Home » » Masjid Hudaibiyah

Masjid Hudaibiyah

Dengan perjanjian ini, Rasulullah bisa melakukan dakwah dengan leluasa. 

Masjid Hudaibiyah
Hudaibiyah merupakan kota yang berada di sekitar 26 kilometer dari Masjidil Haram. Saat ini, kawasan tersebut juga dikenal sebagai daerah perbatasan Tanah Haram sehingga sering dijadikan tempat miqat umat Islam yang melaksanakan ibadah haji atau umrah.
Nama Hudaibiyah sebenarnya diambil dari nama telaga, yang juga dikenal dengan sebutan telaga Asy-Syumaisi. Sejarah Islam menyebutkan, Hudaibiyah menjadi pintu masuk kecemerlangan kaum Muslimin dalam menaklukkan Kota Makkah (Fathul Makkah). Di kota ini, Rasulullah SAW dan kaum Quraisy Makkah membuat perjanjian untuk saling tidak menyerang, yang kemudian membuka peluang umat Islam Madinah untuk mengislamkan pendudukan Kota Makkah.

Kisah tersebut berlangsung pada bulan Dzulqaidah tahun 6 Hijriah saat umat Islam Madinah yang terdiri atas kaum Muhajirin dan Anshar berencana akan melakukan umrah di Baitullah. Keputusan melakukan umrah ini diawali dari mimpi Rasulullah SAW yang menggambarkan beliau serta sahabat-sahabatnya bisa masuk ke Masjidil Haram dan melakukan umrah dengan aman.

Hal ini kemudian tertuang dalam Alquran yang menyebutkan, Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya, (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, mencukur rambut dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (QS Al-Fath: 27)

Mendapat wahyu ini, Rasulullah kemudian memerintahkan umat Islam Madinah bersiap-siap pergi ke Makkah untuk melakukan umrah. Bukan untuk menantang kaum Quraisy berperang. Umat Islam Madinah pun menyambut perintah Rasulullah dengan sukacita  karena sudah enam tahun mereka tidak bisa melepaskan kerinduan bersimpuh di Baitullah.

Saat itu, kaum Muslimin yang berjumlah 1.500 orang itu berangkat tanpa membawa persiapan untuk perang, kecuali perbekalan dan senjata yang biasa dibawa kafilah dagang untuk melindungi diri dari perampok.
Namun, ketika rombongan Rasulullah sampai di Asfan, mereka didatangi seseorang yang mengabarkan kaum Quraisy sudah menyiapkan pasukan untuk berperang. Mendapat informasi tersebut, Nabi Muhammad SAW mencoba menghindari pertumpahan darah dengan menempuh jalur diplomasi.
Nabi SAW kemudian mengutus Usman Bin Affan untuk berunding dengan kaum Quraisy. Namun ternyata, Usman ditahan pihak Quraisy tidak bisa kembali ke rombongan. Kabar ini membuat para sahabat bersumpah untuk memerangi kaum kafir Quraisy sampai titik darah penghabisan.
Sumpah ini diikrarkan pada sahabat Nabi di hadapan Rasulullah di bawah sebuah pohon di tepi telaga. Salah satu dahan pohonnya dipegangi oleh Ma’qil bin Yasir, sedangkan Umar Bin Khattab memegangi tangan Rasulullah. Bai’at ini dikenal sebagai Bai’at Ar Ridhwan, seperti tertulis dalam Alquran Surat Al Fath: Bahwasannya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah…” (QS Al Fath: 10) dan  Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon…” (QS Al Fath:18).

Sumpah setia tersebut rupanya membuat kaum Quraisy gentar dan akhirnya melepaskan Usman. Bahkan, kaum Quraisy akhirnya bersedia berunding sehingga Rasulullah mengirim Suhail bin Amar sebagai utusan.
Dalam perundingan tersebut, kedua belah pihak mencapai beberapa kesepakatan yang kemudian disebut sebagai perjanjian Hudaibiyah. Isi perjanjian, antara lain, kaum Muslimin bersedia menunda umrah ke Baitullah hingga tahun depan. Dan saat umrah dilakukan, kaum Muslim hanya diizinkan membawa senjata yang biasa dibawa seorang musafir, yaitu sebatang tombak dan sebilah pedang yang disarungkan.
Selain itu, antarkedua belah pihak juga sepakat melakukan perdamaian melalui gencatan senjata selama 10 tahun. Sementara itu, jika kaum Muslimin datang ke Makkah, pihak Quraisy tidak berkewajiban mengembalikan orang itu ke Madinah. Sedangkan jika penduduk Makkah datang kepada Rasulullah di Madinah, kaum Muslimin harus mengembalikan orang tersebut ke Makkah.
Rasulullah dapat menyetujui syarat-syarat dan ketentuan itu, tetapi para sahabat sempat menyatakan keberatan. Di antara sahabat Nabi  yang tidak bisa menerima kesepakatan itu adalah Umar bin Khattab. Mendapat penolakan itu Rasulullah bersabda, Aku ini adalah Rasulullah dan tentu Dia tidak akan membinasakanku.”

Kendati perjanjian Hudaibiyah sepertinya merugikan kaum Muslim, namun dari perjanjian inilah Rasulullah SAW dapat mengembangkan dakwah hingga ke Hudaibiyah. Bahkan, selama masa gencatan senjata, Nabi bisa melakukan dakwah dengan leluasa, bahkan menyampaikan pesan Islam pada Kaisar Romawi, Raja Habsyah (Ethiopia), Raja Mesir, dan Raja Parsi.

Peristiwa ini disebut oleh Alquran dengan istilah Fathun Mubiinun (kemenangan nyata), sebagaimana termaktub dalam surat Al-Fath ayat 1 sampai 3. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu ke jalan yang lurus. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kokoh (banyak).” (QS. Al-Fath 1-3).
Selama perjanjian Hudaibiyah, kaum Muslim juga bisa membangun masjid yang disebut Masjid Bai’ah Ar Ridhwan. Masjid ini terletak sekitar 2 kilometer dari pintu masuk Kota Makkah. Sekarang, masjid tersebut sudah tinggal puing, hanya menyisakan pondasi masjid. Namun di sampingnya, berdiri masjid baru bernama Masjid Asy-Syumaisi. Pemerintah Arab Saudi tidak melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut karena dikhawatirkan berkembang menjadi bid’ah dan syirik.
Selain itu, kawasan Hudaibiyah kini juga sudah berkembang menjadi kawasan permukiman. Di sepanjang jalan dari Makkah ke Hudaibiyah, akan terlihat peternakan onta dan domba, di sela-sela pegunungan dan bukit pasir. Pemerintah Arab Saudi sedang intensif mengembangkan daerah ini sebagai kawasan peternakan onta dan kibas (kambing).

Di Hudaibiyah ini, jamaah haji yang melakukan ziarah, juga bisa melihat pemerahan susu unta sekaligus mencicipinya. Lokasi pemerahan berada di sisi kiri jalan, di areal padang pasir. Di padang pasir ini, ada beberapa peternak di mana masing-masing peternak memelihara  8-10 ekor unta, yang biasanya terdiri atas 7 ekor unta betina dan 4 anak unta.
Di setiap peternakan ini, biasanya sudah disiapkan meja yang di atasnya sudah diletakkan jejeran botol berisi susu unta murni. Harga per botolnya relatif murah, hanya 5 riyal (satu riyal sekitar Rp 2.700). Pekerja peternakan yang biasanya berasal dari Sudan biasanya

- See more at: http://www.jurnalhaji.com/wijhat/tempat-bersejarah/hudaibiyah-pintu-kemenangan-umat-islam/#sthash.bOIETf7f.dpuf



Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Jasa Pembuatan Website | Toko Online | Web Bisnis
Copyright © 2011. Nurul Asri - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger