Home » » AHL AL-KITAB (1/4)

AHL AL-KITAB (1/4)

Berbicara mengenai wawasan Al-Qur'an tentang suatu masalah
tidak akan sempurna, bahkan boleh jadi keliru, jika
pandangan hanya tertuju kepada satu dua ayat yang berbicara
menyangkut hal tersebut. Karena cara demikian akan
melahirkan pandangan parsial yang tidak sejalan dengan
tujuan pemahaman wawasan, lebih-lebih bila analisis
dilakukan terlepas dari konteks (munasabah) ayat, sejarah,
asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat), penjelasan
Nabi (As-Sunnah), dan sebagainya, yang dihimpun oleh
pakar-pakar Al-Qur'an dengan istilah pendekatan "tematis"
(maudhu'i).

Bahasan ini mencoba menerapkan metode tersebut, walaupun
dalam bentuk yang terbatas - karena penerapannya secara
sempurna membutuhkan waktu yang tidak singkat, rujukan yang
memadai, serta kemampuan analisis yang dalam. Namun
demikian, keterbatasan di atas, akan diusahakan untuk
ditutupi dengan menyajikan pandangan beberapa pakar
berkompeten dalam bidang Al-Qur'an.

ISTILAH-ISTILAH AL-QUR'AN

Salah satu keistimewaan Al-Qur'an adalah ketelitian
redaksinya. Tidak heran, karena redaksi tersebut bersumber
langsung dari Allah swt. Hal ini perlu digarisbawahi, bukan
saja karena sekian banyak ulama melakukan analisis
kebahasaan dalam mengemukakan dan atau menolak satu
pendapat, tetapi juga karena Kitab Suci ini menggunakan
beberapa istilah yang berbeda ketika menunjuk kepada orang
Yahudi dan Nasrani, dua kelompok masyarakat yang minimal
disepakati oleh seluruh ulama sebagai Ahl Al-Kitab.

Selain istilah Ahl Al-Kitab, Al-Qur'an juga menggunakan
istilah Utu Al-Kitab, Utu nashiban minal kitab, Al-Yahud,
Al-Ladzina Hadu, Bani Israil, An Nashara, dan istilah
lainnya.

Kata Ahl Al-Kitab terulang di dalam Al-Qur'an sebanyak tiga
puluh satu kali, Utu Al-Kitab delapan belas kali, Utu
nashiban minal kitab tiga kali, Al-Yahud delapan kali,
Al-Ladzina Hadu sepuluh kali, An-Nashara empat belas kali,
dan Bani/Banu Isra'il empat puluh satu kali

Kesan umum diperoleh bahwa bila Al-Qur'an menggunakan kata
Al-Yahud maka isinya adalah kecaman atau gambaran negatif
tentang mereka. Perhatikan misalnya firman-Nya tentang
kebencian orang Yahudi terhadap kaum Muslim (QS Al-Maidah
[5]: 82), atau ketidakrelaan orang-orang Yahudi dan Nasrani
terhadap kaum Muslim sebelum umat Islam mengikuti mereka (QS
Al-Baqarah [2]: 120), atau pengakuan mereka bahwa orang
Yahudi dan Nasrani adalah putra-putra dan kinasih Allah (QS
Al-Ma-idah [5]: 18), atau pernyataan orang Yahudi bahwa
tangan Allah terbelenggu (kikir) (QS Al-Maidah [5]: 64), dan
sebagainya. Bila Al-Qur'an menggunakan Al-Ladzina Hadu, maka
kandungannya ada yang berupa kecaman, misalnya terhadap
mereka yang mengubah arti kata-kata atau mengubah dan
menguranginya (QS Al-Nisa, [41]: 46), atau bahwa mereka
tekun mendengar (berita kaum Muslim) untuk menyebarluaskan
kebohongan (QS Al-Maidah [5]: 41), dan ada juga yang
bersifat netral, seperti janji bagi mereka yang beriman
dengan benar untuk tidak akan mengalami rasa takut atau
sedih (QS Al-Baqarah [2]: 62).

Kata Nashara sama penggunaannya dengan Al-Ladzina Hadu,
terkadang digunakan dalam konteks positif dan pujian,
misalnya surat Al-Maidah [5]: 82 yang menjelaskan tentang
mereka yang paling akrab persahabatannya dengan orang-orang
Islam; dan di kali lain dalam konteks kecaman, seperti dalam
surat Al-Baqarah [2]: 120 yang berbicara tentang
ketidakrelaan mereka terhadap orang Islam sampai kaum Muslim
mengikuti mereka. Dalam kesempatan lain kandungannya
bersifat netral: bukan kecaman bukan pula pujian, seperti
dalam surat Al-Hajj [22]; 17 yang membicarakan tentang
putusan Tuhan yang adil terhadap mereka dan
kelompok-kelompok lain, kelak di hari kemudian. Dengan
demikian, kita dapat mengatakan bahwa bila Al-Qur'an
menggunakan Al-Yahud, maka pasti ayat tersebut berupa
kecaman atas sikap-sikap buruk mereka, dan jika menggunakan
kata Nashara, maka ia belum tentu bersikap kecaman, sama
halnya dengan Al-Ladzina Hadu.

Agaknya ini sebabnya sehingga surat Al-Baqarah [2]: 120 yang
berbunyi "Lan tardha 'ankal-Yahud wa lan Nashara hatta
tattabi'a millatahum (orang Yahudi dan Nasrani tidak akan
rela kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti
agama/tatacara mereka," menggunakan kata "lan" terhadap
orang Yahudi, dan kata "la" terhadap orang Nasrani. Menurut
pakar-pakar bahasa Al-Qur'an, antara lain Az-Zarkasyi dalam
bukunya Al-Burhan, kata "lan" digunakan untuk menafikan
sesuatu di masa datang, dan penafian tersebut lebih kuat
dari "la" yang digunakan untuk menafikan sesuatu, tanpa
mengisyaratkan masa penafian itu, sehingga boleh saja ia
terbatas untuk masa lampau, kini, atau masa datang.

Ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang
itu Yahudi (Ingat bukan Al-Ladzina Hadu atau Ahl Al-Kitab),
maka ia pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga
umat Islam mengikuti agama/tatacara mereka. Dalam arti,
menyetujui sikap dan tindakan serta arah yang mereka tuju.

Mufasir besar Ar-Razi mengemukakan bahwa maksud ayat ini
adalah menjelaskan:

"Keadaan mereka dalam bersikeras berpegang pada kebatilan
mereka, dan ketegaran mereka dalam kekufuran, bahwa mereka
itu juga (di samping kekufuran itu) berkeinginan agar
diikuti millat mereka. Mereka tidak rela dengan kitab (suci
yang dibawa beliau), bahkan mereka berkeinginan (memperoleh)
persetujuan beliau menyangkut keadaan mereka. Dengan
demikian (Allah) menjelaskan kerasnya permusuhan mereka
terhadap Rasul, serta menerangkan situasi yang mengakibatkan
keputusasaan tentang persetujuan mereka (menganut Islam)."

Syaikh Muhammad Thahir bin Asyur dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa kalimat hatta tattabi'a millatahum (sampai engkau
mengikuti agama mereka) adalah:

Kinayat (kalimat yang mengandung makna bukan sesuai bunyi
teksnya) keputusasaan (tidak adanya kemungkinan) bagi orang
Yahudi dan Nasrani untuk memeluk Islam ketika itu, karena
mereka tidak rela kepada Rasul kecuali (kalau Rasul)
mengikuti agama/tatacara mereka. Maka ini berarti bahwa
mereka tidak mungkin akan mengikuti agama beliau; dan karena
keikutan Nabi pada ajaran mereka merupakan sesuatu yang
mustahil, maka kerelaan mereka terhadap beliau (Nabi) pun
demikian. Ini sama dengan (firman-Nya):

"hingga masuk ke lubang jarum" (QS Al-A'raf [7]: 40)

dan (firman-Nya),

"Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu
bukan penyembah (Tuhan) yang aku sembah" (QS Al-Kafirun
[109]: 2-3).

Dalam uraian Syaikh Fadhil di atas ditemukan kalimat "ketika
itu" untuk menjelaskan bahwa keputusasaan tersebut hanya
ditekankan oleh ayat ini pada Al-Yahud wan-Nashara tertentu
ketika itu, bukan terhadap mereka semua, karena kenyataan
menunjukkan bahwa setelah turunnya ayat ini ada di antara
Ahl Al-Kitab yang memeluk agama Islam. Pengertian tersebut
sama dengan firman-Nya dalam surat Yasin [36]: 10:

"Sama saja bagi mereka: apakah kamu memberi peringatan
kepada mereka, ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada
mereka, mereka tidak akan beriman."

Yang dimaksud di sini adalah orang-orang kafir tertentu
ketika itu (pada masa Nabi), bukan seluruh orang kafir
karena kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar dari
orang kafir pada masa Nabi, pada akhirnya memeluk Islam.
Arti surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas perlu ditegaskan,
karena sering tertadi kesalahpahaman tentang maknanya. Dan
juga sebagaimana diketahui, Yudaisme bukanlah agama dakwah,
bahkan mereka cenderung eksklusif dalam bidang agama dan
orang lain cenderung enggan menganut agamanya. Di sisi lain,
seperti dikemukakan dalam riwayat-riwayat, sebab turunnya
surat Al-Baqarah [2]: 120 di atas berkenaan dengan
pemindahan kiblat shalat kaum Muslim ke arah Ka'bah, yang
ditanggapi oleh non-Muslim dengan sinis, karena ketika itu
kaum Yahudi Madinah dan kaum Nasrani Najran mengharapkan
agar Nabi dan kaum Muslim mengarahkan shalat mereka ke
kiblat mereka. Demikian pendapat Ibnu Abbas sebagaimana
dikemukakan oleh As-Sayuthi dalam kaxyanya Ashab Al-Nuzul

Penafian Al-Qur'an terhadap An-Nashara, tidak setegas
penafiannya terhadap Al-Yahud, sehingga boleh jadi tidak
semua mereka bersikap demikian. Boleh jadi juga kini dan di
masa lalu demikian, tetapi masa datang tidak lagi. Walhasil
penggunaan kata "la" buat mereka tidak setegas penggunaan
kata "lan" untuk orang Yahudi.

Dengan merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata Ahl
Al-Kitab, ditemukan bahwa pembicaraan Al-Qur'an tentang
mereka berkisar pada uraian tentang sikap dan sifat mereka -
positif dan negatif serta sikap yang hendaknya diambil oleh
kaum Muslim terhadap mereka.

SIFAT DAN SIKAP AHL AL-KITAB

Al-Qur'an banyak berbicara tentang sifat dan sikap Ahl
Al-Kitab terhadap kaum Muslim, dan berbicara tentang
keyakinan dan sekte mereka yang beraneka ragam. Surat
An-Nisa, [4]: 171 dan Al-Ma-idah [5]: 77 mengisyaratkan
bahwa mereka memiliki paham keagamaan yang ekstrem.

"Wahai Ahl Al-Kitab, jangan melampaui batas dalam agamamu,
dan jangan mengatakan terhadap Allah kecuali yang hak" {QS
Al-Nisa, [4]: 171).

Mereka juga dinilai oleh Al-Qur'an sebagai telah mengkufuri
ayat-ayat Allah, serta mengingkari kebenaran (kenabian
Muhammad saw).

"Wahai Ahl Al-Kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat
Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya)? Hai Ahl
Al-Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang
batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu
mengetahui?" (QS Ali 'Imran [3]: 70-71).

Nabi Muhammad saw. diperintahkan oleh Allah untuk
menyampaikan kepada mereka:

Katakanlah: "Hai Ahl Al-Kitab, apakah kamu memandang kami
salah hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa
yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan
sebelumnya, sedang banyak di antara kamu benar-benar
orang-orang yang fasik?" (QS Al-Ma-idah [5]: 59).

Bahkan Allah Swt. secara langsung dan berkali-kali
mengingatkan kaum Muslim untuk tidak mengangkat mereka
sebagai pemimpin-pemimpin atau teman-teman akrab atau tempat
menyimpan rahasia.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orany-orang yang zalim" (QS
Al-Ma-idah [5]: 51).

Dalam QS Ali 'Imran [3]: 118 kaum Muslim diingatkan untuk
tidak menjadikan orang-orang di luar kalangan Muslim sebagai
bithanah (teman-teman tempat menyimpan rahasia) dengan
alasan bahwa:

"... mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kerugian bagi
kamu (kaum Muslim). Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka sedang apa
yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Kami
telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda (siapa kawan dan
siapa lawan), jika kalian memahaminya." (QS Ali 'Imran [3]:
118).

Terhadap merekalah Nabi saw. bersabda,

"Jangan memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan
jangan pula pada Nasrani. Kalau kamu menemukan salah seorang
di antara mereka di jalan, maka desaklah ia ke pinggiran"
(HR Muslim melalui Abu Hurairah).

Sahabat dan pembantu Nabi saw., Anas bin Malik, berkata
bahwa Nabi saw. bersabda,

"Apabila Ahl Al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka
katakanlah, Wa 'alaikum" (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam buku Dalil Al-Falihin dikemukakan bahwa para ulama
berbeda pendapat tentang hukum memulai ucapan salam kepada
orang-orang kafir. Mayoritas melarangnya tetapi banyak juga
yang membolehkan antara lain sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Namun
apabila mereka mengucapkan salam, maka adalah wajib hukumnya
bagi kaum Muslim untuk menjawab salam itu. Ulama sepakat
dalam hal ini.
(bersambung ke 2/4)



WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Jasa Pembuatan Website | Toko Online | Web Bisnis
Copyright © 2011. Nurul Asri - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger