Latest Post
20.26
Ada baiknya kita
merenung sejenak mengevaluasi apa yang telah kita lakukan dan persiapan untuk menggapai
masa depan yang lebih baik, hal tersebut diisyaratkan oleh Allah Swt.
Dalam firmannya surat al-Hasyr : (59 : 18)
1. Muhasabah
Yaitu evaluasi diri dan meningkatkan kualitas diri dengan selalu mengambil hikmah dari setiap sesuatu yang terjadi dalam diri kita.
2. Mu’ahadah
Yaitu mengingat-ingat kembali janji yang pernah kita katakan. Setiap saat, setiap shalat kita seringkali bersumpah kepada Allah : إيّاك نعبد و إيّاك نستعين
Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolong. Kemudian kita berjanji ; ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين إن صلاتي “Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata karena Allah Rabb semesta alam”. Dengan demikian, ada baiknya kita kembali mengingat-ingat janji dan sumpah kita. Semakin sering kita mengingat janji, insya Allah kita akan senantiasa menapaki kehidupan ini dengan nilai-nilai ketakwaan. Inilah yang disebut dengan mua’ahadah.
3. Mujahadah
Adalah bersungguh-sungguh kepada Allah Swt. Allah menegaskan dalam firmannya : والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا
Orang-orang yang sungguh (mujahadah) dijalan Kami, Kami akan berikan hidayah kejalan kami.
Terkadang kita ibadah tidak dibarengi dengan kesungguhan, hanya menggugurkan kewajiban saja, takut jatuh kedalam dosa dan menapaki kehidupan beragama asal-asalan. Padahal bagi seorang muslim yang ingin menjadi orang-orang yang bertakwa, maka mujahadah atau penuh kesungguhan adalah bagian tak terpisahkan dalam menggapai ketakwaan disamping muhasabah dan mu’ahadah.
4. Muraqabah
Adalah senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt. Inilah diantara pilar ketakwaan yang harus dimiliki setiap kali kita mengawali awal tahun dan menutup tahun yang lalu. Perasaan selalu merasa diawasi oleh Allah dalam bahasa hadisnya adalah Ihsan.
”الإحسان هو أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك"
artinya :“Ihsan adalah engkau senantiasa beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, kalau pun engkau belum bisa melihat-Nya, ketahuilah sesungguhnya Allah melihat kepadamu”.
Muraqabah atau ihsan adalah diantara jalan ketakwaan yang harus kita persiapkan dalam menyongsong dan mengisi lembaran tahun baru.
5. Mu’aqobah
Muhasabah Diri Menggapai Masa Depan
Muhasabah Diri Menggapai Masa Depan
Muhasabah Diri Menggapai Masa Depan |
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri, mengevaluasi kembali apa yang telah dilakukan untuk menata hari esok. Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”.
Menurut tafsir Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi
dalam kitabnya Ruhul Ma'ani :
" setiap perbuatan manusia yang telah
dilakukan pada masa lalu, mencerminkan perbuatan dia untuk persiapan
diakhirat kelak. Karena hidup didunia bagaikan satu hari dan keesokan
harinya merupakan hari akherat, merugilah manusia yang tidak mengetahui
tujuan utamanya".
Jika kita berfikir tujuan utama manusia hidup
didunia ialah mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal yaitu
akherat, lalu sudahkah perbuatan yang telah dilakukan kita merupakan
manifestasi kecintaan kita kepada Allah Swt?.
Cermin yang paling baik
adalah masa lalu, setiap individu memiliki masa lalu yang baik ataupun
buruk, dan sebaik-baik manusia adalah selalu mengevaluasi dengan
bermuhasabah diri dalam setiap perbuatan yang telah ia lakukan.
Sebagaimana pesan Sahabat Nabi Amirul Mukminin Umar bin Khottob :
" حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا "
" Evaluasilah (Hisablah) dirimu sebelum kalian dihisab dihadapan Allah kelak"
Pentingnya
setiap individu menghisab dirinya sendiri untuk selalu mengintrospeksi
tingkat nilai kemanfaatan dia sebagai seorang hamba Allah Swt. yang
segala sesuatunya akan dimintai pertanggungjawabannya diakherat kelak.
Dan sebaik-baik manusia adalah yang dapat mengambil hikmah dari apa yang
telah ia lakukan, lalu menatap hari esok yang lebih baik. Sebagaimana
Dalam sebuah ungkapan yang sangat terkenal Rasulullah Saw bersabda, yang
artinya : “Barang siapa yang hari ini, tahun ini lebih baik dari hari
dan tahun yang lalu, dialah orang yang sukses, tapi siapa yang hari dan
tahun ini sama hari dan tahun kemarin maka dia orang yang tertipu, dan
siapa yang hari dan tahun ini lebih buruk dairpada hari dan tahun
kemarin maka dialah orang yang terlaknat”
Untuk itu, takwa harus
senantiasa menjadi bekal dan perhiasan kita setiap tahun, ada baiknya
kita melihat kembali jalan untuk menuju takwa. Para ulama menyatakan
setidaknya ada lima jalan yang patut kita renungkan mengawali tahun ini
dalam menggapai ketakwaan. Jalan-jalan itu adalah:
1. Muhasabah
Yaitu evaluasi diri dan meningkatkan kualitas diri dengan selalu mengambil hikmah dari setiap sesuatu yang terjadi dalam diri kita.
2. Mu’ahadah
Yaitu mengingat-ingat kembali janji yang pernah kita katakan. Setiap saat, setiap shalat kita seringkali bersumpah kepada Allah : إيّاك نعبد و إيّاك نستعين
Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolong. Kemudian kita berjanji ; ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين إن صلاتي “Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata karena Allah Rabb semesta alam”. Dengan demikian, ada baiknya kita kembali mengingat-ingat janji dan sumpah kita. Semakin sering kita mengingat janji, insya Allah kita akan senantiasa menapaki kehidupan ini dengan nilai-nilai ketakwaan. Inilah yang disebut dengan mua’ahadah.
3. Mujahadah
Adalah bersungguh-sungguh kepada Allah Swt. Allah menegaskan dalam firmannya : والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا
Orang-orang yang sungguh (mujahadah) dijalan Kami, Kami akan berikan hidayah kejalan kami.
Terkadang kita ibadah tidak dibarengi dengan kesungguhan, hanya menggugurkan kewajiban saja, takut jatuh kedalam dosa dan menapaki kehidupan beragama asal-asalan. Padahal bagi seorang muslim yang ingin menjadi orang-orang yang bertakwa, maka mujahadah atau penuh kesungguhan adalah bagian tak terpisahkan dalam menggapai ketakwaan disamping muhasabah dan mu’ahadah.
4. Muraqabah
Adalah senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt. Inilah diantara pilar ketakwaan yang harus dimiliki setiap kali kita mengawali awal tahun dan menutup tahun yang lalu. Perasaan selalu merasa diawasi oleh Allah dalam bahasa hadisnya adalah Ihsan.
”الإحسان هو أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك"
artinya :“Ihsan adalah engkau senantiasa beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, kalau pun engkau belum bisa melihat-Nya, ketahuilah sesungguhnya Allah melihat kepadamu”.
Muraqabah atau ihsan adalah diantara jalan ketakwaan yang harus kita persiapkan dalam menyongsong dan mengisi lembaran tahun baru.
Dulu dimasa sahabat, sikap
muraqabah tertanam dengan baik dihati setiap kaum muslimin. Kita bisa
ambil sebuah contoh kisah. Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab
bertemu dengan seorang anak gembala yang sedang menggembalakan
kambing-kambingnya. Umar berkata kepada anak tersebut: Wahai anak
gembala, juallah kepada saya seekor kambingmu! Si anak gembala menjawab :
Kambing-kambing ini ada pemliknya, saya hanya sekedar menggembalakannya
saja. Umar lalu berkata : Sudahlah, katakan saja kepada tuanmu, mati
dimakan serigala kalau hilang satu tidak akan ketahuan. Dengan tegas si
anak itu menjawab : Jika demikian, dimanakah Allah itu? Umar demi
mendengar jawaban si anak gembala ia pun menangis dan kemudian
memerdekakannya.
Lihatlah, seorang anak gembala yang tidak
berpendidikan dan hidup didalam kelas sosial yang rendah tetapi memiliki
sifat yang sangat mulia yaitu sifat merasa selalu diawasi oleh Allah
dalam segala hal. Itulah yang disebut dengan muraqabah. Muraqabah adalah
hal yang sangat penting ketika kita ingin menjadikan takwa sebagai
bekal hidup kita ditahun ini dan tahun yang akan datang. Jika sikap ini
dimiliki oleh setiap muslim, insya Allah kita tidak akan terjerumus pada
perbuatan maksiat. Imam Ghazali mengatakan : ‘Aku yakin dan percaya
bahwa Allah selalu melihatku maka aku malu berbuat maksiat kepada-Nya”.
5. Mu’aqobah
Artinya,
mencoba memberi sanksi kepada diri manakala diri melakukan sebuah
kekhilafan, memberikan teguran dan sanksi kepada diri kalau diri
melakukan kesalahan. Ini penting dilakukan agar kita senantiasa
meningkatkan amal ibadah kita. Manakala kita terlewat shalat subuh
berjamaah maka hukumlah diri dengan infak disiang hari, misalnya.
Manakala diri terlewat membaca al-Qur’an ‘iqoblah diri dengan memberi
bantuan kepada simiskin. Kalau diri melewatkan sebuah amal shaleh maka
hukumlah diri kita sendiri dengan melakukan amal shaleh yang lain.
Inilah yang disebut mu’aqabah. Jika sikap ini selalu kita budayakan,
insya Allah kita akan selalu mampu meningkatkan kualitas ibadah dan diri
kita.
Mari takwa harus kita jadikan hiasan diri, bekal diri,
dengan menempuh lima cara tadi. Yaitu muhasabah, muahadah, mujahadah,
muraqabah dan mu’aqabah. Evaluasi diri, mengingat-ingat janji diri,
punya kesungguhan diri, selalu merasa diawasi Allah dan memberikan
hukuman terhadap diri kita sendiri. Jika lima hal ini kita jadikan bekal
Insya Allah menapaki hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun
kita akan selalu menapakinya dengan indah dan selalu meningkat kualitas
diri kita, insya Allah.
Label:
artikel
21.02
Gua Hira
Peta Lokasi Gua Hira dan Sekitarnya
Lokasi Gua Hira dan Sekitarnya |
Gua Hira adalah salah satu gua yang terdapat di jabal Nur, perbukitan arah timur laut dari Masjidilharam. Gua ini berada di tebing yang meski tidak teralalu tinggi, tetapi tetap curam. Jalan menuju gua ini sangat sulit dan terjal penuh rintangan, banyak bebatuan besar yang mengapit lokasi gua sehingga setiap orang yang akan menuju gua ini harus memiliki fisik yang kuat. Disekitar gua tersebut tidak ada permukiman dan kehidupan. Disinilah, Rasulullah menyendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah, Zat yang Mahatinggi. Disini pula, beliau menerima wahyu pertama yang disampaikan oleh Jibril.
Setelah wahyu pertama turun, terjadi masa keterputusan wahyu selama beberapa hari lamanya. Beliau sangat ingin agar ketakutan segera sirna, sebagaimana sebelumnya. Akhirnya, Allah mengutus kembali Jibril untuk menyampaikan wahyu yang kedua, yaitu surat Al Muddassir.
Sirah Nabawiyah
Pada usia menginjak 40 tahun, beliau mulai memperbanyak mengasingkan diri menuju dirnya Gua Hira di Jabal Nur. Pada usia matang itu, tanda-tanda kenabian semakin jelas hadirnya mimpi-mimpi yang benar selama enam bulan lamanya. Beliau senantiasa bermimpi melihat cahaya yang terang. Pada Ramadhan tahun ke tiga dari masa mengasingkan diri di Gua Hira, Allah Swt mengangkatnya sebagai Rasul, memuliakan beliau dengan cahaya kenabian, dan menurunkan Jibril untuk menyampaikan wahyu kepadanya, yaitu pada hari Senin, tanggal 21 Ramadhan atau bertepatan dengan 10 Agustus 610M. Usia beliau waktu itu 40 tahun 6 bulan 12 hari menurut perhitungan kalender Hijrah atau 39 tahun 3 bulan 20 hari menurut perhitungan kalender masehi.Setelah wahyu pertama turun, terjadi masa keterputusan wahyu selama beberapa hari lamanya. Beliau sangat ingin agar ketakutan segera sirna, sebagaimana sebelumnya. Akhirnya, Allah mengutus kembali Jibril untuk menyampaikan wahyu yang kedua, yaitu surat Al Muddassir.
Masa Kenabian dan Risalah
Proses turunnya wahyu melalui beberapa cara berikut ini:- Mimpi yang benar, ini merupakan permulaan wahyu turun
- Jibril memasukkan wahyu ke dalam dada dan hati neluri Rasulullah tanpa terlihat
- Jibril mendatangi Rasulullah dengan menjelma sebagai seorang lelaki dan berbicara secara langsung sehingga Rasulullah menyadari dan mengingat semua yang dikatakannya itu. Para sahabat terkadang bisa melihatnya
- Wahyu datang kepada Nabi menyerupai bunyi gemerincing lonceng. Inilah wahyu terberat yang beliau rasakan dan Jibril tidak terlihat oleh pandangan Rasulullah saw
- Nabi melihat Malaikat Jibril dalam rupa yang asli
- Wahyu diturunkan tanpa hijab, sebagaimana yang diwahyukan pada peristiwa Isra Mi'raj
- Allah SWT berfirman secara langsung kepada Rasulullah saw tanpa perantara Jibril
Label:
sejarah
07.02
Belajar Dari Ketabahan dan Rasa Syukur Abu Qilabah
Belajar Dari Ketabahan dan Rasa Syukur Abu Qilabah
Abu Qilabah |
Dalam kitabnya 'Al-Tsiqqat', Ibnu Hibban menceritakan
sebuah petikan kisah yang sangat menyentuh jiwa tentang seorang ulama
angkatan Tabi'in bernama Abdullah Bin Zaid Al-Jurmi, atau yang lebih
dikenal dengan Abu Qilabah. Beliau merupakan salah seorang ulama perawi
Hadits yang wafat di Syam pada sekitar tahun 104 H, yakni di masa
kekuasaan Yazid Bin Abdul Malik. Beliau meriwayatkan hadits di antaranya
dari Anas Bin Malik r.a.
Kisah ini diceritakan oleh Ibnu Hibban dari riwayat Bin Mundzir Bin
Said, dari Ya'kub Bin Ishaq dari Al-Fadhl Bin Isa, dari Baqiyyah Bin
Al-Walid, dari Al-Auza'i, dari Abdullah Bin Muhammad, beliau bercerita
(di sini kita gubah dengan perubahan seperlunya):
Suatu ketika, ketika aku sedang berjaga-jaga di perbatasan, yaitu di sekitar kota Arisy (kota Arisy terdapat di perbatasan antara Mesir dan Negeri Syam, saat ini menjadi salah satu provinsi di Mesir),
aku berjalan-jalan di padang pasir dan menemukan sebuah kemah…
kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua
yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang.
Lebih dekat aku melihat, ternyata orang tua ini kedua tangannya buntung…
matanya buta... Ia tinggal di kemah itu seorang diri, tanpa sanak
saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat.
Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat munjat sebagai berikut:
اللهم أوزعني أن أحمدك حمدا أكافئ به شكر نعمتك التي أنعمت بها علي وفضلتني على كثير ممن خلقت تفضيلا
"Ya Allah, tuntunlah daku agar senantiasa bersyuku atas segala nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku, yang mana Engkau telah melebihkanku di atas kebanyakan manusia"
Aku tertegun mendengar kata-kata dalam munajatnya itu. Bagaimana ia
mengucapkan itu dalam kondisinya yang sangat memprihatinkan ini.
Kuperhatikan keadaannya lebih dekat, ternyata sebagian besar panca
inderanya tak berfungsi... kedua tangannya yang buntung… matanya yang
buta... dan ia tidak memiliki sanak saudara... tiada isteri yang
menemani...
Aku beranjak mendekatinya... Ternyata ia merasakan kehadiranku... Lalu ia bertanya:
“Siapa di sana?"
“Aku orang yang tersesat, lalu berjumpa dengan kemah Tuan ini” jawabku.
Karena penasaran, aku pun bertanya:
"Tuan sendiri, siapa? Mengapa Tuan tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isteri dan keluarga Tuan?" Tanyaku.
“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” Jawabnya.
“Namun kudengar Tuan mengulang-ulang perkataan: “Ya Allah, tuntunlah
daku agar senantiasa bersyuku atas segala nikmat-Mu yang telah Engkau
karuniakan kepadaku, yang mana Engkau telah melebihkanku di atas
kebanyakan manusia". Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan Allah
kepada Tuan? Sedangkan Tuan sendiri buta, miskin papa, bertangan
buntung, dan sebatang kara…?!?”. Ucapku.
“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” Tanyanya.
“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu.” Ujarku.
“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan
tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…
bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami
dan berfikir…?". Tanyanya.
“Betul.” jawabku.
“Berapa banyakkah orang gila di dunia ini?” Dia bertanya.
“Banyak juga.” jawabku.
“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.” Jawabnya.
“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar
adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di
sekelilingku?” Ujarnya kembali.
“Iya benar.” Jawabku.
“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Jawabnya.
“Betapa banyak orang tuli tak mendengar di dunia ini?” Tanyanya.
“Banyak juga…” Jawabku.
“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.
“Bukankah Allah memberiku lisan yang membuatku bisa berdzikir dan bercakap-cakap?” Tanyanya kembali.
“Iya benar” jawabku.
“Lantas berapa banyak orang bisu yang tidak bisa bicara?” Tanyanya.
“Wah, banyak sekali....” Jawabku.
“Maka segala puji bagi Allah yang telah melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Jawabnya.
“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya…
mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?”. Tanyanya.
“Iya benar.” Jawabku.
“Padahal berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib, dan
sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”
“Banyak sekali.” Jawabku.
“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.
Orang tua itu terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya
satu-persatu... dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia
begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah...
Betapa banyak pesakitan selain dia... yang musibahnya tidak sampai
seperempat dari musibah yang ia alami... mereka yang lumpuh, yang
kehilangan penglihatan dan pendengaran, yang kehilangan organ
tubuhnya... tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka
tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan
menangis sejadi-jadinya... mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya
terhadap balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala
tersebut demikian besar…
Aku pun menyelami fikiranku makin jauh... hingga akhirnya khayalanku terputus saat orang tua itu berkata:
“Bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang? Maukah engkau menyanggupinya?”.
“Iya.. apa permintaan Tuan...?”. Kataku.
Orang tua itu pun kemudian menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan
tangis. Lalu ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku
melainkan anakku yang berumur 14 tahun... Dia lah yang selama ini
memberiku makan dan minum, menyiapkan air wudhu serta mengurusi segala
keperluanku... Tapi sejak tadi malam, ia keluar mencari makanan untukku
dan belum kembali hingga sekarang. Aku tak tahu apakah ia masih hidup
dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja...
Dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa
mencarinya... Jadi, sudikan engkau mencari putranku itu?".
Kemudian, aku bertanya kepadanya tentang ciri-ciri anak tersebut, dan ia
pun menceritakannya. Setelah itu, aku pun berangkan mencari anak yang
hilang itu. Sejurus aku bingung saat meninggalkanya, aku tak tahu harus
memulai dari arah mana.
Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar
tentang si anak, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang
tak jauh letaknya dari kemah orang tua itu. Di atas bukit tersebut ada
sekawanan burung yang mengerumuni sesuatu. Dengan segera, terbsesit di
fikiranku bahwa burung tersebut tentu mengerumuni sisa makanan.
Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan burung tadi hingga mereka berhamburan terbang.
Tatkala mendekat, aku terkejut, ternyata anak si bapak tua itu telah
tewas dengan badan terpotong-potong. Rupanya ia telah diterkam oleh
bintang buas dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan
sisanya untuk kawanan burung.
Kesedihanku bertambah-tambah saat aku memikirkan nasib orang tua di
kemah itu... Bagaimana kalau ia tahu bahwa anaknya telah wafat?
Di tengah kebimbangan, aku pun turun dari bukit... melangkahkan kaki
dengan berat menahan kesedihan yang mendalam. Haruskah kutinggalkan si
Tua menghadapi nasibnya sendirian... ataukah kudatangi dia dan
kukabarkan nasib anaknya kepadanya?
Aku berjalan menuju kemah orang tua itu.. aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?
Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyu ‘alaihissalaam... Maka
kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan
seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang
malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya... Ia mendahuluiku
dengan bertanya:
“Bagaimana keadaan anakku?”
Aku menyela:
“Jawablah terlebih dahulu... siapakah yang lebih dicintai Allah: Tuan ataukah Ayyub ‘alaihissalaam?”. Tanyaku
“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.
“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
“Tentu Ayyub...” jawabnya.
"Lalu apa yang dilakukan Nabi Ayyub alahissalam saat mendapat ujian dan musibah dari Allah?.
"Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah". Jawabnya.
“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah... Karena aku mendapati
anak Tuan telah tewas di tengah pasir... Ia diterkam oleh serigala dan
dikoyak-koyak tubuhnya...” jawabku.
Orang tua itu pun tersedak-sedak, seraya berkata, “Laa ilaaha illallaaah...” Dan aku berusaha menghibur dan menyabarkannya... Namun tak lama kemudian ia meninggal dunia.
Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di
bawahnya... Lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku
mengurus jenazahnya.
Tak lama kemudian, datanglah tiga orang yang mengendarai unta mereka...
nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka
datang menghampiriku.
Aku berkata:
“Maukah kalian menerima pahala yang disedikan Allah untuk kalian? Di
sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang
akan mengurusinya... Maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan
menguburkannya?".
“Iya..” Jawab mereka.
Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat orang Tua untuk
memindahkannya. Namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka kaget
dan saling berteriak,
“Abu Qilabah... Abu Qilabah...!!”
Ternyata yang meninggal tersebut adalah Abu Qilabah, salah seorang guru
dan ulama yang mereka hormati. akan tetapi waktu silih berganti dan ia
dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam
sebuah kemah lusuh.
Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya di
perbatasan negeri Syam tersebut, kemudian aku kembali bersama mereka ke
kota Madinah.
Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah... Ia
mengenakan pakaian putih dengan badan yang sempurna. Ia berjalan-jalan
di tanah yang hijau... Maka aku bertanya kepadanya:
“Wahai Abu Qilabah... apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”
Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار"Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu... Maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali".
Label:
kisah
06.59
Sultan, Tangan Anda Harus Dipotong!!!
Sultan, Tangan Anda Harus Dipotong!!!
Sultan Muhammad Al-Fatih |
Syahdan, Sultan Muhammad Al-Fatih dari Dinasti Ottoman di Turki tengah
mengadakan proyek pembangunan masjid di kota Istanbul. Sultan ingin
masjid ini menjadi salah satu ikon kota yang indah. Karenanya, ia
menyewa seorang arsitek handal dari Roma yang bernama Eps Lante untuk menjadi pelaksana proyek.
Salah satu pesan Sultan adalah agar tiang-tiang mesjid itu dibuat dari
mar-mar berkualitas tinggi, dan tiang-tiang itu dibangun tinggi agar
masjid terlihat megah dan menawan dari kejauhan.
Proyek pun dijalankan. Tapi karena suatu dan lain hal, sang arsitek
melaksanakan tidak seperti yang diperintahkan Sultan, terutama tinggi
tiang yang tidak sesuai dengan tinggi yang diinginkan Sultan.
Hal ini pun disampaikan kepada Sultan. Begitu mendengar berita ini,
Sultan langsung marah dan kecewa. Ia tak mampu menahan emosinya karena
sudah menghabiskan banyak biaya untuk proyek ini. Dengan emosi, ia
kemudian memerintahkan pengawalnya untuk memotong tangan sang arsitek!
Setelah marahnya reda, Sultan pun menyesali perintahnya. Tapi tangan sang arsitek sudah dipotong.
Sang arsitek nasrani itu pun tak tinggal diam atas kezaliman yang
menimpanya. Dengan segera, ia datang menghadap ke Pengadilan dan menemui
hakim Istanbul, Shari Khoudry Jalabi. Keadilan sang Hakim ini sudah termasyhur se antero dinasti.
Kepada hakim Shari, Eps Lante menceritakan kezaliman yang ia terima dari Sultan, dan ia memohon keadilan dari hakim.
Tanpa ragu, si hakim pun mengirim juru panggil untuk mendatangkan
Sultan ke Pengadilan atas dasar dakwaan dari seorang rakyatnya!
Pada hari yang sudah ditentukan, Sultan pun tak ragu-ragu mendatangi
pengadilan. Dengan penuh hormat, sang Sultan mendatangi ruang sidang
hakim sebagai pesakitan.
Begitu masuk ke ruang pengadilan, Sultan langsung mencari kursi untuk
duduk. Namun si Hakim mengatakan: “Anda tidak boleh duduk, berdirilah
di samping seperti pendakwa dari Roma ini!“.
Kemudian didengarlah dakwaan dari arsitek tersebut, dan di akhir
dakwaan, ia meminta balasan keadilan dari sang hakim. Di depan hakim,
Sultan pun mengakui perbuatannya.
Setelah dakwaan dan jawaban selesai, kedua orang ini pun terdiam sambil menunggu putusan dari sang pengadilan.
“Sultan, sesuai hukum syariat yang berlaku, tangan anda harus dipotong
sebagai qishash atas perbuatan anda terhadap orang Romawi ini!!!” Ucap
sang hakim tanpa ragu-ragu membacakan putusannya.
Mendengar putusan itu, sang arsitek nasrani itu pun tercengang.
Bagaimana mungkin seorang hakim memutuskan potong tangan terhadap
Sultannya sendiri?? Bagaimana mungkin seorang Sultan Muhammad al-Fatih,
sang penakluk Constantine, yang mendengar namanya saja raja-raja di
Eropa menggigil ketakutan, dihukum sedemikian rupa oleh hakim yang ia
angkat sendiri? EpsLante sendiri tidak mengetahui hukum seperti itu.
Tadinya, ia hanya berharap agar diberi ganti rugi dan saguhati.
Akhirnya, sang arsitek membatalkan dakwaannya. Di depan hakim, ia
mengatakan bahwa memotong tangan Sultan tak akan ada gunanya dan tidak
akan menyelesaikan masalah. Ia berharap diberi ganti rugi saja.
Akhirnya, sang hakim pun memutuskan agar Sultan membayar uang 10 tail
per hari seumur hidup sang arsitek sebagai ganti rugi atas cidera yang
dideritanya. Namun di depan hakim, Sultan berjanji akan memberi sang
arsitek 20 tail per hari sebagai ungkapan rasa penyesalannya!
***
Disadur dari buku: روائع من التاريخ العثماني
Label:
kisah
Popular post
-
Peta Lokasi Perang Badar Perang Badar adalah peperangan yang terjadi di Badar tanggal 17 Ramadhan tahun 2 Hijriah, bertepatan deng...
-
Peta Wilayah Madinah Analisa Peta Madinah (sebelumnya bernama Yatsrib) dikelilingi oleh perkampungan kabilah-kabilah besar...
-
Peta Lokasi Masjidil haram dan Masjidil Aqsha Isra berarti 'diperjalankan pada waktu malam'. Rasulullah dituntun oleh Allah dar...