Home » » Belajar Dari Ketabahan dan Rasa Syukur Abu Qilabah

Belajar Dari Ketabahan dan Rasa Syukur Abu Qilabah

Belajar Dari Ketabahan dan Rasa Syukur Abu Qilabah


Abu Qilabah
Dalam kitabnya 'Al-Tsiqqat', Ibnu Hibban menceritakan sebuah petikan kisah yang sangat menyentuh jiwa tentang seorang ulama angkatan Tabi'in bernama Abdullah Bin Zaid Al-Jurmi, atau yang lebih dikenal dengan Abu Qilabah. Beliau merupakan salah seorang ulama perawi Hadits yang wafat di Syam pada sekitar tahun 104 H, yakni di masa kekuasaan Yazid Bin Abdul Malik. Beliau meriwayatkan hadits di antaranya dari Anas Bin Malik r.a.

Kisah ini diceritakan oleh Ibnu Hibban dari riwayat Bin Mundzir Bin Said, dari Ya'kub Bin Ishaq dari Al-Fadhl Bin Isa, dari Baqiyyah Bin Al-Walid, dari Al-Auza'i, dari Abdullah Bin Muhammad, beliau bercerita (di sini kita gubah dengan perubahan seperlunya):

Suatu ketika, ketika aku sedang berjaga-jaga di perbatasan, yaitu di sekitar kota Arisy (kota Arisy terdapat di perbatasan antara Mesir dan Negeri Syam, saat ini menjadi salah satu provinsi di Mesir), aku berjalan-jalan di padang pasir dan menemukan sebuah kemah… kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang.

Lebih dekat aku melihat, ternyata orang tua ini kedua tangannya buntung… matanya buta... Ia tinggal di  kemah itu seorang diri, tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat.

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat munjat sebagai berikut:


اللهم أوزعني أن أحمدك حمدا أكافئ به شكر نعمتك التي أنعمت بها علي وفضلتني على كثير ممن خلقت تفضيلا 
"Ya Allah, tuntunlah daku agar senantiasa bersyuku atas segala nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku, yang mana Engkau telah melebihkanku di atas kebanyakan manusia"
Aku tertegun mendengar kata-kata dalam munajatnya itu. Bagaimana ia mengucapkan itu dalam kondisinya yang sangat memprihatinkan ini. Kuperhatikan keadaannya lebih dekat, ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi... kedua tangannya yang buntung… matanya yang buta... dan ia tidak memiliki sanak saudara... tiada isteri yang menemani...

Aku beranjak mendekatinya... Ternyata ia merasakan kehadiranku... Lalu ia bertanya:

“Siapa di sana?"

“Aku orang yang tersesat, lalu berjumpa dengan kemah Tuan ini” jawabku.

Karena penasaran, aku pun bertanya:

"Tuan sendiri, siapa? Mengapa Tuan tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isteri dan keluarga Tuan?" Tanyaku.

“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” Jawabnya.

“Namun kudengar Tuan mengulang-ulang perkataan: “Ya Allah, tuntunlah daku agar senantiasa bersyuku atas segala nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku, yang mana Engkau telah melebihkanku di atas kebanyakan manusia". Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan Allah kepada Tuan? Sedangkan Tuan  sendiri buta, miskin papa, bertangan buntung, dan sebatang kara…?!?”. Ucapku.

“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” Tanyanya.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu.” Ujarku.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir…?". Tanyanya.

“Betul.” jawabku.

“Berapa banyakkah orang gila di dunia ini?” Dia bertanya.

“Banyak juga.” jawabku.

“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia.” Jawabnya.

“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” Ujarnya kembali.

“Iya benar.” Jawabku.

“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Jawabnya.

“Betapa banyak orang tuli tak mendengar di dunia ini?” Tanyanya.

“Banyak juga…” Jawabku.

“Maka segala puji bagi Allah yang  melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.

“Bukankah Allah memberiku lisan yang membuatku bisa berdzikir dan bercakap-cakap?” Tanyanya kembali.

“Iya benar” jawabku.

“Lantas berapa banyak orang bisu yang tidak bisa bicara?” Tanyanya.

“Wah, banyak sekali....” Jawabku.

“Maka segala puji bagi Allah yang  telah melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”  Jawabnya.

“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?”. Tanyanya.

“Iya benar.” Jawabku.

“Padahal berapa banyak orang yang  menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”

“Banyak sekali.” Jawabku.

“Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.” Katanya.

Orang tua itu terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu... dan aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah...

Betapa banyak pesakitan selain dia... yang musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah yang ia alami... mereka yang lumpuh, yang kehilangan penglihatan dan pendengaran, yang kehilangan organ tubuhnya... tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis sejadi-jadinya... mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar…

Aku pun menyelami fikiranku makin jauh... hingga akhirnya khayalanku terputus saat orang tua itu  berkata:

“Bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang? Maukah engkau menyanggupinya?”.

“Iya.. apa permintaan Tuan...?”. Kataku.

Orang tua itu pun kemudian menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis. Lalu ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan anakku yang berumur 14 tahun... Dia lah yang selama ini memberiku makan dan minum, menyiapkan air wudhu serta mengurusi segala keperluanku... Tapi sejak tadi malam, ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga sekarang. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja... Dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya... Jadi, sudikan engkau mencari putranku itu?".

Kemudian, aku bertanya kepadanya tentang ciri-ciri anak tersebut, dan ia pun menceritakannya. Setelah itu, aku pun berangkan mencari anak yang hilang itu. Sejurus aku bingung saat meninggalkanya, aku tak tahu harus memulai dari arah mana.

Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si anak, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah orang tua itu. Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung yang mengerumuni sesuatu. Dengan segera, terbsesit di fikiranku bahwa burung tersebut tentu mengerumuni sisa makanan.

Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan burung tadi hingga mereka berhamburan terbang.

Tatkala mendekat, aku terkejut, ternyata anak si bapak tua itu telah tewas dengan badan terpotong-potong. Rupanya ia telah diterkam oleh bintang buas dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk kawanan burung.

Kesedihanku bertambah-tambah saat aku memikirkan nasib orang tua di kemah itu... Bagaimana kalau ia tahu bahwa anaknya telah wafat?

Di tengah kebimbangan, aku pun turun dari bukit... melangkahkan kaki dengan berat menahan kesedihan yang mendalam. Haruskah kutinggalkan si Tua menghadapi nasibnya sendirian... ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?

Aku berjalan menuju kemah orang tua itu.. aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?

Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyu ‘alaihissalaam... Maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya... Ia mendahuluiku dengan bertanya:

“Bagaimana keadaan anakku?”

Aku menyela:

“Jawablah terlebih dahulu... siapakah yang lebih dicintai Allah: Tuan ataukah Ayyub ‘alaihissalaam?”. Tanyaku

“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.

“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.

“Tentu Ayyub...” jawabnya.

"Lalu apa yang dilakukan Nabi Ayyub alahissalam saat mendapat ujian dan musibah dari Allah?.

"Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah". Jawabnya.

“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah... Karena aku mendapati anak Tuan telah tewas di tengah pasir... Ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya...” jawabku.

Orang tua itu pun tersedak-sedak, seraya berkata, “Laa ilaaha illallaaah...” Dan aku berusaha menghibur dan menyabarkannya... Namun tak lama kemudian ia meninggal dunia.

Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya... Lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya.

Tak lama kemudian, datanglah tiga orang yang mengendarai unta mereka... nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku.

Aku berkata:

“Maukah kalian menerima pahala yang disedikan Allah untuk kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang akan mengurusinya... Maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?".

“Iya..” Jawab mereka.

Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat orang Tua untuk memindahkannya. Namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka kaget dan saling berteriak,

“Abu Qilabah... Abu Qilabah...!!”

Ternyata yang meninggal tersebut adalah Abu Qilabah, salah seorang guru dan ulama yang mereka hormati. akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh.

Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya di perbatasan negeri Syam tersebut,  kemudian aku kembali bersama mereka ke kota Madinah.

Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah... Ia mengenakan pakaian putih dengan badan yang sempurna. Ia berjalan-jalan di tanah yang hijau... Maka aku bertanya kepadanya:

“Wahai Abu Qilabah... apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”

Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:
سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار
"Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu... Maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali".
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

Posting Komentar

 
Support : Jasa Pembuatan Website | Toko Online | Web Bisnis
Copyright © 2011. Nurul Asri - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger