Latest Post

Muhasabah Diri Menggapai Masa Depan

Muhasabah Diri Menggapai Masa Depan

Muhasabah Diri Menggapai Masa Depan

Ada baiknya kita merenung sejenak mengevaluasi apa yang telah kita lakukan dan persiapan untuk menggapai masa depan yang lebih baik, hal tersebut diisyaratkan oleh Allah Swt. Dalam firmannya surat al-Hasyr : (59 : 18)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri, mengevaluasi kembali apa yang telah dilakukan untuk menata hari esok. Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”.

Menurut tafsir Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma'ani :
" setiap perbuatan manusia yang telah dilakukan pada masa  lalu, mencerminkan perbuatan dia untuk persiapan diakhirat kelak. Karena hidup didunia bagaikan satu hari dan keesokan harinya merupakan hari akherat, merugilah manusia yang tidak mengetahui tujuan utamanya".
Jika kita berfikir tujuan utama manusia hidup didunia ialah mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal yaitu akherat, lalu sudahkah perbuatan yang telah dilakukan kita merupakan manifestasi kecintaan kita kepada Allah Swt?.
Cermin yang paling baik adalah masa lalu, setiap individu memiliki masa lalu yang baik ataupun buruk, dan sebaik-baik manusia adalah selalu mengevaluasi dengan bermuhasabah diri dalam setiap perbuatan yang telah ia lakukan. Sebagaimana pesan Sahabat Nabi Amirul Mukminin Umar bin Khottob :
" حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا "
" Evaluasilah (Hisablah) dirimu sebelum kalian dihisab dihadapan Allah kelak"

Pentingnya setiap individu menghisab dirinya sendiri untuk selalu mengintrospeksi tingkat nilai kemanfaatan dia sebagai seorang hamba Allah Swt. yang segala sesuatunya akan dimintai pertanggungjawabannya diakherat kelak. Dan sebaik-baik manusia adalah yang dapat mengambil hikmah dari apa yang telah ia lakukan, lalu menatap hari esok yang lebih baik. Sebagaimana Dalam sebuah ungkapan yang sangat terkenal Rasulullah Saw bersabda, yang artinya : “Barang siapa yang hari ini, tahun ini lebih baik dari hari dan tahun yang lalu, dialah orang yang sukses, tapi siapa yang hari dan tahun ini sama hari dan tahun kemarin maka dia orang yang tertipu, dan siapa yang hari dan tahun ini lebih buruk dairpada hari dan tahun kemarin maka dialah orang yang terlaknat”

Untuk itu, takwa harus senantiasa menjadi bekal dan perhiasan kita setiap tahun, ada baiknya kita melihat kembali jalan untuk menuju takwa. Para ulama menyatakan setidaknya ada lima jalan yang patut kita renungkan mengawali tahun ini dalam menggapai ketakwaan. Jalan-jalan itu adalah:

1.    Muhasabah

Yaitu evaluasi diri dan meningkatkan kualitas diri dengan selalu mengambil hikmah dari setiap sesuatu yang terjadi dalam diri kita.

2.    Mu’ahadah

Yaitu mengingat-ingat kembali janji yang pernah kita katakan. Setiap saat, setiap shalat kita seringkali bersumpah kepada Allah : إيّاك نعبد و إيّاك نستعين
Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolong. Kemudian kita berjanji ;  ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين  إن صلاتي “Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata karena Allah Rabb semesta alam”. Dengan demikian, ada baiknya kita kembali mengingat-ingat janji dan sumpah kita. Semakin sering kita mengingat janji, insya Allah kita akan senantiasa menapaki kehidupan ini dengan nilai-nilai ketakwaan. Inilah yang disebut dengan mua’ahadah.

3.    Mujahadah
Adalah bersungguh-sungguh kepada Allah Swt. Allah menegaskan dalam firmannya : والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا
Orang-orang yang sungguh (mujahadah) dijalan Kami, Kami akan berikan hidayah kejalan kami.

Terkadang kita ibadah tidak dibarengi dengan kesungguhan, hanya menggugurkan kewajiban saja, takut jatuh kedalam dosa dan menapaki kehidupan beragama asal-asalan. Padahal bagi seorang muslim yang ingin menjadi orang-orang yang bertakwa, maka mujahadah atau penuh kesungguhan adalah bagian tak terpisahkan dalam menggapai ketakwaan disamping muhasabah dan mu’ahadah.

4.    Muraqabah


Adalah senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt. Inilah diantara pilar ketakwaan yang harus dimiliki setiap kali kita mengawali awal tahun dan menutup tahun yang lalu. Perasaan selalu merasa diawasi oleh Allah dalam bahasa hadisnya adalah Ihsan.

”الإحسان هو أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك"
artinya :“Ihsan adalah engkau senantiasa beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, kalau pun engkau belum bisa melihat-Nya, ketahuilah sesungguhnya Allah melihat kepadamu”.

Muraqabah atau ihsan adalah diantara jalan ketakwaan yang harus kita persiapkan dalam menyongsong dan mengisi lembaran tahun baru.

Dulu dimasa sahabat, sikap muraqabah tertanam dengan baik dihati setiap kaum muslimin. Kita bisa ambil sebuah contoh kisah. Suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab bertemu dengan seorang anak gembala yang sedang menggembalakan kambing-kambingnya. Umar berkata kepada anak tersebut: Wahai anak gembala, juallah kepada saya seekor kambingmu! Si anak gembala menjawab : Kambing-kambing ini ada pemliknya, saya hanya sekedar menggembalakannya saja. Umar lalu berkata : Sudahlah, katakan saja kepada tuanmu, mati dimakan serigala kalau hilang satu tidak akan ketahuan. Dengan tegas si anak itu menjawab : Jika demikian, dimanakah Allah itu? Umar demi mendengar jawaban si anak gembala ia pun menangis dan kemudian memerdekakannya.

Lihatlah, seorang anak gembala yang tidak berpendidikan dan hidup didalam kelas sosial yang rendah tetapi memiliki sifat yang sangat mulia yaitu sifat merasa selalu diawasi oleh Allah dalam segala hal. Itulah yang disebut dengan muraqabah. Muraqabah adalah hal yang sangat penting ketika kita ingin menjadikan takwa sebagai bekal hidup kita ditahun ini dan tahun yang akan datang. Jika sikap ini dimiliki oleh setiap muslim, insya Allah kita tidak akan terjerumus pada perbuatan maksiat. Imam Ghazali mengatakan : ‘Aku yakin dan percaya bahwa Allah selalu melihatku maka aku malu berbuat maksiat kepada-Nya”.

5.    Mu’aqobah

Artinya, mencoba memberi sanksi kepada diri manakala diri melakukan sebuah kekhilafan, memberikan teguran dan sanksi kepada diri kalau diri melakukan kesalahan. Ini penting dilakukan agar kita senantiasa meningkatkan amal ibadah kita. Manakala kita terlewat shalat subuh berjamaah maka hukumlah diri dengan infak disiang hari, misalnya. Manakala diri terlewat membaca al-Qur’an ‘iqoblah diri dengan memberi bantuan kepada simiskin. Kalau diri melewatkan sebuah amal shaleh maka hukumlah diri kita sendiri dengan melakukan amal shaleh yang lain. Inilah yang disebut mu’aqabah. Jika sikap ini selalu kita budayakan, insya Allah kita akan selalu mampu meningkatkan kualitas ibadah dan diri kita.
  
Mari takwa harus kita jadikan hiasan diri, bekal diri, dengan menempuh lima cara tadi. Yaitu muhasabah, muahadah, mujahadah, muraqabah dan mu’aqabah. Evaluasi diri, mengingat-ingat janji diri, punya kesungguhan diri, selalu merasa diawasi Allah dan memberikan hukuman terhadap diri kita sendiri. Jika lima hal ini kita jadikan bekal Insya Allah menapaki hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun kita akan selalu menapakinya dengan indah dan selalu meningkat kualitas diri kita, insya Allah.

Gua Hira

Peta Lokasi Gua Hira dan Sekitarnya

Lokasi Gua Hira dan Sekitarnya
Gua Hira adalah salah satu gua yang terdapat di jabal Nur, perbukitan arah timur laut dari Masjidilharam. Gua ini berada di tebing yang meski tidak teralalu tinggi, tetapi tetap curam. Jalan menuju gua ini sangat sulit dan terjal penuh rintangan, banyak bebatuan besar yang mengapit lokasi gua sehingga setiap orang yang akan menuju gua ini harus memiliki fisik yang kuat. Disekitar gua tersebut tidak ada permukiman dan kehidupan. Disinilah, Rasulullah menyendiri untuk mendekatkan diri kepada Allah, Zat yang Mahatinggi. Disini pula, beliau menerima wahyu pertama yang disampaikan oleh Jibril.

Sirah Nabawiyah

Pada usia menginjak 40 tahun, beliau mulai memperbanyak mengasingkan diri menuju dirnya Gua Hira di Jabal Nur. Pada usia matang itu, tanda-tanda kenabian semakin jelas hadirnya mimpi-mimpi yang benar selama enam bulan lamanya. Beliau senantiasa bermimpi melihat cahaya yang terang. Pada Ramadhan tahun ke tiga dari masa mengasingkan diri di Gua Hira, Allah Swt mengangkatnya sebagai Rasul, memuliakan beliau dengan cahaya kenabian, dan menurunkan Jibril untuk menyampaikan wahyu kepadanya, yaitu pada hari Senin, tanggal 21 Ramadhan atau bertepatan dengan 10 Agustus 610M. Usia beliau waktu itu 40 tahun 6 bulan 12 hari menurut perhitungan kalender Hijrah atau 39 tahun 3 bulan 20 hari menurut perhitungan kalender masehi.
Setelah wahyu pertama turun, terjadi masa keterputusan wahyu selama beberapa hari lamanya. Beliau sangat ingin agar ketakutan segera sirna, sebagaimana sebelumnya. Akhirnya, Allah mengutus kembali Jibril untuk menyampaikan wahyu yang kedua, yaitu surat Al Muddassir.

Masa Kenabian dan Risalah

Proses turunnya wahyu melalui beberapa cara berikut ini:
  1. Mimpi yang benar, ini merupakan permulaan wahyu turun
  2. Jibril memasukkan wahyu ke dalam dada dan hati neluri Rasulullah tanpa terlihat
  3. Jibril mendatangi Rasulullah dengan menjelma sebagai seorang lelaki dan berbicara secara langsung sehingga Rasulullah menyadari dan mengingat semua yang dikatakannya itu. Para sahabat terkadang bisa melihatnya
  4. Wahyu datang kepada Nabi menyerupai bunyi gemerincing lonceng. Inilah wahyu terberat yang beliau rasakan dan Jibril tidak terlihat oleh pandangan Rasulullah saw
  5. Nabi melihat Malaikat Jibril dalam rupa yang asli
  6. Wahyu diturunkan tanpa hijab, sebagaimana yang diwahyukan pada peristiwa Isra Mi'raj
  7. Allah SWT berfirman secara langsung kepada Rasulullah saw tanpa perantara Jibril

 

Belajar Dari Ketabahan dan Rasa Syukur Abu Qilabah

Belajar Dari Ketabahan dan Rasa Syukur Abu Qilabah


Abu Qilabah
Dalam kitabnya 'Al-Tsiqqat', Ibnu Hibban menceritakan sebuah petikan kisah yang sangat menyentuh jiwa tentang seorang ulama angkatan Tabi'in bernama Abdullah Bin Zaid Al-Jurmi, atau yang lebih dikenal dengan Abu Qilabah. Beliau merupakan salah seorang ulama perawi Hadits yang wafat di Syam pada sekitar tahun 104 H, yakni di masa kekuasaan Yazid Bin Abdul Malik. Beliau meriwayatkan hadits di antaranya dari Anas Bin Malik r.a.

Kisah ini diceritakan oleh Ibnu Hibban dari riwayat Bin Mundzir Bin Said, dari Ya'kub Bin Ishaq dari Al-Fadhl Bin Isa, dari Baqiyyah Bin Al-Walid, dari Al-Auza'i, dari Abdullah Bin Muhammad, beliau bercerita (di sini kita gubah dengan perubahan seperlunya):

Suatu ketika, ketika aku sedang berjaga-jaga di perbatasan, yaitu di sekitar kota Arisy (kota Arisy terdapat di perbatasan antara Mesir dan Negeri Syam, saat ini menjadi salah satu provinsi di Mesir), aku berjalan-jalan di padang pasir dan menemukan sebuah kemah… kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang.

Lebih dekat aku melihat, ternyata orang tua ini kedua tangannya buntung… matanya buta... Ia tinggal di  kemah itu seorang diri, tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat.

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat munjat sebagai berikut:


اللهم أوزعني أن أحمدك حمدا أكافئ به شكر نعمتك التي أنعمت بها علي وفضلتني على كثير ممن خلقت تفضيلا 
"Ya Allah, tuntunlah daku agar senantiasa bersyuku atas segala nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku, yang mana Engkau telah melebihkanku di atas kebanyakan manusia"
Aku tertegun mendengar kata-kata dalam munajatnya itu. Bagaimana ia mengucapkan itu dalam kondisinya yang sangat memprihatinkan ini. Kuperhatikan keadaannya lebih dekat, ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi... kedua tangannya yang buntung… matanya yang buta... dan ia tidak memiliki sanak saudara... tiada isteri yang menemani...

Aku beranjak mendekatinya... Ternyata ia merasakan kehadiranku... Lalu ia bertanya:

“Siapa di sana?"

“Aku orang yang tersesat, lalu berjumpa dengan kemah Tuan ini” jawabku.

Karena penasaran, aku pun bertanya:

"Tuan sendiri, siapa? Mengapa Tuan tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isteri dan keluarga Tuan?" Tanyaku.

“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” Jawabnya.

“Namun kudengar Tuan mengulang-ulang perkataan: “Ya Allah, tuntunlah daku agar senantiasa bersyuku atas segala nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku, yang mana Engkau telah melebihkanku di atas kebanyakan manusia". Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan Allah kepada Tuan? Sedangkan Tuan  sendiri buta, miskin papa, bertangan buntung, dan sebatang kara…?!?”. Ucapku.

“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” Tanyanya.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu.” Ujarku.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir…?". Tanyanya.

“Betul.” jawabku.

“Berapa banyakkah orang gila di dunia ini?” Dia bertanya.

“Banyak juga.” jawabku.

“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.” Jawabnya.

“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” Ujarnya kembali.

“Iya benar.” Jawabku.

“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Jawabnya.

“Betapa banyak orang tuli tak mendengar di dunia ini?” Tanyanya.

“Banyak juga…” Jawabku.

“Maka segala puji bagi Allah yang  melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.

“Bukankah Allah memberiku lisan yang membuatku bisa berdzikir dan bercakap-cakap?” Tanyanya kembali.

“Iya benar” jawabku.

“Lantas berapa banyak orang bisu yang tidak bisa bicara?” Tanyanya.

“Wah, banyak sekali....” Jawabku.

“Maka segala puji bagi Allah yang  telah melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”  Jawabnya.

“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?”. Tanyanya.

“Iya benar.” Jawabku.

“Padahal berapa banyak orang yang  menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”

“Banyak sekali.” Jawabku.

“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.

Orang tua itu terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu... dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah...

Betapa banyak pesakitan selain dia... yang musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah yang ia alami... mereka yang lumpuh, yang kehilangan penglihatan dan pendengaran, yang kehilangan organ tubuhnya... tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis sejadi-jadinya... mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar…

Aku pun menyelami fikiranku makin jauh... hingga akhirnya khayalanku terputus saat orang tua itu  berkata:

“Bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang? Maukah engkau menyanggupinya?”.

“Iya.. apa permintaan Tuan...?”. Kataku.

Orang tua itu pun kemudian menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis. Lalu ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan anakku yang berumur 14 tahun... Dia lah yang selama ini memberiku makan dan minum, menyiapkan air wudhu serta mengurusi segala keperluanku... Tapi sejak tadi malam, ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga sekarang. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja... Dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya... Jadi, sudikan engkau mencari putranku itu?".

Kemudian, aku bertanya kepadanya tentang ciri-ciri anak tersebut, dan ia pun menceritakannya. Setelah itu, aku pun berangkan mencari anak yang hilang itu. Sejurus aku bingung saat meninggalkanya, aku tak tahu harus memulai dari arah mana.

Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si anak, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah orang tua itu. Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung yang mengerumuni sesuatu. Dengan segera, terbsesit di fikiranku bahwa burung tersebut tentu mengerumuni sisa makanan.

Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan burung tadi hingga mereka berhamburan terbang.

Tatkala mendekat, aku terkejut, ternyata anak si bapak tua itu telah tewas dengan badan terpotong-potong. Rupanya ia telah diterkam oleh bintang buas dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk kawanan burung.

Kesedihanku bertambah-tambah saat aku memikirkan nasib orang tua di kemah itu... Bagaimana kalau ia tahu bahwa anaknya telah wafat?

Di tengah kebimbangan, aku pun turun dari bukit... melangkahkan kaki dengan berat menahan kesedihan yang mendalam. Haruskah kutinggalkan si Tua menghadapi nasibnya sendirian... ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?

Aku berjalan menuju kemah orang tua itu.. aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?

Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyu ‘alaihissalaam... Maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya... Ia mendahuluiku dengan bertanya:

“Bagaimana keadaan anakku?”

Aku menyela:

“Jawablah terlebih dahulu... siapakah yang lebih dicintai Allah: Tuan ataukah Ayyub ‘alaihissalaam?”. Tanyaku

“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.

“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.

“Tentu Ayyub...” jawabnya.

"Lalu apa yang dilakukan Nabi Ayyub alahissalam saat mendapat ujian dan musibah dari Allah?.

"Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah". Jawabnya.

“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah... Karena aku mendapati anak Tuan telah tewas di tengah pasir... Ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya...” jawabku.

Orang tua itu pun tersedak-sedak, seraya berkata, “Laa ilaaha illallaaah...” Dan aku berusaha menghibur dan menyabarkannya... Namun tak lama kemudian ia meninggal dunia.

Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya... Lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya.

Tak lama kemudian, datanglah tiga orang yang mengendarai unta mereka... nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku.

Aku berkata:

“Maukah kalian menerima pahala yang disedikan Allah untuk kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang akan mengurusinya... Maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?".

“Iya..” Jawab mereka.

Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat orang Tua untuk memindahkannya. Namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka kaget dan saling berteriak,

“Abu Qilabah... Abu Qilabah...!!”

Ternyata yang meninggal tersebut adalah Abu Qilabah, salah seorang guru dan ulama yang mereka hormati. akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh.

Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya di perbatasan negeri Syam tersebut,  kemudian aku kembali bersama mereka ke kota Madinah.

Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah... Ia mengenakan pakaian putih dengan badan yang sempurna. Ia berjalan-jalan di tanah yang hijau... Maka aku bertanya kepadanya:

“Wahai Abu Qilabah... apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”

Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار
"Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu... Maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali".

Sultan, Tangan Anda Harus Dipotong!!!

Sultan, Tangan Anda Harus Dipotong!!!

Sultan Muhammad Al-Fatih
Syahdan, Sultan Muhammad Al-Fatih dari Dinasti Ottoman di Turki tengah mengadakan proyek pembangunan masjid di kota Istanbul. Sultan ingin masjid ini menjadi salah satu ikon kota yang indah. Karenanya, ia menyewa seorang arsitek handal dari Roma yang bernama Eps Lante untuk menjadi pelaksana proyek.

Salah satu pesan Sultan adalah agar tiang-tiang mesjid itu dibuat dari mar-mar berkualitas tinggi, dan tiang-tiang itu dibangun tinggi agar masjid terlihat megah dan menawan dari kejauhan.

Proyek pun dijalankan. Tapi karena suatu dan lain hal, sang arsitek melaksanakan tidak seperti yang diperintahkan Sultan, terutama tinggi tiang yang tidak sesuai dengan tinggi yang diinginkan Sultan.

Hal ini pun disampaikan kepada Sultan. Begitu mendengar berita ini, Sultan langsung marah dan kecewa. Ia tak mampu menahan emosinya karena sudah menghabiskan banyak biaya untuk proyek ini. Dengan emosi, ia kemudian memerintahkan pengawalnya untuk memotong tangan sang arsitek!

Setelah marahnya reda, Sultan pun menyesali perintahnya. Tapi tangan sang arsitek sudah dipotong.

Sang arsitek nasrani itu pun tak tinggal diam atas kezaliman yang menimpanya. Dengan segera, ia datang menghadap ke Pengadilan dan menemui hakim Istanbul, Shari Khoudry Jalabi. Keadilan sang Hakim ini sudah termasyhur se antero dinasti.

Kepada hakim Shari, Eps Lante menceritakan kezaliman yang ia terima dari Sultan, dan ia memohon keadilan dari hakim.

Tanpa ragu, si hakim pun mengirim juru panggil untuk mendatangkan  Sultan ke Pengadilan atas dasar dakwaan dari seorang rakyatnya!

Pada hari yang sudah ditentukan, Sultan pun tak ragu-ragu mendatangi pengadilan. Dengan penuh hormat, sang Sultan mendatangi ruang sidang hakim  sebagai pesakitan.

Begitu masuk ke ruang pengadilan, Sultan langsung mencari kursi untuk duduk.  Namun si Hakim mengatakan: “Anda tidak boleh duduk, berdirilah di samping seperti pendakwa dari Roma ini!“.

Kemudian didengarlah dakwaan dari arsitek tersebut, dan di akhir dakwaan, ia meminta balasan keadilan dari sang hakim. Di depan hakim, Sultan pun mengakui perbuatannya.

Setelah dakwaan dan jawaban selesai, kedua orang ini pun terdiam sambil menunggu putusan dari sang pengadilan.

“Sultan, sesuai hukum syariat yang berlaku, tangan anda harus dipotong sebagai qishash atas perbuatan anda terhadap orang Romawi ini!!!” Ucap sang hakim tanpa ragu-ragu membacakan putusannya.

Mendengar putusan itu, sang arsitek nasrani itu pun tercengang. Bagaimana mungkin seorang hakim memutuskan potong tangan terhadap Sultannya sendiri?? Bagaimana mungkin seorang Sultan Muhammad al-Fatih, sang penakluk Constantine, yang mendengar namanya saja raja-raja di Eropa menggigil ketakutan, dihukum sedemikian rupa oleh hakim yang ia angkat sendiri? EpsLante sendiri tidak mengetahui hukum seperti itu. Tadinya, ia hanya berharap agar diberi ganti rugi dan saguhati.

Akhirnya, sang arsitek membatalkan dakwaannya. Di depan hakim, ia mengatakan bahwa memotong tangan Sultan tak akan ada gunanya dan tidak akan menyelesaikan masalah. Ia berharap diberi ganti rugi saja.

Akhirnya, sang hakim pun memutuskan agar Sultan membayar uang 10 tail per hari seumur hidup sang arsitek sebagai ganti rugi atas cidera yang dideritanya. Namun di depan hakim, Sultan berjanji akan memberi sang arsitek 20 tail per hari sebagai ungkapan rasa penyesalannya!
***

Disadur dari buku: روائع من التاريخ العثماني

Popular post

 
Support : Jasa Pembuatan Website | Toko Online | Web Bisnis
Copyright © 2011. Nurul Asri - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger