Latest Post

KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN (bag 3)

Oleh : Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Keadilan sosial seperti terlihat di atas, bukan mempersamakan
semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam
kesempatan mengukir prestasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial
didefinisikan sebagai "kerja sama untuk mewujudkan masyarakat
yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota
masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk
tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing."

Nah, jika di antara mereka ada yang tidak dapat meraih
prestasi atau memenuhi kebutuhan pokoknya, masyarakat yang
berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar
mereka pun dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial
semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial.

Bukankah telah dikemukakan pada awal uraian ini bahwa keadilan
akan mengantarkan kita kepada kesejahteraan? Dengan kata lain,
bukti atau anak sah keadilan sosial adalah kesejahteraan
sosial.

KESEJAHTERAAN SOSIAL

"Sejahtera" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "aman,
sentosa dan makmur; selamat (terlepas) dari segala macam
gangguan, kesukaran dan sebagainya." Dengan demikian
kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang
sejahtera.

Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang
didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam
dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan
tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum
Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih
dahulu ditempatkan di surga.

Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa,
sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta
kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang
mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang
berkesejahteraan.

Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan
Allah kepada Adam:

Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu
dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya
engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak
akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan
telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa
dahaga maupun kepanasan (QS Thaha [20]: 117- 119)

Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, den papan yang
diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan
kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya
kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan
sosial.

Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga
hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu
dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada
pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia:

Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga) perkataan
sia-sia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi
ucapan salam dan salam (sikap damai) (QS Al-Waqi'ah
[56]: 25 dan 26).

Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang beriman
(Baca surat Ya Sin [36]: 55-58, dan Al-Thur [52]: 21).

Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewuJudkan
bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan usaha
sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi.

Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai Adam,
setelah engkau berada di dunia, maka ikutilah). Maka
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada
ketakutan menimpa mereka dan tiada pula kesedihan (QS
Al-Baqarah [2]: 38).

Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial
yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai
dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman.

Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang sejahtera
adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan,
kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak
keluarga, bahkan lingkungan. Sayyid Quthb mengatakan bahwa:

Sistem kesejahteraan sosial yang diajarkan Islam bukan sekadar
bantuan keuangan --apa pun bentuknya. Bantuan keuangan hanya
merupakan satu dari sekian bentuk bantuan yang dianjurkan
Islam.1

DARI MANAKAH MEMULAINYA?

Kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan
menumbuhsuburkan aspek-aspek akidah dan etika pada diri
pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir
masyarakat seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi
Muhammad Saw., melalui kepribadian beliau yang sangat
mengagumkan. Pribadi ini melahirkan keluarga seimbang:
Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra', dan
lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar
Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya, yang juga membentuk
keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya
terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan
kesejahteraan sosialnya.

Kesejahteraan sosial dimulai dengan "Islam", yaitu penyerahan
diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Tidak mungkin jiwa akan
merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split
personality):

Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki
oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam
perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik
penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya?
Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).

Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan
Allah --apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal-- adalah
pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu
Allah memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal
mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran
bahwa:

Tiada satu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak
pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di
dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah
bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari kamu,
dan jangan juga terlalu gembira (melampaui batas)
terhadap hal yang diberikannya kepada kamu... (QS
Al-Hadid [57]: 22-23).

Ini dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi,
keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan
yang serasi di antara semua anggota masyarakat, yang salah
satu cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum
diminta oleh yang membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi
kepentingan orang banyak.

Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka
berikan itu) (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Setiap pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan jiwa dan
hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan perhatian
secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik
dari segi jasmani maupun ruhani. Tentunya, tanggung jawab ini
mengandung konsekuensi keuangan dan pendidikan.

Dari sini Al-Quran memerintahkan penyisihan sebagian hasil
usaha untuk menghadapi masa depan. Salah satu penggalan ayat
yang diulang-ulang Al-Quran sebagai tanda orang bertakwa
adalah,

Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka,
mereka nafkahkan (QS Al-Baqarah [2]: 3)

Sebagian lain (yang tidak mereka nafkahkan itu), mereka
tabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan rasa
aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga.

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejabteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar (QS Al-Nisa' [4]: 9).

Dari keluarga, kewajiban beralih kepada seluruh anggota
masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal balik
antara pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap
pribadi. Kewajiban tersebut --sebagaimana halnya setiap
kewajiban-- melahirkan hak-hak tertentu yang sifatnya adalah
keserasian dan keseimbangan di antara keduanya. Sekali lagi
kewajiban dan hak tersebut tidak terbatas pada bentuk
penerimaan maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup
seluruh aspek kehidupan.

Siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka
hendaklah ia meluruskannya dengan tangan. Bila tak
mampu maka dengan lidah, dan bila (inipun) ia tak
mampu, maka dengan hati dan inilah selemah-lemahnya
iman (Diriwayatkan oleh Muslim).

Demikian sabda Nabi Saw. yang pada akhirnya melahirkan pesan,
bahwa, paling tidak, seorang Muslim harus merasakan manis atau
pahitnya sesuatu yang terjadi di dalam masyarakatnya, bukan
bersikap tak acuh dan tak peduli. Terdapat puluhan ayat dan
ratusan hadis yang menekankan keterikatan iman dengan rasa
senasib dan sepenanggungan, di antaranya:

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Mereka
itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi pangan kepada orang miskin (QS
Al-Ma'un [107]: 1-3)

Redaksi ayat di atas bukanlah "tidak memberi makan", melainkan
"tidak menganjurkan memberi pangan". Ini mencerrninkan
kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan memberi, minimal
harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini pun tidak
dilakukannya, sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang
mendustakan agama dan hari pembalasan.

Setiap orang berkewajiban bekerja. Masyarakat atau mereka yang
berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan pekerjaan
untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah
monopoli dilarang-Nya. Jangankan di dalam bidang ekonomi, pada
tempat duduk pun diperintahkan agar memberi peluang dan
kelapangan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kamu, "Berlapang-lapanglah di dalam majelis!", maka
lapangkanlah. Niscaya Allah memberi kelapangan untuk
kamu (QS Al-Mujadilah [58]: 11).

Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan
kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara
tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau
menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka
buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya.
Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat
menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang
mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan
batin yang didambakan (QS Al-Hujurat [49]: 11-12).

Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang
ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang
datang kepada Nabi Saw. mengadukan kemiskinannya, Nabi Saw.
tidak memberinya uang tetapi kapak agar digunakan untuk
mengambil dan mengumpulkan kayu.

Di sisi lain, perlu diingat bahwa Al-Quran menegaskan
perkataan yang baik pada saat menolak, serta memaafkan tingkah
laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik
daripada memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang
menyakitkan.

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik
daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang
menyakitkan (QS Al-Baqarah [2]: 263).

Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al-Quran melarang
beberapa praktik yang dapat mengganggu keserasian hubungan
antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah
[2]: 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar
kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 29). Di samping itu, ditetapkan
bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang
membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun
sedekah (QS Al-Dzariyat [51]: 19).

***

Demikian sekelumit wawasan Al-Quran tentang keadilan dan
kesejahteraan.

Tidak dipungkiri bahwa uraian ini sangat terbatas dibanding
dengan wawasan Al-Quran tentang topik di atas. Namun,
prinsip-prinsip dasar dari wawasan Al-Quran kiranya --melalui
tulisan singkat ini-- telah dapat tercerminkan. []

Catatan kaki:

1 Sayyid Quthb, Dirasat Islamiyah,
Al-Ma'arif, Kairo, 1967, hlm. 63

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Letak Kebahagiaan adalah di Hati dan Bukan pada Banyaknya Harta


Setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia. Namun banyak orang yang menempuh jalan yang salah dan keliru. Sebagian menyangka bahwa kebahagiaan adalah dengan memiliki mobil mewah, Handphone sekelas Blackberry, memiliki rumah real estate, dapat melakukan tur wisata ke luar negeri, dan lain sebagainya. Mereka menyangka bahwa inilah yang dinamakan hidup bahagia. Namun apakah betul seperti itu? Simak tulisan berikut pada link >>
http://rumaysho.com/belajar-islam/manajemen-qolbu/2544-letak-kebahagiaan-adalah-di-hati.html

Berikut sedikit cuplikan dalam artikel tersebut.

Inti dari ini semua adalah letak kebahagiaan bukanlah dengan memiliki istana yang megah, mobil yang mewah, harta yang melimpah. Namun letak kebahagiaan adalah di dalam hati.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kita surga dunia yaitu dengan memiliki hati yang selalu bersandar pada-Nya.

Hati yang selalu merasa cukup itulah yang lebih utama dari harta yang begitu melimpah.

Muhammad Abduh Tuasikal

Popular post

 
Support : Jasa Pembuatan Website | Toko Online | Web Bisnis
Copyright © 2011. Nurul Asri - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger