Latest Post

MANUSIA UNGGULAN DALAM PERSPEKTIF TASAWUF


Manusia unggulan dalam perspektif tasawuf, mereka yang selalu melaksanakan dua tugas pokok, yaitu tugas ibadah sebagai bentuk aplikasi pengkhidmatan kepada Allah dan tugas sosial sebagai bentuk pengabdian kepada sesama.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada terputus.” (QS. At-Tin: 4-6).

Di dalam ayat tadi disebutkan manusia adalah makhluk unggulan karena peran gandanya, peran sebagai ‘abid seperti terindikasikan dalam ungkapan âmanû dan peran sebagai khalifah seperti terindikasikan dalam ungkapan wa ‘amilû as-shâlihât. Konsep ‘abid menunjukan hubungan vertikal (hablum minallah), dan itu lebih bersifat personal. Sementara konsep khalifah, terkait dengan tanggung jawab sosial, hubungan horizontal (hablum minannas). Kalau ‘abid itu tanggung jawab personal dengan Tuhan, sedang khalifah itu adalah tanggung jawab sosial dalam hubungannya dengan sesama manusia. Karena Allah selalu menggandengkan dua kalimat itu hampir di semua ayat-ayat-Nya, manusia unggulan akan selalu melakukan kedua peran itu secara bersamaan. Dengan demikian, kualitas manusia menurut perspektif tasawuf dilihat dari peran ganda ini.

Pada suatu hari Umar bin Khattab Ra. pernah ditanya, “kenapa engkau tidak pernah tidur?” Umar menjawab, “kalau saya tidur di malam hari bagaimana saya bisa dekat kepada Allah Swt, karena sepanjang hari waktu habis untuk mengurus umat.” Jadi, waktu dia sepanjang hari habis untuk melayani umat, karena dia seorang khlaifah. Tapi malam hari, ia selalu bangun malam untuk beribadah. Yang demikian itu adalah contoh konkrit amalan tasawuf yang berpijak dari ayat dimaksud.

Masih banyak orang berasumsi bahwa aktifitas tasawuf hanya terbatas pada dzikir-dzikir, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah ritual lainnya (hablu minallah), sementara sisi ibadah sosial (hablu minannas) diabaikan. Asumsi seperti itu tentu saja tidak benar, karena ibadah sosial juga tidak kalah pentingnya dibandingkan ibadah ritual. Bahkan, tidak jarang karena mengabaikan ibadah sosial, ibadah ritual bisa menjadi tidak berarti. Itu merupakan inti dari tujuan tasawuf, seperti disinyalir dalam surah al-Ma’un;

“Apakaha anda tahu orang yang mendustakan agama itu? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka celakalah bagi orang yang shalat.” (QS. Al-Ma’un: 1- 4).

Ayat “maka celakalah bagi orang yang shalat” disebutkan setelah dua ayat yang berkaitan dengan masalah sosial, yaitu menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Itu adalah suatu gambaran bahwa pelaku shalat yang tidak peduli terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan, lemah, tidak mampu, dan tidak memberikan dampak sosial yang baik yang direalisasikan melalui interaksi mereka dengan sesamannya, justru shalatnya itu akan mencelakakannya.

Lebih jelas lagi diceritakan dalam sebuah hadis, ada seorang wanita yang rajin shalat di malam hari dan rajin puasa di siang hari, tetapi Rasul mengatakan dia itu masuk neraka, tentu saja para sahabat menunjukan keheranannya dan bertanya alasannya kepada Rasulullah Saw, beliau menjawab, “ia masuk neraka karena ia selalu menyakiti hati tetangganya dengan lidah”. (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari Abu Hurairah). Berdasarkan hadis tersebut, seakan-akan shalat dan puasa yang dilakukan wanita tadi tidak berarti sama sekali, lantaran ia tidak mau berkomunikasi secara baik dengan tetangga atau sesamanya.

Di dalam Islam, tugas-tugas kemasyarakatan ini mempunyai kedudukan penting, sehingga dihargai lebih tinggi dari pada ibadah-ibadah ritual.

Mantan syekh Al-Azhar, Abdul Halim Mahmud, memberikan bukti-bukti bahwa beberapa orang sufi adalah pedagang-pedagang yang aktif dan cukup sukses.

Gerakan Sanusiah di Afrika Utara adalah gerakan pembaharu sosial yang sangat sufistik, begitu juga Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir. Sartono, ahli sejarah Indonesia, mencatat bahwa gerakan-gerakan protes di pedesaan di Jawa diwarnai oleh sufisme.

Pada suatu ketika, ada seorang sahabat Rasulullah Saw. melewati sebuah lembah yang cukup indah dan memesona. Lembah itu mempunyai mata air yang jernih dan segar, sehingga sahabat itu berfikir untuk menghabiskan sisa hidupnya di lembah yang jauh dari keramaian masyarakat itu, dan ia ingin mengisinya dengan shalat, puasa, dzikir, berdo’a kepada Allah Swt. Kemudian maksud itu diberitahukan kepada Rasulullah Saw, dan beliau berkata:

“Jangan lakukan itu, kedudukanmu di jalan Allah lebih utama daripada shalat yang engkau lakukan di rumahmu selama tujuh puluh tahun. Tidakkah anda ingin agar Allah mengampuni dosamu dan memasukkanmu ke surga? Berjuanglah di jalan Allah”. (HR. Tirmidzi).

Dalam hadis lain disebutkan juga:

“Dari Abu Umamah, dia bercerita: “Kami keluar bersama Rasulullah Saw. dalam salah satu ekspedisi beliau, kemudian seseorang melewati sebuah gua yang di situ ada air. Orang itu berkata kepada dirinya sendiri untuk tinggal dalam gua itu dengan jaminan hidup dari air yang ada dan memakan tetumbuhan di sekitarnya kemudian melepaskan diri dari dunia. Lalu orang itu berkata, “Kalau nanti aku bertemu Nabi Allah Saw. aku akan ceritakan perkara itu kepada beliau. Kalau beliau izinkan, aku akan lakukan, kalau tidak, tidak”. Maka, datanglah ia menemui beliau (Nabi), lalu berkata, “Wahai Nabi Allah, aku melewati sebuah gua yang di situ ada air dan tetumbuhan yang menjamin hidupku. Maka, aku pun berkata kepada diriku sendiri untuk tinggal di gua itu dan melepaskan diri dari dunia.” Orang itu menuturkan bahwa Nabi saw. menjawab, “Aku tidak diutus dengan keyahudian, juga tidak dengan kekeristenan. Aku diutus dengan kehanifan yang lapang (al-hanafiyatu al-samha’). Demi Dia yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, pergi-pagi dan pulang–petang di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Pastilah berdiri tegaknya seseorang di antara kamu (dalam barisan perjuangan) adalah lebih baik daripada sembahyangnya selama enam puluh tahun.” (H.R. Ahmad).

Berjuang atau pergi di jalan Allah Swt. adalah hidup di tengah-tengah masyarakat dan ikut berperan serta dalam membangun, memberikan yang terbaik bagi sesama, menyebarkan rasa cinta dan kasih sayang, menyerukan perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan mungkar, dan peran-peran kemanusiaan lainnya, karena kehadiran seorang muslim sebagai anggota masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk suatu perubahan masyarakat.

Ada beberapa hadis menjelaskan tentang manusia terbaik, dan semua itu bermuara pada sikap perbuatan yang dilakukan antar sesama, di antara hadis- hadis itu adalah:

“Manusia yang paling baik ialah yang paling baik akhlaknya. Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya kepada sesama. Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling baik dalam membayar hutangnya. Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik kepada isteri dan anak-anaknya. Yang paling baik di antara kamu adalah engkau masukan rasa bahagia kepada hati saudaramu yang mukmin.”

Sekali lagi, kebanyakan ayat al-Qur’an ketika menyebut kata âmanû (ibadah ritual) selalu digandengkan dengan kata wa ‘amilû as-shâlihât (ibadah soaial), karena memang keduanya tak bisa terpisah. Sesudah shalat pada waktunya dan membasahi lidah dengan dzikir kepada Allah, manusia paling baik akan berjuang di tengah-tengah manusia. Ia akan berusaha memasukan rasa bahagia kepada orang lain, ia akan memperlakukan isteri dan anak-anaknya dengan baik, ia memperbaiki masyarakat dengan melakukan kontrol sosial yang penuh tanggung jawab dan lain-lain, karena memang kecintaan kepada Allah Swt. melalui kecintaan kepada sesama, dan kedekatan manusia kepada Allah Swt. dengan melakukan sopan santun kepada sesamanya. Inilah salah satu yang terkandung dalam pengertian tasawuf, seperti dikatakan seorang sufi besar Junaid Al-Baghdadi, “bertasawuf adalah engkau merasa bersama Allah Swt. dan Allah Swt. bersama engkau, dan kedekatan itu bisa dilakukan dengan menyantuni sesama, seperti menyantuni orang-orang yang hancur hatinya.”

Ketika Nabi Musa bertanya kepada Allah Swt, “Tuhanku, di mana aku harus mencari-Mu, Allah Swt. menjawab, “Carilah aku di tengah-tengah mereka yang hancur hatinya”.

Tetapi, ketika tugas ganda ini terlepas dari manusia, Allah akan menempatkan manusia ke tempat yang sangat hina (neraka), mereka menjadi manusia yang tak berarti, manusia yang lebih sesat, lebih keji, dan lebih kejam daripada binatang, dan ketika itu tidak akan ada yang namanya kebaikan, kesejahteraan, dan kedamaian, baik buat dirinya maupun buat masyarakatnya. Allah Swt. berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al-A’raf: 179).

Dengan begitu, manusia unggulan dalam perspektif tasawuf yaitu mereka yang selalu melaksanakan dua tugas pokok ini, tugas ibadah sebagai bentuk aplikasi pengkhidmatan kepada Allah dan tugas sosial sebagai bentuk pengabdian kepada sesama. Wa Allâhu a’lam bi ash-shawwâb.

Sumber :
Ditulis oleh Abdul Rouf, Lc, MA, peserta Pendidikan Kader Mufasir (PKM) PSQ dan dosen Uin Syahid Jakarta.

Popular post

 
Support : Jasa Pembuatan Website | Toko Online | Web Bisnis
Copyright © 2011. Nurul Asri - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger