika hak asasinya harus dikaitkan dengan
kepentingan masyarakatnya serta ketenangan orang banvak.
Pandangan Barat yang menyatakan: "Anda boleh melakukan apa
saja selama tidak melanggar hak orang lain", tidak sejalan
dengan tuntutan moral Al-Quran yang menyatakan: "Hendaklah
Anda mengorbankan sebagian kepentingan Anda guna kepentingcan
orang lain."

Mereka (kelompok Anshar) mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka
dalam kesusahan. Siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka dalam kekikiran dunianya, mereka itulah
orang-orang beruntung (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Demikian sekelumit pembahasan tentang agama.[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Nurul Asri

Masjid Nurul asri didirikan pada tahun 2001 diatas tanah wakaf seluas 320 m2 yang beralamat di Komplek Cipageran Asri, Kelurahan Cipageran – Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi.
Hingga saat ini pembangunan Masjid Nurul belum sepenuhnya selesai dibangun. Masih ada beberapa bagian yang perlu ditambah.

Kegiatan rutin Masjid Nurul Asri diantaranya adalah :
  • Membina generasi penerus Islam agar hidup di bawah bimbingan syari’ah Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafus sholeh.
  • Kegiatan rutin keagamaan dan syiar Islam yang berkaitan dengan momen-momen penting dalam kalender Islam seperti kegiatan Ramadhan dan peringatan-peringatan hari bersejarah dalam Islam.
  • Majelis ta’lim yang melaksanakan pengajian rutin bulanan, baik bagi ibu-ibu maupun bapak-bapak.
  • Penerimaan dan Penyaluran zakat, infaq dan shodaqoh.
  • Penyembelihan hewan Qurban dan pendistribusian daging Qurban bagi yang membutuhkan merupakan bagian dari kegiatan Pengurus DKM Nurul Asri.
  • TPA Nurul Asri dengan santri sebanyak 96 anak yang terdiri dari santri di lingkungan komplek Cipageran Asri dan sekitarnya (Cibaligo, Pasir Kiara, Cimenteng)
Beberapa Foto Kegiatan 



AL-QUR'AN SEBAGAI PEMBELA DI HARI AKHIRAT

Abu Umamah r.a. berkata : "Rasulullah S.A.W telah menganjurkan supaya kami semua mempelajari Al-Qur'an, setelah itu Rasulullah S.A.W memberitahu tentang kelebihan Al-Qur'an."
Telah bersabda Rasulullah S.A.W : Belajarlah kamu akan Al-Qur'an, di akhirat nanti dia akan datang kepada ahli-ahlinya, yang mana di kala itu orang sangat memerlukannya."

Ia akan datang dalam bentuk seindah-indahnya dan ia bertanya, " Kenalkah kamu kepadaku?" Maka orang yang pernah membaca akan menjawab : "Siapakah kamu?"

Maka berkata Al-Qur'an : "Akulah yang kamu cintai dan kamu sanjung, dan juga telah bangun malam untukku dan kamu juga pernah membacaku di waktu siang hari."
Kemudian berkata orang yang pernah membaca Al-Qur'an itu : "Adakah kamu Al-Qur'an?" Lalu Al-Qur'an mengakui dan menuntun orang yang pernah membaca mengadap Allah S.W.T. Lalu orang itu diberi kerajaan di tangan kanan dan kekal di tangan kirinya, kemudian dia meletakkan mahkota di atas kepalanya.
Pada kedua ayah dan ibunya pula yang muslim diberi perhiasan yang tidak dapat ditukar dengan dunia walau berlipat ganda, sehingga keduanya bertanya : "Dari manakah kami memperolehi ini semua, pada hal amal kami tidak sampai ini?"

Lalu dijawab : "Kamu diberi ini semua kerana anak kamu telah mempelajari Al-Qur'an."

Popular post

 
Support : Jasa Pembuatan Website | Toko Online | Web Bisnis
Copyright © 2011. Nurul Asri - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger