Latest Post
22.37
Kisah Remaja Belasan Tahun yang Membunuh Abu Jahal di Perang Badar
Sungguh berbeda kondisi para remaja di zaman ini dengan zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Remaja masa kini tenggelam dengan tsunami pergaulan bebas dan
weternisasi. Perilaku mereka tak lagi meneladani sang Rasulullah namun Boys Band dan
artis-artis semisal Justin Bieber. Tak sampai disitu, wabah “alay” pun
menjangkiti, lebih parah lagi diantara mereka ada yang bangga bertingkah
seperti banci.
Sungguh tak akan selesai mengungkap kebobrokan remaja di zaman ini,
maka sudah saatnya para remaja mulai memperbaiki diri. Lihatlah apa yang
dilakukan dua remaja ketika perang Badar di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dr. Raghib As Sirjani dalam kitabnya “Risalatun ila Syababil Ummah” yang diterjemahkan berjudul “Menjadi Pemuda Peka Zaman”,
dengan bahasa yang komunikatif beliau menjadikan kisah tersebut sebagai
motivasi bagi para remaja. Berikut ini petikan kisah Muadz bin Amr bin
Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ tersebut.
Kedua pemuda yang masih belia ini
mempunyai kisah hidup yang tidak pernah terpikir atau terbesit di dalam
benak siapapun. Pertama adalah Muadz bin Amr bin Jamuh, usianya baru
empat belas tahun. Sementara yang kedua adalah Muawwidz bin Afra’,
usianya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, dengan penuh antusias
keduanya bergegas ikut serta bergabung bersama pasukan kaum muslimin
yang akan berangkat menuju lembah Badar.
Kedua pemuda belia ini memiliki nasib
baik karena tubuh keduanya terlihat kuat dan usianya terlihat relatif
lebih dewasa. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
menerima keduanya masuk dalam skuad pasukan kaum muslimin yang akan
berperang melawan kaum musyrikin pada perang Badar. Meskipun usia mereka
masih sangat muda belia, tetapi ambisi mereka jauh lebih hebat dan
lebih besar daripada ambisi para orang tua atau kaum lelaki yang lain.
Di sini mari kita dengarkan bersama penuturan dari seorang sahabat yang mulia Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. seperti yang terdapat di dalam Shahih Al-Bukhari. Abdurrahman Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan sikap dan tindakan yang sangat ajaib dari kedua pemuda pemberani ini! Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan :
“Pada perang Badar, saya berada di
tengah-tengah barisan para Mujahidin. Ketika saya menoleh, ternyata di
sebelah kiri dan kanan saya ada dua orang anak muda belia. Seolah-olah
saya tidak bisa menjamin mereka akan selamat dalam posisi itu.”
Kedua pemuda belia itu adalah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhuma. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu sangat
heran melihat keberadaan kedua anak muda belia ini di dalam sebuah
peperangan yang sangat berbahaya seperti perang Badar. Abdurrahman
merasa khawatir mereka tak akan mendapatkan bantuan atau pertolongan
dari orang-orang di sekitar mereka berdua, disebabkan usia keduanya yang
masih muda.
Lalu Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya dengan penuh takjub :
“Tiba-tiba salah seorang dari kedua
pemuda ini berbisik kepada saya, ‘Wahai Paman, manakah yang bernama Abu
Jahal?” Pemuda yang mengatakan hal ini adalah Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu Ia
berasal dari kalangan Anshar dan dirinya belum pernah melihat Abu Jahal
sebelumnya. Pertanyaan mengenai komandan pasukan kaum musyrikin, sang
lalim penuh durjana di Kota Mekkah dan “Fir’aun umat ini”, menarik
perhatian Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Lantas ia pun bertanya kepada anak muda belia tadi, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”
Sang pemuda belia itu menjawab dengan jawaban yang membuat Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu tak habis pikir! Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya,
pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah
seorang di antara kami terlebih dahulu tewas (gugur).”
Ya Allah, betapa kokoh dan kuatnya sikap
anak muda belia ini! Seorang anak muda belia yang tinggal di Madinah
Al-Munawwarah. Ketika ia mendengar bahwa ada orang yang mencaci maki
baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Mekkah
yang jaraknya hampir 500 km dari tempat tinggalnya, bara api kemarahan
berkobar di dalam hatinya dan semangat ingin membela baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membara di dalam jiwanya.
Ia pun berikrar untuk melakukan sesuatu
yang bisa membela keyakinan, harga diri dan tempat-tempat suci agamanya.
Dan kesempatan itu datang kala perang berkecamuk, yakni ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa Abu Jahal menuju lembah Badar. Maka ia pun berikrar bahwa ia sendiri yang akan membunuhnya.
Sungguh, pemuda belia ini benar-benar
bersumpah bahwa jika ia melihat Abu Jahal, maka ia tidak akan
membiarkannya begitu saja hingga salah seorang dari mereka meninggal
dunia. Ia tidak merasa cukup hanya dengan tercapainya cita-cita ikut
serta dalam perang Badar dan melakukan tugas mulia yang dibebankan
kepadanya.
Tidak merasa cukup hanya dengan memenuhi
mimpinya dengan membunuh seseorang dari pasukan kaum musyrikin saja.
Akan tetapi, yang menjadi ambisi utamanya, impian masa depannya, target
dan tujuan hidupnya; adalah ia harus membunuh si durjana dan si lalim
ini (Abu Jahal). Meskipun tebusannya, ia akan mati syahid di jalan
Allah.
Subhanallah! Sebenarnya, ia
boleh saja – tidak ada orang yang akan mencelanya – berjanji kepada
dirinya sendiri bahwa ia akan membunuh salah seorang dari kalangan kaum
musyrikin dan menyerahkan urusan membunuh komandan pasukan kaum
musyrikin yang lalim ini kepada salah seorang pahlawan Islam terkemuka,
atau salah seorang ahli perang yang sudah diketahui kemampuan dan
kemahirannya dalam bertempur. Akan tetapi, ambisi dan obsesi utamanya
laksana ingin sampai ke puncak bangunan yang tinggi menjulang.
Tentunya, hal ini bukan satu sikap yang biasa. Ini adalah satu sikap yang benar-benar menakjubkan. Bahkan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu sendiri menuturkan, “Saya pun merasa takjub akan hal itu.” Namun rasa takjub dan keheranan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu belum berhenti sampai di situ. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu bukan
satu-satunya anak muda belia yang jarang ditemukan di tengah-tengah
barisan pasukan kaum muslimin. Ia punya teman sejawat yang saleh dan
seusia atau sedikit lebih muda darinya. Anak muda ini juga bersaing
dengannya dalam hal yang sama.
Sungguh saat ini, umat begitu merindukan sosok remaja seperti Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ yang siap membinasakan Abu Jahal abad ini
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Seorang pemuda belia yang lain (Muawwidz bin Afra’Radhiyallahu ‘anhu)
menghentak saya dan mengatakan hal yang serupa.” Lalu Abdrurahman
melanjutkan kisahnya, “Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di
tengah-tengah kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian
melihat orang itu ia adalah orang yang baru saja kalian tanyakan
kepadaku!”
Melihat Abu Jahal, darah amarah kedua
pahlawan belia ini pun membara. Tekad bulat mereka semakin mantap untuk
merealisasikan tugas yang sangat mulia, yang senantiasa bergeliat dalam
mimpi dan benak pikiran meraka.
Sekarang, mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu ketika
ia menggambarkan situasi yang sangat menakjubkan tersebut, seperti yang
terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dan di dalam kitab Ath-Thabaqat karya
Ibnu Sa’ad.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
“Saya mendengar kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang pun dari
pasukan kaum muslimin yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu Jahal)’.” Saat
itu , Abu Jahal berada di tengah-tengah kawalan ketat laksana pohon yang
rindang.
Abu Jahal, sang komandan terkemuka dari
bangsa Quraisy datang dalam iring-iringan para algojo dan orang-orang
kuat laksana hutan lebat. Mereka melindungi dan membelanya. Ia adalah
simbol kekufuran dan komandan pasukan perang, sehingga sudah pasti jika
pasukan batalyon terkuat di kota Mekkah dikerahkan untuk melindungi dan
membelanya.
Di samping itu, kaum musyrikin juga
saling menyerukan, “Waspadalah, jangan sampai pemimpin dan komandan kita
(Abu Jahal) terbunuh!” Mereka mengatakan, “Tidak seorang pun musuh yang
dapat menyentuh Abul-Hakam (Abu Jahal)!”
Meskipun Abu Jahal dilindungi sedemikian
rupa dan pengawalannya begitu ketat, namun hal itu tak menghalangi Muadz
bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu untuk tetap membulatkan tekadnya, melaksanakan tugasnya, serta merealisasikan cita-cita suci di dalam hidupnya.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
“Ketika saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan
tekad. Saya memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba waktunya,
saya langsung menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya hingga
setengah kakinya (betis) terputus.”
Subhanallah! Hanya satu sabetan pedang dari tangan anak muda belia ini, betis seorang lelaki (Abu Jahal) putus dalam sekejap.
Tanyakanlah kepada para dokter atau tim
medis yang pernah melakukan operasi pemotongan, betapa sulitnya
melakukan hal tersebut! Coba pula tanyakan kepada para pahlawan dan ahli
perang yang bergelut di medan pertempuran yang dahsyat, betapa sangat
sulitnya hal itu dilakukan!
Wahai generasi muda Islam! Apa sebenarnya
yang kita bahas sekarang? Apakah kita berbicara mengenai tingkatan
kepahlawanan dalam perang yang ideal? Ataukah gambaran keberanian yang
sangat fantastis? Ataukah seni keahlian perang yang paling indah?
Ataukah kekuatan tenaga? Ataukah ketajaman daya pikir dan insting?
Ataukah kejujuran dalam berjihad, niat yang ikhlas, dan keinginan yang
kuat? Ataukah sebelum semua itu, dan yang paling penting kita bicarakan
adalah tentang taufik (pertolongan) Allah ‘azza wa jalla kepada para
mujahidin di jalan-Nya. Allah azza wa jalla berfirman :
َูุงَّูุฐَِْูู ุฌَุงَูุฏُْูุง َِْูููุง ََْูููุฏََُِّูููู ْ ุณُุจََُููุง
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” [Al-Ankabut : 69]
Wahai generasi muda Islam! Pemuda belia
ini baru berusia empat belas tahun. Dirinya mampu memotong betis Abu
Jahal hanya dengan satu pukulan saja. Padahal Abu Jahal berada dalam
perlindungan dan pengawalan yang sangat ketat dari pasukan kaum
musyrikin.
Ia benar-benar telah merealisasikan
mimpinya selama ini. Hati sanubarinya terasa damai, dan ia telah
berhasil membalas dendam kesumatnya demi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, apakah semua itu dilakukan begitu saja tanpa pengorbanan?!
Hal itu sangat mustahil! Tentunya
taruhannya harus ditebus dengan darah. Sebab, pohon kejayaan dan
kemuliaan tidak akan tumbuh berkembang selain dengan darah-darah para
Mujahidin dan Syuhada.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
“Pada perang itu (Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah -pada waktu itu
ia masih musyrik – menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir
terputus dan hanya bergantung pada kulitnya saja.”
Tangan pemuda belia itu hampir terpisah dari tubuhnya, hanya bergantung pada kulitnya saja. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu kehilangan lengan tangannya di jalan Allah!
Namun di atas semua itu, berputus asakah
ia? Menyesalkah ia? Apakah ia merasa bahwa ia telah melakukan tindakan
yang salah? Apakah ia berharap, seandainya ia tidak ikut dalam medan
perang serta hidup dengan selamat dan damai di Madinah, sehingga dirinya
terhindar dari luka penderitaan, dan cacat?
Wahai generasi muda Islam! Semua itu
sedikit pun tak pernah terbesit dalam benaknya. Justru yang menjadi
ambisinya pada saat-saat seperti ini adalah ia harus meneruskan
perjalanan jihadnya di jalan Allah Ta’ala. Sebab, masih banyak musuh
yang memerangi umat islam dan orang-oarng ikhlas harus segera membela
dan berjuang meskipun hanya dengan satu tangan.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya,
“Pada hari itu, saya benar-benar
berperang seharian penuh. Tangan saya yang hampir putus itu hanya
bergelantungan di belakang. Dan ketika ia menyulitkan saya, saya pun
menginjaknya dengan kaki, lalu saya menariknya hingga tangan saya
terputus.”
Ia justru memisahkan tangan dari jasadnya agar bisa mengobarkan jihad dengan bebas dan leluasa! Subhanallah! Lantas, di mana teman pesaingnya untuk membunuh si durjana dan si lalim kelas kakap itu? Di mana Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu?
Mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh ra. tentang teman pesaingnya ini :
“Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu melintas
di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun
menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan
tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.”
Maksudnya, Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu juga
berhasil merealisasikan tujuan dan cita-citanya. Ia menebas Abu Jahal
dengan pedang di kala ia berada di tengah-tengah kerumunan para pengawal
dan pelindungnya. Namun, ia berhasil memukul Abu Jahal hingga
membuatnya terjungkal ke tanah seperti orang yang tak berdaya, tetapi ia
masih mempunyai sisa-sisa nafas terakhir. Seperti yang sudah kita
ketahui, bahwa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu datang untuk menghabisi nyawa Abu Jahal.
Demikianlah keadaaannya. Kedua pahlawan
cilik ini berlomba-lomba dan bersaing untuk menghabisi si durjana, yang
pada akhirnya mereka mendapat nilai seri!
Coba perhatikan! Dalam rangka apa mereka bersaing?
Lantas keduanya datang menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing mengatakan, “Saya telah membunuh Abu Jahal, wahai Rasulullah!”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepada mereka berdua sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Al
Bukhari dan Muslim, “Apakah kalian telah menghapus (bercak darah yang
menempel pada) pedang kalian?“ mereka berdua menjawab, “Belum.” Maka
beliau melihat kedua pedang pahlawan cilik tersebut. Lantas beliau
bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.” RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Menyimpulkan bahwa kedua pahlawan- belia itu memperoleh nilai yang sama dan seri.
Subhanallah! Apakah sampai di
sini saja kisah kepahlawanan kedua pemuda belia ini? Belum, wahai
generasi muda Islam! Namun, kisah mereka masih terus berlanjut pada
babak berikutnya.
Kita telah menyaksikan bahwa Muadz bin Amr bin JamuhRadhiyallahu ‘anhu harus
rela kehilangan tangannya sebagai harga mati dari perjuangan,
kejujuran, dan kebulatan tekadnya. Lantas apa yang telah dipersembahkan
oleh Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu? MuawwidzRadhiyallahu ‘anhu telah mempersembahkan seluruh jiwanya. Sehingga ia memperoleh mati syahid di jalan Allah!
Pahlawan tangguh yang masih muda belia
ini – usianya baru tiga belas tahun – terus melanjutkan petualangan
jihad dan perjuangannya setelah ia mempersembahkan perjuangan yang
sangat berharga hingga terbunuhnya Abu Jahal. Akan tetapi, ia tidak
merasa puas hanya dengan perjuangan sebatas itu. Meskipun hasilnya bisa
dibanggakan, namun ia terus berjuang dan maju menerjang musuh hingga
memperoleh mati syahid di jalan Allah, yang padahal usianya masih sangat
muda belia.
Wahai generasi muda, biginilah simbol
kejayaan dan kemuliaan! Dan beginilah persaingan yang hakiki. Allah Azza
wa Jalla berfirman :
َِْููู ุฐَِูู ََْูููุชََูุงَูุณِ ุงْูู ُุชََูุงِูุณَُْูู
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” [Al-Muthaffifin : 26]
Ketahuilah wahai para pemuda, betapa leluasa Abu Jahal abad ini mencaci hingga memerangi umat RasulullahShallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Jahal abad ini telah menghina syari’at i’dad dan jihad yang Allah Ta’ala perintahkan dengan sebutan keji; “tindak pidana terorisme.” Mereka tuding semangat menegakkan daulah islamiyah dan khilafah sebagai paham radikal. Mereka hinakan para ulamamuwahhid dengan
menghakiminya lewat hukum thaghut. Mereka menawan para mujahidin dan
membantainya sesuka hati. Bahkan yang lebih “gila” lagi, mereka fitnah
gerakan jihad dibiayai lewat bisnis narkoba (narcoterrorism).
Masih adakah remaja yang mendidih
darahnya menyaksikan kezhaliman tersebut? Sungguh saat ini, umat begitu
merindukan sosok remaja seperti Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin
Afra’ yang siap membinasakan Abu Jahal abad ini. Wallahu a’lam bis Shawab..
Label:
artikel
22.25
Dan ketika dalam keadaan kritis:
Maka melintaslah nabi Musa as dan pengikutnya, kemudian disusul oleh Fir’aun dan tentaranya, Namun Fir’aun dan tentaranya berjalan sangat lambat karena roda keretanya berputar miring terseok-seok dan nabi Musa sa beserta pengikutnya berlari meninggalkan mereka jauh. Setelah itu atas perintah Tuhan nabi Musa as mengulurkan kembali tangannya ke laut, maka :
Pagi harinya, mengetahui orang-orang Israel telah meninggalkan Mesir, Fir’aun sangat marah dan segera mengumpulkan tentaranya, kereta dan kuda yang ada di seluruh wilayah Mesir untuk mengejar nabi Musa as dan orang-orang Israel. Dengan marah Fir’aun berkata kepada pasukannya :
Ketika pengikut nabi Musa as dalam keadaan ketakutan karena akan segera tersusul, turunlah firman Allah SWT :
Maka melintaslah nabi Musa beserta kaumnya Bani Israel, dan Fir’aun beserta pasukannya menyusul dibelakangnya. Ketika Nabi Musa as dan pengikutnya sampai di daratan yang tinggi dan Fir’aun beserta pasukannya masih ditengah-tengah lautan, maka datanglah pertolongan Allah SWT kepada nabi Musa as :
Sumber :
ttp://votreesprit.wordpress.com/2012/08/05/tanda-tanda-kekuasaan-allah-terhadap-jasad-firaun/
Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Terhadap Jasad Fir’aun
Jasad Fir’aun |
Di dalam bukunya, “al-Qur’an Dan Ilmu Modern”, Dr Morris Bukay[1]
mengungkap kesesuaian informasi al-Qur’an mengenai nasib Fir’aun Musa
setelah ia tenggelam di laut dan realita di mana itu tercermin dengan
masih eksisnya jasad Fir’aun Musa tersebut hingga saat ini. Ini
merupakan pertanda kebesaran Allah Subhanahu wa ta’ala saat berfirman,
“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” [QS.Yunus:92]
Dr. Bukay berkata, “Riwayat versi Taurat
mengenai keluarnya bangsa Yahudi bersama Musa Alaihissalam dari Mesir
menguatkan ‘statement’ yang menyatakan bahwa Mineptah, pengganti Ramses
II adalah Fir’aun Mesir pada masa nabi Musa Alaihissalam. Penelitian
medis terhadap mumi Mineptah membeberkan kepada kita informasi-informasi
berguna lainnya mengenai dugaan sebab kematian Fir’aun ini.
Sesungguhnya kitab Taurat menyebutkan,
jasad tersebut ditelan laut akan tetapi tidak memberikan rincian
mengenai apa yang terjadi terhadapnya setelah itu, Injil pun juga sama.
Sedangkan al-Qur’an menyebutkan, jasad Fir’aun yang dilaknat itu akan
diselamatkan dari air sebagaimana keterangan ayat di atas. Dalam hal
ini, pemeriksaan medis terhadap mumi tersebut menunjukkan, jasad
tersebut tidak berada lama di dalam air sebab tidak menunjukkan adanya
tanda kerusakan total akibat terlalu lama berada di dalam air.[2]
Dr. Morris Bukay menyebutkan bahwa dalam
sebuah penelitian medis dengan mengambil sampel organ tertentu dari
jasad mumi tersebut pada tahun 1975 melalui bantuan Prof Michfl Durigon
dan pemeriksaan yang detail dengan menggunakan mikroskop, bagian
terkecil dalam organ itu masih dalam kondisi terpelihara secara
sempurna. Ini menunjukkan, keterpeliharaan secara sempurna itu tidak
mungkin terjadi andaikata jasad tersebut sempat tinggal beberapa lama di
dalam air atau bahkan sekali pun berada lama di luar air sebelum
terjadi proses pengawetan pertama.
Dr. Bukay juga menyebutkan, diri bersama
tim telah melakukan banyak penelitian, di antaranya untuk mengetahui
dugaan sebab kematian Fir’aun. Penelitian yang dilakukannya berjalan
legal karena dibantu direktur laboratorium satelit di Paris, Ceccaldi
dan prof. Durigan. Objek penelitian dititik beratkan pada salah satu
orang di tengkorak kepala.
Mengenai hasilnya, Dr Bukay
mengungkapkan, “Dari situ diketahui, bahwa semua penelitian itu sesuai
dengan kisah-kisah yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang menyiratkan
Fir’aun tewas ketika digulung gelombang…”[3]
Dr. Bukay menjelaskan sisi kemukjizatan
masalah ini. Ia mengatakan, “Di zaman di mana al-Qur’an sampai kepada
manusia melalui Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam, jasad-jasad para
Fir’aun yang diragukan orang di zaman kontemporer ini apakah benar atau
tidak ada kaitannya dengan saat keluarnya Musa, sudah lama terpendam di
pekuburan lembah raja di Thoba, di pinggir lain dari sungai Nil di depan
kota al-Aqshar saat ini.
Pada masa Muhammad Shallallahu’alaihi wa
sallam segala sesuatu mengenai hal ini masih kabur. Jasad-jasad tersebut
belum terungkap kecuali pada penghujung abad ke-19.[4]
Dengan begitu, jasad Fir’aun Musa yang masih eksis hingga kini dinilai
sebagai persaksian materil bagi sebuah jasad yang diawetkan milik
seorang yang mengenal nabi Musa Alaihissalam, menentang permintaannya
dan memburunya dalam pelarian serta mati saat pengejaran itu. Lalu Allah
menyelamatkan jasadnya dari kerusakan total sehingga menjadi tanda
kebesaran-Nya bagi umat manusia sebagaimana yang disebutkan al-Qur’an
al-Karim.[5]
Informasi sejarah mengenai nasib jasad
Fir’aun tidak berada di tangan manusia mana pun ketika al-Qur’an turun
atau pun setelah beberapa abad setelah turunnya. Akan tetapi ia
dijelaskan di dalam Kitab Allah Subhanahu wa ta’ala sebelum lebih dari
1400 tahun lalu.
Seorang Professor Masuk Islam Karena Mumi Fir’aun
Professor
Maurice Bucaille adalah seorang dokter ahli bedah terkemuka di dunia
yang berasal dari Prancis. Ia mempunyai cerita yang sangat menakjubkan.
Ia menjelaskan sebab musabab dirinya meninggalkan agama Katolik yang
telah dianutnya bertahun-tahun, kemudian menyatakan dirinya memeluk
agama Islam.
Setelah menyelesaikan study setingkat
SMA-nya, ia menetapkan untuk mengambil jurusan kedokteran pada sebuah
univertsitas di Prancis. Ia termasuk salah satu dari mahasiswa yang
berprestasi hingga akhir tahun, karena kecerdasan dan keahlian yang
dimilikinya, dia kemudian menjadi seorang dokter terkemuka di Prancis.
Prancis adalah negara yang terkenal
sangat menjaga dan mementingkan barang-barang peninggalan kuno
dibandingkan dengan negara yang lainnya, terutama pada masa kepemimpinan
Fransu Metron tahun 1981.
Pada tahun itu, Prancis meminta ijin
kepada Mesir agar mereka diberikan kesempatan untuk memeriksa dan
meneliti mumi Fir’aunnya yang terkenal. Sebuah mumi yang tak asing
dikalangan orang-orang Islam. Fir’aun ini adalah orang yang
ditenggelamkan Allah dilaut merah, tatkala melakukan pengejaran terhadap
nabi Musa Alaihissalam.
Permintaan Prancis ditanggapi oleh Mesir
dengan mengizinkan Prancis untuk mengadakan penelitian. Mumi Fir’aun
dipindahkan dengan menggunakan pesawat terbang. Setibanya di Prancis,
kedatangan mumi tersebut disambut oleh Persiden Franso Metron beserta
para menterinya seolah-olah dia masih hidup.
Mumi tersebut kemudian dipindahkan ke
pusat barang-barang kuno milik Prancis untuk diserahkan kepada para
ilmuwan dan dokter bedah, supaya mereka dapat mempelajari rahasia yang
terkandung dari mumi tersebut, dan Profesor Professor Maurice Bucaille
bertindak sebagai ketua tim penelitian.
Semua tim peneliti bertugas untuk
meneliti, memperbaiki tulang-tulang yang sudah rusak dan anggota tubuh
yang lainnya. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Professor Maurice
Bucaille, ia justru menyelidiki tentang rahasia kematian Fir’aun.
Pada suatu malam, ia memperoleh hasil
penelitiannya; bahwa terdapat bekas garam yang menempel pada mayat mumi,
sehingga dapat ia jadikan sebuah bukti yang nyata bahwa Fir’aun mati
karena tenggelam dan mayatnya dapat di selamatkan, kemudian diawetkan
pada saat kejadian.
Dari hasil penelitiannya, timbul beberapa
pertanyaan yang susah untuk ia dapatkan jawabannya yaitu bagaimana
mayat Fir’aun dapat diselamatkan, dan anggota tubuhnya masih tetap utuh,
sedangkan kondisi mayat-mayat yang lainnya setelah diawetkan tidak
seperti dirinya?
Namun sebelum ia selesai membuat
kesimpulan, salah seorang temannya berbisik kepadanya dengan berkata:
“Jangan terburu-buru seperti itu, karena orang-orang Islam telah
mengetahui tentang hal ini.”
Mendengar pernyataan dari temannya itu,
ia menolak keras atas pernyataan tersebut. Ia berkata: “Penemuan seperti
ini tidak mungkin dilakukan kecuali ada dukungan sains dan teknologi
canggih”.
Salah seorang temannya yang lain
menanggapinya seraya berkata: “Al-Qur’an merekalah yang telah
menceritakan kematiannya dan bagaimana jasadnya di selamatkan dari
tenggelam.” Mendengar penjelasan temannya itu, Bakay kebingungan dan
bertanya-tanya bagaimana hal ini bisa terjadi?
Sedangkan mumi ini sendiri baru ditemukan
pada tahun 1898 atau kurang lebih baru dua ratus tahun yang lalu,
sedangkan Al-Qur’an mereka sudah ada semenjak lebih dari seribu empat
ratus tahun…!!!
Bagaimana akal manusia dapat
mengetahuinya, padahal semua manusia -bukan hanya orang-orang Arab-
belum ada yang mampu mengetahui bagaimana peradaban orang-orang Mesir di
masa lampau dan bagaimana caranya mereka mengawetkan mayat, kecuali
pada masa sepuluh tahun yang lalu?
Maurice duduk termenung di dekat mumi
Fir’aun tersebut sambil memikirkan tentang bisikan yang telah ia dengar
dari temannya; bahwasanya Al-Qur’an telah menceritakan kejadian itu,
padahal kitab sucinya hanya menceritakan tentang tenggelamnya Fir’aun
akan tetapi di dalamnya tidak di jelaskan tentang keadaannya sesudah
tenggelam. Ia pun bergumam dalam kesendiriannya:
“Masuk akalkah bahwa jasad yang ada di
depanku ini adalah Fir’aun Mesir yang telah mengusir Nabi Musa? Benarkah
kalau Nabinya orang muslim yang bernama Muhammad itu sudah mengetahui
tentang hal ini sejak 1400 tahun yang silam?
Berbagai pertanyaan yang belum sempat
terjawab, membuat Professor Maurice tidak dapat tidur disetiap malam. Ia
kemudian mengambil Kitab Taurat dan membacanya, sampai pada sebuah
kalimat yang mengatakan: “Kemudian air itupun kembali pada keadaan sedia
kala, kemudian air laut itupun menenggelamkan perahu-perahu beserta
Fir’aun dan bala tentaranya, hingga tidak tersisa satupun diantara
mereka.”
Setelah menyelesaikan penelitian dan
perbaikan, maka mumi tersebut kemudian di kembalikan ke Mesir dengan
menggunakan peti yang terbuat dari kaca nan elok, karena menurutnya itu
lebih pantas untuk orang yang berkedudukan seperti Fir’aun. Akan tetapi
Bakay masih dalam kondisi belum puas dengan berita yang di dengarnya,
bahwa orang-orang Islam telah mengetahui keselamatan mumi ini. Ia pun
lalu berkemas untuk berkunjung ke Saudi Arabia guna menghadiri seminar
kedokteran yang akan dihadiri para pakar bedah muslim.
Dalam pidatonya, Professor Maurice
memulai pembicaraan tentang hasil penyelidikannya bahwa jasad Fir’aun
dapat diselamatkan setelah tenggelam, kemudian salah seorang diantara
pakar muslim berdiri dan membuka serta membacakan mushaf pada Surat
Yunus Ayat 92 yang artinya: “Pada hari ini kami selamatkan badanmu
supaya kamu dapat dijadikan pelajaran bagi orang-orang sesudahmu dan
sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan
kami.”
Professor Maurice Bucaille terheran-heran
dengan penjelasan yang baru saja ia dengar, ia lalu beranjak dari
tempat duduknya dan dengan suara lantang ia berkata: “Pada hari ini; aku
menyatakan diri untuk memeluk agama Islam dan aku mengimani Al-Qur’an
ini”.
Setelah selesai seminar Professor Maurice
Bucaille lalu kembali ke Prancis dengan wajah yang berbeda dari wajah
sebelum ia datang menghadiri seminar. Selama sepuluh tahun ia tidak
mempunyai pekerjaan yang lain, selain mempelajari tentang sejauh mana
keserasian dan kesinambungan Al-Qur’an dengan sains, serta perbedaan
yang bertolak belakang dengannya. Namun apa yang ia dapati selalu
berakhir sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa ta’ala: Yang tidak
datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.” (Fushshilat: 42)
Dari hasil penyelidikan yang
bertahun-tahun, ia kemudian menulis sebuah buku tentang kesinambungan
Al-Quran dengan sains yang mampu mengguncangkan Eropa. Sehingga ketika
para pakar- pakar dan para ilmuwan barat berusaha untuk mendebatnya,
mereka tidak kuasa …
Tenggelamnya Fir’aun Dalam Bible
Kisah bermula dari perintah Tuhan kepada
nabi Musa as untuk membebaskan orang-orang Israel dari penindasan raja
Fir’aun dan sekaligus mengeluarkan mereka dari Mesir.
Nabi Musa as dibantu nabi Harun as
menghadap ke Fir’aun, guna meminta kepada Fir’aun untuk membawa
orang-orang Israel keluar dari Mesir yang berarti melepaskan orang-orang
Israel dari kekuasaan raja Fir’aun. Tetapi Fir’aun menolak permintaan
nabi Musa as tersebut.
Tuhan mengulangi lagi perintahnya kepada
nabi Musa as, waktu itu nabi Musa as sudah berumur 80 tahun. Nabi Musa
as menunjukkan kepada Fir’aun bahwa dirinya mempunyai kepandaian
supranatural, namun hal ini tidak membuat Fir’uan melunak. Kemudian
Tuhan mengirim siksaan berupa air sungai berubah menjadi darah,
timbulnya katak-katak, nyamuk, wabah penyakit kepada manusia dan hewan,
kegelapan dan kematian bagi bayi-bayi yang lahir pertama kali. Tetapi
hal ini masih belum menaklukkan hati Fir’aun untuk membiarkan
orang-orang Israel keluar dari Mesir atau melepaskan dari kekuasaannya.
Akhirnya, nabi Musa tidak meminta izin
Fir’aun untuk membawa 600.000 orang Israel keluar dari Mesir. Jumlah
tersebut belum termasuk anak-anak sehingga bila mereka ikut dihitung
jumlah keseluruhan orang-orang Israel yang diajak nabi Musa as keluar
Mesir adalah berkisar antara 2 juta hingga 3 juta jiwa.
Kemudian berangkatlah orang Israel
dari Raamses ke Sukot, kira-kira enam ratus ribu orang laki-laki
berjalan kaki, tidak termasuk anak-anak. [Keluaran 12:37]
Pada waktu itulah Fir’aun mengejar nabi
Musa as beserta pengikutnya, dengan menggunakan 600 kereta dan kudanya
yang terbaik dari Mesir, dan setiap kereta dikendarai dua orang perwira.
Fir’aun beserta pasukannya berhasil
mengejar nabi Musa as dan pengikutnya, keadaan nabi Musa terjepit,
didepan terbentang lautan dan dari belakang terdesak ribuan pasukan
Fir’aun.
Adapun orang Mesir, segala kuda dan
kereta Firaun, orang-orang berkuda dan pasukannya, mengejar mereka dan
mencapai mereka pada waktu mereka berkemah di tepi laut, dekat Pihahirot
di depan Baal-Zefon.
Ketika Firaun telah dekat, orang Israel menoleh, maka tampaklah orang Mesir bergerak menyusul mereka. Lalu sangat ketakutanlah orang Israel dan mereka berseru-seru kepada TUHAN. [Keluaran 14:9-10]
Ketika Firaun telah dekat, orang Israel menoleh, maka tampaklah orang Mesir bergerak menyusul mereka. Lalu sangat ketakutanlah orang Israel dan mereka berseru-seru kepada TUHAN. [Keluaran 14:9-10]
Dan ketika dalam keadaan kritis:
Lalu Musa mengulurkan tangannya ke
atas laut, dan semalam-malaman itu TUHAN menguakkan air laut dengan
perantaraan angin timur yang keras, membuat laut itu menjadi tanah
kering; maka terbelahlah air itu. [Keluaran 14:21]
Maka melintaslah nabi Musa as dan pengikutnya, kemudian disusul oleh Fir’aun dan tentaranya, Namun Fir’aun dan tentaranya berjalan sangat lambat karena roda keretanya berputar miring terseok-seok dan nabi Musa sa beserta pengikutnya berlari meninggalkan mereka jauh. Setelah itu atas perintah Tuhan nabi Musa as mengulurkan kembali tangannya ke laut, maka :
Berbaliklah segala air itu, lalu
menutupi kereta dan orang berkuda dari seluruh pasukan Firaun, yang
telah menyusul orang Israel itu ke laut; seorang pun tidak ada yang
tinggal dari mereka. [Keluaran 14:28]
Fir’aun beserta pasukannya tewas dalam
lautan, tak seorangpun yang hidup. Tuhan telah mencampakkan Fir’aun
kedalam lautan dan membiarkan tubuhnya musnah dalam lautan :
Dan mencampakkan Firaun dengan tentaranya ke Laut Teberau! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. [Mazmur 136:15]
Air menutupi para lawan mereka, seorang pun dari pada mereka tiada tinggal. [Mazmur 106:11]
Dari kisah tersebut, point yang dapat kita ambil adalah :
- Jumlah 2 juta sampai 3 juta orang-orang Israel yang melarikan diri keluar Mesir nampaknya sangat berlebihan. karena jumlah sebesar itu, resiko kematian d itengah padang pasir yang amat terik tentu sangat tinggi, ini merupakan angka yang bombastik. Apalagi mereka tidak mempunyai persediaan makanan dan air yang cukup.
- Mayat Fir’aun dimusnahkan dalam lautan.
Tenggelamnya Fir’aun Dalam Al-Qur’an
Kisah bermula pada kekafiran, kesombongan
dan keingkaran bangsa Mesir yang mengikuti Fir?aun dalam menentang
Allah SWT dan nabinya Musa as dan yang menindas bangsa Israel, padahal
telah nyata petunjuk bagi mereka dan telah diperlihatkan
kejadian-kejadian luar biasa kepada mereka sebagai tanda kekuasaan Allah
SWT, tetapi hati mereka tidak mau sadar, tidak mau kembali kepada
kebenaran dan beriman kepada Allah SWT.
Sangat sedikit yang beriman dari
orang-orang Mesir, ada yang mengatakan hanya tiga orang yang beriman,
yaitu istri Fir’aun, seorang dari pengikut Fir’aun dan seorang pemberi
nasehat.
Karena, Fir’aun dan bangsanya tetap
ingkar dan sombong, Nabi Musa as meminta kepada Fir’aun untuk
meninggalkan Mesir beserta orang-orang Bani Israel, namun Fir’aun
menolak permintaan ini. Maka turunlah perintah Allah SWT :
Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan
kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam
hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak
usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)”. [QS. 20:77]
Maka pergilah nabi Musa as bersama-sama
kaumnya Bani Israel pada malam itu juga, dan pada pagi harinya, tidak
ada seorangpun dari kaum nabi Musa as yaitu Bani Israel yang tertinggal
di Mesir, mereka telah pergi meninggalkan Mesir.
Pagi harinya, mengetahui orang-orang Israel telah meninggalkan Mesir, Fir’aun sangat marah dan segera mengumpulkan tentaranya, kereta dan kuda yang ada di seluruh wilayah Mesir untuk mengejar nabi Musa as dan orang-orang Israel. Dengan marah Fir’aun berkata kepada pasukannya :
“Orang-orang itu berjumlah tidak banyak, dan sesungguhnya, mereka telah benar-benar membuat kita marah”
Kemudian setelah tentara dan kuda-kuda terkumpul, diberangkatkanlah pasukannya mengejar Nabi Musa as dan Bani Israel.
”Maka Fir’aun dan bala tentaranya
dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua
golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa:
“Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab:
”Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak
Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. [QS: 26:60-62]
Ketika pengikut nabi Musa as dalam keadaan ketakutan karena akan segera tersusul, turunlah firman Allah SWT :
Lalu Kami wahyukan kepada
Musa:”Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu
dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. [QS. 26:63]
Maka melintaslah nabi Musa beserta kaumnya Bani Israel, dan Fir’aun beserta pasukannya menyusul dibelakangnya. Ketika Nabi Musa as dan pengikutnya sampai di daratan yang tinggi dan Fir’aun beserta pasukannya masih ditengah-tengah lautan, maka datanglah pertolongan Allah SWT kepada nabi Musa as :
Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang itu. [QS. 26:65-66]
Tenggelamlah Fir’aun beserta pasukannya
dan tak seorangpun terselamatkan nyawanya termasuk Fir’aun. Namun
Fir’aun saat-saat akhir menjelang kematiannya, dia baru sadar atas
keingkarannya dan dia sempat mengucapkan kalimat tauhid dan berserah
diri kepada Allah SWT :
Hingga bila Fir’aun itu hampir
tenggelam berkatalah dia: ”Saya percaya bahwa tidak ada Ilah melainkan
yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah)”. [QS. 10:90]
Dengan perngakuan Fir’aun tersebut, Allah
SWT berkenan menyelamatkan mayat Fir’aun agar tidak sampai hancur di
dalam lautan, dan agar tubuh Fir’aun yang dibiarkan utuh tersebut dapat
menjadi pelajaran bagi manusia kelak :
Maka pada hari ini Kami selamatkan
badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang
sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari
tanda-tanda kekuasaan Kami. [QS. 10:92]
Begitulah, Allah SWT menjaga tubuh
Fir’aun tetap utuh walaupun tertelan lautan, untuk menjadi pelajaran dan
sebagai tanda-tanda kekuasaan-NYA bagi orang-orang yang datang
sesudahnya, bukan hanya kisah tenggelamnya Fir’aun yang menjadi
pelajaran dan sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, tetapi tubuh
fisiknya juga.
Satu point yang dapat diambil dari kisah tenggelamnya Fir’aun dalam Al-Qur’an, yaitu : Mayat Fir’aun dijaga utuh oleh Allah SWT.
Arkeologi Membuktikan Kebenaran Al-Qur’an
Alkitab menyatakan tubuh Fir’aun telah
musnah karena tenggelam di lautan, sedang Al-Qur’an menyatakan Tubuh
Fir’aun tetap utuh dan selamat walaupun tenggelam di lautan, di sisi
lain dari dunia sejarah khususnya bidang arkeologi, telah menemukan
mummi yang diindentifikasi sebagai jasad dari tubuh Fir’aun yang
mengejar-ngejar nabi Musa as dan tenggelam di lautan.
Temuan arkeologi ini, membuktikan apa
yang dinyatakan Al-Qur’an tentang tubuh Fir’aun yang dijaga utuh oleh
Allah SWT adalah benar-benar terjadi pada 2000 tahun sebelum Al-Qur?an
itu sendiri menyatakannya. Dan temuan arkeologi ini secara bersamaan
menyangkal apa yang dinyatakan Alkitab bahwa tubuh Fir’aun telah musnah
di lautan.
Bukti kebenaran Al-Qur’an ini, sekaligus menjelaskan bahwa :
- Al-Qur’an bukanlah bikinan Muhammad saw, karena, apa yang dikisahkan Al-Qur’an tentang tubuh Fir’aun yang dijaga utuh oleh Allah SWT adalah terjadi sekitar 2000 tahun sebelumnya, mustahil Muhammad saw mengetahui kejadian tersebut. Dan ketika Al-Qur’an menyatakan tubuh Fir’aun dijaga utuh untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahnya, sama sekali tidak ada bukti riil dari jasad Fir’aun pada saat itu. Bukti tubuh utuh Fir’aun baru ditemukan sekitar 1300 tahun setelah Al-Qur’an menyatakannya yaitu tahun 1898 M. Tidak ada yang mampu membuat kisah seakurat itu, kecuali yang merencanakan kisah itu terjadi yaitu Allah SWT.
- Alkitab hasil campur tangan manusia, karena apa yang dikisahkan Alkitab tentang kejadian sekitar 1300 tahun sebelumnya, ternyata terbukti meleset setelah ditemukan mummi raja Fir’aun yang telah dinyatakan musnah oleh Alkitab. Tentu tidak mungkin Tuhan yang membuat pernyataan dalam Alkitab yang menyatakan tubuh Fir’aun telah dimusnakan, karena sejarah membuktikan tubuh Fir’aun diselamatkan utuh.
- Orientalis hanya bisa menuduh, Muhammad saw dituduh telah membuat Al-Qur’an dengan menyontek Alkitab, tentu tuduhan semacam ini sangat tidak ilmiah, karena telah terbukti Alkitab telah salah mengisahkan tubuh utuh Fir’aun, sementara Al-Qur’an sangat akurat dalam mengisahkannya. Apa yang dicontek ?
Demikianlah uraian dari kami, semoga
dapat menambah keimanan kita kepada Allah SWT, dan semoga kita
senantiasa memperhatikan bukti-bukti kemukjizatan Al-Qur’an yang
terbentang luas dalam segala disiplin ilmu.
Akhirul kata, semoga menambah keimanan kita, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuhu.
——————
[1] Seorang dokter ahli bedah paling masyhur berkewarganegaraan Perancis. Ia masuk Islam setelah mengadakan kajian secara mendalam mengenai al-Qur’an al-Karim dan mukjizat ilmiahnya
[2] Lihat, buku al-Qur’an Wa al-‘Ilm al-Hadits, Dr Morris Bukay
[3] Lihat, buku Kitab al-Qur’an Wa al-‘Ilm al-Mu’ashir, Dr Morris Bukay, terjemah ke bahasa Arab, Dr Muhammad Bashal dan Dr Muhamma Khair al-Biqa’i
[4] Diraasah al-Kutub al-Muqaddasah Fii Dhau’i al-Ma’aarif al-Hadiitsah, karya Dr Morris Bukay, hal.269, Darul Ma’arif, cet.IV, 1977 –dengan sedikit perubahan
[5] Ibid.
[1] Seorang dokter ahli bedah paling masyhur berkewarganegaraan Perancis. Ia masuk Islam setelah mengadakan kajian secara mendalam mengenai al-Qur’an al-Karim dan mukjizat ilmiahnya
[2] Lihat, buku al-Qur’an Wa al-‘Ilm al-Hadits, Dr Morris Bukay
[3] Lihat, buku Kitab al-Qur’an Wa al-‘Ilm al-Mu’ashir, Dr Morris Bukay, terjemah ke bahasa Arab, Dr Muhammad Bashal dan Dr Muhamma Khair al-Biqa’i
[4] Diraasah al-Kutub al-Muqaddasah Fii Dhau’i al-Ma’aarif al-Hadiitsah, karya Dr Morris Bukay, hal.269, Darul Ma’arif, cet.IV, 1977 –dengan sedikit perubahan
[5] Ibid.
Sumber :
ttp://votreesprit.wordpress.com/2012/08/05/tanda-tanda-kekuasaan-allah-terhadap-jasad-firaun/
Popular post
-
Analisa Peta Perang Uhud adalah peperangan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin Mekah yang terjadi pada tahun 3 hijriyah di Gunung Uhud. ...
-
Peta Perjalanan Hijrah Dari Mekah Ke Madinah Rasulullah melaksanakan hijrah dari Mekah ke Madinah tidak melalui jalan utama. Tidak la...
-
Peta Wilayah Madinah Analisa Peta Madinah (sebelumnya bernama Yatsrib) dikelilingi oleh perkampungan kabilah-kabilah besar...