Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menuturkan dalam kitabnya yang indah, Al-Wabilush Shayyib:
فمن أراد الله به خيرا فتح له باب الذل والانكسار ودوام اللجأ إلى الله تعالى والافتقار إليه ورؤية عيوب نفسه وجهلها وعدوانها ومشاهدة فضل ربه وإحسانه ورحمته وجوده وبره وغناه وحمده. فالعارف سائر إلى الله تعالى بين هذين الجناحين لا يمكنه أن يسير إلا بهما فمتى فاته واحد منهما فهو كالطير الذي فقد أحد جناحيه.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Allah akan bukakan untuknya pintu perendahan diri, perasaan tidak berdaya, selalu bersandar hatinya kepada Allah Ta’aladan terus-menerus merasa butuh kepada-Nya. Ia memeriksa aib-aib dirinya, kebodohan yang ada padanya dan kezalimannya. Di samping itu, ia menyaksikan dan menyadari betapa luas karunia, ihsan, rahmat, kedermawanan, dan kebaikan Rabbnya serta kekayaan dan keterpujian diri-Nya. Oleh karena itu, orang yang benar-benar mengenal (Allah) akan meniti jalannya menuju kepada Allah di antara kedua sayap (sikap) ini. Dia tidak mungkin meniti jalan hidupnya (dengan baik) kecuali dengan keduanya. Ketika salah satu dari kedua belah sayap itu hilang, maka dia bagaikan seekor burung yang kehilangan salah satu sayapnya”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan,
العارف يسير إلى الله بين مشاهدة المنة ومطالعة عيب النفس والعمل
“Orang yang mengenal Allah adalah orang yang berjalan menuju kepada Allah dengan mengingat-ingat karunia Allah (musyahadatul minnah) dan memeriksa aib diri dan amalnya (muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal).”
Dan ini adalah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits shahih dari Syaddad (dan Buraidah) Radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma,
سَيِّدُ الْاِسْتِغْفارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ: اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ،إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Sesungguhnya Istighfâr yang paling baik adalah seseorang hamba mengucapkan:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkaulah yang menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada dalam perjanjian dengan-Mu dan janji dari-Mu, sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”1.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan di dalam sabda beliau:
أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ
“Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu,” antara(sikap) senantiasa mengingat-ingat karunia Allah (musyahadatul minnah) dan (sikap) selalu memeriksa aib diri dan amalnya (muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal)2.
Hasil dari dua sikap: musyahadatul minnah dan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal dalam perjalanan hamba menuju kepada Allah3
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan,
فمشاهدة المنة توجب له المحبة والحمد والشكر لولي النعم والإحسان ومطالعة عيب النفس والعمل توجب له الذل والانكسار والافتقار والتوبة في كل وقت وأن لا يرى نفسه إلا مفلسا
“Bagi seorang hamba, musyahadatul minnah4 itu pastilah menghasilkan cinta, pujian, syukur kepada Sang Pemilik nikmat, dan ihsan. Adapun muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal5 pastilah menghasilkan baginya perendahan diri, perasaan tidak berdaya, merasa butuh kepada-Nya, dan taubat di setiap waktu serta tidaklah ia melihat dirinya kecuali tidak memiliki apapun”6
Ruang lingkup ibadah terbangun di atas dua pondasi: cinta yang sempurna dan perendahan diri yang sempurna7
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan,
والعبودية مدارها على قاعدتين هما أصلها: حب كامل، وذل تام
“Ibadah itu ruang lingkupnya terbangun di atas dua pondasi. Keduanya merupakan landasan peribadatan, yaitu cinta yang sempurna (hubbun kamil) dan perendahan diri yang sempurna (zullun tam)”8.
Beliau menjelaskan hubungan antara musyahadatul minnah-muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amaldan hubbun kamil-zullun tam. Tempat tumbuhnya dua pondasi ini dari dua dasar yang sebelumnya, yaitu:
- Mengingat-ingat anugerah (nikmat Allah), yang hal ini membuahkan kecintaan (kepada Allah).
- Memeriksa aib diri dan aib amal, yang hal ini membuahkan perendahan diri yang sempurna.
Jika seorang hamba membangun perjalanannya menuju kepada Allah Ta’ala di atas dua pondasi ini, niscaya musuhnya (setan) tidaklah berhasil menang menguasainya kecuali (sesekali saja) saat lengah dan lalai, namun betapa cepatnya Allah ‘Azza wa Jallamembangkitkannya dari keterjatuhan, menutupi kekurangannya, dan segera menolongnya dengan rahmat-Nya9.
Pintu terdekat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berjumpa dengan-Nya adalah Al-Iflaas (tidak memiliki apapun)!10
Pintu terdekat bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala adalah Al-Iflaas, yaitu tidak melihat dirinya memiliki kedudukan, tidak pula melihat dirinya telah mengambil suatu sebab bisa diandalkan, serta tidak merasa memiliki suatu sarana yang bisa diungkit-ungkit (banggakan)! Bahkan (sesungguhnya) seorang hamba (dalam) mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala masuk dari pintu merasa butuh (kepada Allah) secara totalitas dan merasa (dirinya) tidak memiliki sesuatu apapun11. Wallahu a’lam.
***
Disusun dari Shahih Al-Wabil Ash-Shayyib Min Al-Kalim Aththayyib, Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
Posting Komentar