Home » , » Awas Salat “Autopilot”! (1): Salat Cuma Rutinitas

Awas Salat “Autopilot”! (1): Salat Cuma Rutinitas

Tak hanya pesawat yang punya kemudi otomatis atau autopilot. Ternyata, manusia punya sistem “autopilot” yang tak beda jauh. Hal inilah yang disebut sebagai kebiasaan. Kebiasaan secara otomatis membuat manusia melakukan hal-hal tanpa perlu kendali penuh oleh pikirannya. Lalu, bagaimana jika yang dilakukan secara “autopilot” adalah salat?

“Walaah… Salat ‘autopilot’?” ujar Fida Amatillah (20).
Walau kaget ketika mendengar istilah tersebut, mahasiswa jurusan PGSD ini mengaku pernah—bahkan—cenderung sering melakukan salat “autopilot”. “Ya… Sekadar gerakan dan bacaan, hati dan pikiran entah ke mana. Jarang dihadirkan. Apalagi kalau di salat wajib, seolah jadi ritual dan rutinitas saja,” lanjutnya.
Tak jauh berbeda, Adriyanto (20), yang juga diwawancarai Salman Media via Facebook Senin (4/5) lalu, mengaku pernah melakukan “salat otomatis”. Menurutnya, saat melakukannya ia merasa seperti terhipnotis; seolah terjadi begitu saja. “Kadang karena diburu-buru suatu hal,” tutur pemuda asal Bangka ini.
Semua pihak yang diwawancara setuju bahwa salat bergaya kemudi otomatis ini bukan sesuatu yang baik. “Gak ada ruhnya. Efeknya, salat sebagai ibadah pun gak kerasa,” ungkap Niluh (21), menyadari kesalahannya.
Pembina Wahdah Islamiyah Bandung, Ustaz Abu Yahya Purwanto menegaskan, salat “autopilot” hanya akan jadi kebiasaan saja tanpa jadi ibadah. Ia mengacu pada perkataan para ulama yang menyatakan, “Kebiasaan orang-orang yang selalu ingat Allah bisa menjadi ibadah, sedangkan ibadah orang-orang yang lalai hanya menjadi kebiasaan”.
Pengisi kajian akidah di radio MQ FM ini menjelaskan ada dua tujuan dalam ibadah, yakni melepaskan kewajiban dan mengharapkan pahala. Orang yang salatnya “autopilot” sekadar menggugurkan kewajibannya, belum tentu mendapatkan pahala dari Allah. “Untuk menggugurkan kewajiban, salatnya harus sah (sesuai tuntunan Rasul). Namun, jika ingin mendapatkan pahala, selain sah, salatnya juga harus ikhlas,” paparnya, Senin (27/4).
Menurut Abu Yahya, konsep ikhlas sering salah diartikan oleh masyarakat. Ikhlas kerap dimaknai sebagai kondisi “jalanin aja” tanpa memikirkan apapun. Padahal, kondisi ikhlas yang benar adalah ketika menjalani hanya karena Allah dan mengharapkan rida dari-Nya.
Bagaimana agar salat bisa khusyuk dan nggak auto-pilot? Menurut Imam Al-Ghazali dalam buku gubahannya Ihya Ulumuddin, kehadiran kalbu merupakan ruh dari salat khusyuk.
Syarat yang paling ringan yang membuat ruh itu tidak sirna ialah kehadiran kalbu ketika takbiratul ikram. Kurang dari itu berarti kebinasaan. Sebaliknya, bila kehadiran kalbu semakin meningkat, semakin meluas pula ruh itu di dalam seluruh bagian shalat.
Bagaimana caranya menghadirkan kalbu dalam salat kita? Berikut yang Salman Mediarangkum dari Ihya Ulumuddin.
  1. Meneguhkan cita-cita untuk gapai akhirat
Pertama-tama perlu diketahui bahwa penyebab kehadiran kalbu ialah cita-cita. Kalbu kita mengetahui cita-cita kita. Kalbu tidak akan hadir kecuali berkaitan dengan apa yang kita cita-citakan. Kalbu tunduk dan patuh padanya. Bila kalbu tidak hadir di dalam salat, tidak berarti ia menganggur, tetapi menerawang pada cita-cita yang datang padanya dari berbagai persoalan duniawi.
Cita-cita tidak akan terarah pada salat selama belum yata bahwa maksud yang dicari terpancang kuat pada kalbu. Maksud tersebut ialah iman dan sikap membenarkan bahwa akhirat lebih baik dan kekal abadi, sedang salat adalah jalan menuju padanya. Bila ini dilengkapkan pada pengetahuan yang sejati tentang hinanya dunia dan hal-hal yang berkaitan dengannya, niscaya semuanya itu akan menimbulkan kehadiran kalbu di dalam salat.
2. Mengadakan persiapan sebelum salat
Orang karena itu, orang-orang yang rajin beribadah lebih suka melakukan ibadah di dalam rumah kecil yang gelap. Luasnya sekadar dapat bersujud. Hal yang demikian itu dimaksudkan agar dapat memusatkan seluruh cita-citanya. Sementara orang-orang kuat di antara mereka datang ke masjid, menutup mata, dan pandangan mereka tidak melampaui tempat sujud.
Yang bisa menopang hal yang demikian itu ialah mengadakan persiapan sebelum melakukan takbiratul ikram, dengan memperbaharui ingatan pada akhirat di dalam jiwanya, tempat munajat, dan pentingnya tempat berdiri di hadapan Allah SWT.
Demikian halnya suatu saat Rasulullah SAW memakai alas kaki. Lalu beliau merasa kagum terhadap keindahan alas kaki itu. Maka beliau pun bersujud kepada Allah, lalu bersabda, “Aku merendahkan diri kepada Tuhanku Yang Maha Tinggi dan Maha Luhur. Semoga aku tidak dilaknat oleh-Nya.” Kemudian beliau keluar membawa alas kaki itu dan memberikannya kepada peminta pertama yang beliau temui.
3. Suka cita mendengar seruan muadzin
Ketika mendengar seruan muadzdin, semoga dalam kalbu kita timbul perasaan dahsyatnya seruan pada hari kiamat kelak. Lalu segeralah bersiap-siap dengan dengan lahir dan batin kita untuk menyambut dan menyegerakan seruan itu. Sebab, orang-orang yang menyegerakan diri pada seruan itu adalah orang-orang yang diseru dengan lemah-lembut pada hari pertemuan akbar itu.
Sebab, orang-orang yang menyegerakan diri pada seruan itu adalah orang-orang yang diseru dengan lemah-lembut pada hari pertemuan akbar itu. Karenanya, antarkanlah kalbu Anda pada seruan itu! Bila Anda menyambutnya dengan penuh ketenangan dan kegembiraan, ketahuilah bahwa Anda akan didatangi oleh seruan dengan berita gembira dan kemenangan di hari Keputusan yang akan tiba kelak. Oleh karena itu Nabi saw bersabda:
“Berikanlah kesenangan kepada kami, ya Bilal!”
4. Memaknai bacaan salat
Bila ingatan seseorang menerawang ke berbagai lembah dunia, pikirannya tentu tidak terpusatkan pada suatu persoalan saja, tapi senantiasa menerawang ke mana-mana. Cara melepaskan diri dari keadaan yang demikian itu ialah dengan memaksa diri untuk memahami apa yang dibaca di dalam shalat dan menaruh perhatian sepenuhnya padanya, tidak pada yang lain.
Maksud dari bacaan dan dzikir di dalam salat adalah pujian, sanjungan, sikap merendahkan diri, dan do’a. Bila kalbu orang yang mengucapkannya tertutup oleh tirai kelalaian, maka ia akan tertutup dari Allah SWT. Lidahnya bergerak hanyalah karena kebiasaan saja. Betapa hal ini jauh dari tujuan salat yang diperintahkan, guna menegakkan kalbu, membarukan ingatan kepada Allah SWT, dan meneguhkan ikatan iman kepadaNya.
Dalam kaitannya dengan bacaan dalam salat, manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama ialah orang-orang yang menggerakkan lidahnya sementara kalbunya lalai. Kelompok kedua ialah orang yang menggerakkan lidahnya sementara kalbunya mengikuti lidahnya, sehingga ia mengerti dan mendengar bacaan dari lidahnya, seakan ia mendengar dari orang lain. Inilah derajat kelompok kanan.
Kelompok yang ketiga ialah orang yang pertama-tama mengarahkan kalbunya pada maksud, kemudian lidahya berkhidmat pada kalbu, lalu lidah itu menjadi juru bahasa dari kalbu. Karenanya hendaknya dibedakan antara lidah yang menjadi juru bahasa dan kalbu yang menjadi guru dari kalbu. Bagi orang yang mendekatkan diri pada Allah SWT, lidah mereka merupakan juru bahasa yang menuruti kalbu dan bukan kalbu mereka yang menuruti lidah.

Sumber : Salmanitb.com
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Jasa Pembuatan Website | Toko Online | Web Bisnis
Copyright © 2011. Nurul Asri - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger